Earthquake

4.5K 166 4
                                        

"Iya ma, Shani ga apa apa."

"Engga ma, Shani baik baik aja. Ga luka sedikit pun."

"Shani disini aja tunggu mama."

"Shani ga mau pergi sama siapa siapa ma."

"Malam ini Shani disini aja ma."

"Gapapa, mama tenang aja."

"Mama hati hati yaa."

Suara itu terdengar lemah. Seharusnya suara itu bergetar, tapi sang pemilik menutupinya dengan baik. Ia pandai sekali mengatur nafasnya agar terdengar baik baik saja. 

Gadis itu mematikan ponselnya, kembali memasukkan ponsel itu ke dalam ranselnya.

Shani mengedarkan pandangannya pada tenda tenda yang baru saja di dirikan di lapangan itu. Ia menatap orang orang yang berlalu lalang membawa kardus kardus. Menatap orang orang yang mengantri mengambil air, di samping kerumunan itu ada anak anak yang duduk lemah dengan wajah yang muram. 

Lapangan itu tidak begitu terang, hanya ada lampu lampu pijar yang membantu Shani menatap lapangan itu. Lampu lampu itu digantung di kayu kayu yang di dirikan menjadi tiang tiang. Kayu kayu panjang itu di tancapkan dengan jarak sepuluh meter antara satu dan yang lainnya.

Shani mendongak menatap langit yang sudah gelap. 

Lima jam lalu.

FLASHBACK

Shani sedang fokus menulis tugasnya saat ia merasa getaran yang berasal dari lantai. Semua orang menoleh ke kanan dan ke kiri. Wajah mereka cemas, panik.

Guru les mereka berteriak menyuruh mereka untuk tetap tenang. Ia menuntun murid muridnya agar mereka bersembunyi di bawah meja. 

Shani duduk meringkuk di bawah mejanya, sementara teman temannya melindungi kepala mereka dengan tangannya dalam posisi sujud.

Getaran itu terasa begitu kuat sampai membuat Shani pening. Ia merunduk, memejamkan matanya untuk meredakan peningnya. Perutnya mual.

Gempa itu terasa begitu lama. 

Semua orang merapalkan doa terbaik mereka. Semua orang mencoba melindungi diri mereka. Mereka takut dan panik. Dinding dan langit langit ruangan itu terasa begitu bergetar.

Bingkai bingkai yang ada di dinding kelas itu jatuh. Shani hampir terkena pecahan bingkai jika ia tidak merapatkan kakinya.

Getaran itu berhenti.

Sang guru meraih ponselnya. Mencari kabar berita tentang gempa barusan. Mereka mengabarkan bahwa ada kemungkinan datangnya gempa susulan. Tidak berpotensi tsunami. Tapi, siapa tau?

Mereka di perintahkan untuk keluar. Shani mengikuti intruksi gurunya, bergabung dengan anak kelas yang lain.

Tempat les itu tidak begitu besar, hanya ada lima kelas di dalam gedung yang berukuran empat pintu ruko pada umumnya. Gedung itu terdiri dari dua lantai. Lantai atas adalah ruang untuk para tenaga pengajar, sementara lantai bawah terdapat kelas kelas untuk para murid.

Ada beberapa anak yang di jemput orang tuanya. Sementara Shani menatap ponselnya, tidak ada yang menghubunginya.

Kedua orang tuanya sedang berada di luar negeri. Sementara abangnya sedang kuliah di Norwegia. Mungkin mereka belum mendengar kabar apa apa. 

Shani berpikir, apakah ia harus pulang? 

Para guru pasti sudah mengabari para orang tua di grup chat.

Bumi tempat Shani berpijak bergetar lagi.

Gempa susulan. Kali ini lebih kuat dari yang tadi. Shani di peluk oleh gurunya. Ia mencoba menguatkan pijakannya, tapi bukankah lebih baik jika ia tiarap? Entahlah, siapa yang dapat berpikir jernih disaat yang seperti ini?

GRESHAN ONESHOOTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang