Lift.

7.7K 211 12
                                    


Shani merapatkan tubuhnya pada tubuh Gracia. Tangannya menuntun kepala Gracia agar bersandar di pundaknya. Gracia tidak melawan. Ia tidak punya tenaga.

"Empat hari lalu, ayah bilang besok ada acara keluarga. Aku males pergi ke ajang pamer harta dan jabatan yang berkedok acara keluarga. Aku nolak, jadi aku mengiyakan permintaan kamu buat nemenin kamu nonton." Shani kembali merogoh plastik belanjaannya. Mengeluarkan bungkusan roti.

"Besoknya, ayah datang ke apartemen aku. Tepat sebelum aku mau jemput kamu." Shani membuka bungkusan itu. Lalu merobeknya secuil, menyodorkannya pada Gracia.

Gracia yang membuka mulutnya, menerima potongan roti itu.

"Ayah jemput aku. Aku ga bisa nolak. Aku langsung pergi ke hotelnya, ballroomnya udah di hias, kaya ada yang nikah. Aku disuruh ke ruang tata rias sama ayah." Shani kembali menyuap Gracia.

"Aku pikir, aku yang mau dinikahi. Tapi ternyata ayah yang nikah. Calonnya itu ibunya Chika." Shani berhenti sebentar.

Gracia sedikit menegang. Benarkah itu? Jika iya, maka ia sangat merasa bersalah sekarang.

"Chika juga baru tau, kami ketemu di ballroom itu. Aku bingung. Waktu acaranya selesai, Chika disuruh pulang ke rumah ayah. Tapi Chika ga mau. Dia mohon mohon supaya ikut pulang sama aku. Aku iyain. Dan aku ga bisa ngabarin kamu. Hp aku mati total." Shani menyuap potongan roti pada Gracia, ia juga memasukkan potongan itu ke mulutnya.

"Aku senang banget waktu kamu ke apart. Aku mau nyeritain semuanya, tapi kamu ga mau dengerin penjelasan aku." Habis sudah roti itu.

"Maaf." Hanya itu yang bisa diucapkan oleh Gracia.

"Engga Ge. Aku yang minta maaf. Harusnya aku ngejar kamu, berusaha ngejelasin waktu itu juga." Shani mengambil bungkusan coklat. Kemudian membukanya dan memberikannya pada Gracia.

"Iya, aku maafin." Kepala Gracia masih bersandar pada bahu Shani. Ia sungguh merasa bersalah. Entah kenapa malam itu ia begitu emosi dan egois.

"Habis dari mana? Kok bawa jajanan gini?" Gracia penasaran.

"Eemm..." Shani malu untuk menceritakan kejadian yang sebenarnya.

"Ng? Buat Chika ya?" Gracia menunggu jawaban Shani sambil mengunyah coklat pemberian Shani.

"Tadi aku ke kantor ayah. Biasanya kalau aku ke kantor ayah, kamu ikut karena kerjaan kamu ga jauh jauh dari sini juga. Jadi aku mampir dulu buat beliin jajan buat kamu. Pas bayar, aku baru ingat kalau kita udah putus." Jawab Shani dengan suara yang sedikit pelan.

"Aku sering lupa. Kemarin, aku hampir ke rumah kamu buat jemput kamu. Ingatnya waktu aku buka chat kita." Ucap Shani.

Gracia terkekeh. 

"Kita balikan kan?" Shani memastikan.

"Ada syaratnya."

"Apa?"

"Kamu jangan ngirimi aku duit lagi. Ini duit yang kamu kirim banyak banget. Mana pesannya cuma suruh buka blok doang. Kenapa ga langsung jelasin disitu coba?" Gracia mengangkat kepalanya, menatap wajah Shani.

"Ga bisa Ge. Limit hurufnya." Shani mengelus pelan kepala Gracia.

Ponsel Shani berdering. Itu ayahnya.

"Ge, sini pegangan. Kata ayah, liftnya mau diturunin." Shani meminta tangan Gracia.

Gracia tidak memberikan tangannya. Ia memeluk tubuh Shani.

Shani tersenyum. Kemudian mengabari ayahnya bahwa mereka sudah siap. Shani merasakan lift itu bergerak pelan.

Pintu di buka paksa. Shani dan Gracia berdiri, mereka di arahkan petugas menuju unit pemeriksaan.

GRESHAN ONESHOOTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang