- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE PERHARI
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.* * *
DESEMBER 2023
BRUK!
Melina dengan sengaja menabrakkan kursi ergonomis miliknya ke meja kerja milik Dela di rumah itu. Hal itu jelas membuat pikiran fokus Dela teralihkan dari pekerjaan ke arah wajah sahabatnya yang hobi mengganggu. Melina tampak tersenyum begitu lebar saat Dela menjatuhkan tatapnya. Wanita itu bahkan sempat-sempatnya memainkan kedua alis, padahal Dela sedang berusaha menahan diri untuk tidak mengomel.
"Ada apa sahabatku yang secantik bidadari, yang manis melebihi gula, dan tidak pernah bersikap menyebalkan? Apakah ada yang bisa aku bantu?" tanya Dela, sehalus dayang-dayang kerajaan zaman dahulu.
"Ekhm! Pergi ke toko membeli keris ...."
"Cakep!" sahut Dela.
"Pulangnya mampir ke toko jamu."
"Lanjut!"
"Wahai sahabatku yang ngefans berat pada Taylor Swift dan selalu optimis, ini ada undangan reuni yang tertuju untukmu."
Wajah Dela pun seketika terlihat bingung, usai mendengar soal undangan reuni yang datang untuk dirinya. Ia segera mengambil undangan reuni tersebut dari tangan Melina, lalu kembali menatap sahabatnya tanpa mengubah ekspresi sama sekali.
"Kok aku juga diundang, Mel? Aku bukan alumni di SMPN 1 Purwodadi, 'kan? Kamu ingat kalau aku pindah dari sana saat kita masih kelas dua, 'kan?" tanya Dela.
"Iya, aku ingat. Bahkan semua teman sekelas kita dulu pun ingat kalau kamu pindah dari sana saat masih kelas dua," jawab Melina.
"Lah, terus? Kok aku diundang saat mereka mengadakan reuni?" heran Dela.
"Aku juga bertanya begitu sama Wina, saat dia datang ke kantorku tadi siang untuk mengantar undangan reuni itu. Dia tahu aku pimpinan di Polsek Purwodadi, makanya dia langsung datang ke sana. Dia tidak tahu alamat rumahku ataupun alamat rumahmu. Dan jawaban Wina saat aku menanyakan pertanyaan itu adalah, semua teman sekelas kita dulu sepakat ingin mengundang kamu karena mereka kangen," jelas Melina, sambil berupaya menahan senyum.
"Hah? Kangen? Apakah yang kangen sama aku itu termasuk Mas Ahmad, mantan pacarku yang masih aku cintai?" tanya Dela lagi, sambil ikut menahan senyum seperti yang Melina lakukan.
"HA-HA-HA-HA-HA-HA!!!"
Gelak tawa akhirnya meledak dari mulut Melina saat Dela menyebut nama yang sudah ia pikirkan sejak tadi. Hal itu jelas membuat wajah Dela memerah sempurna tanpa ada celah sedikit pun.
"Sudah aku duga sejak siang tadi, bahwa kamu akan menanyakan soal Ahmad. Bahkan ... aku juga sudah menduga kalau kamu akan menyebut namanya dengan label panjang seperti barusan. Apa tadi? Mantan pacarku yang masih aku cintai?" goda Melina.
"Ish! Enggak usah godain aku, Mel! Kamu tahu sendiri 'kan, kalau Mas Ahmad itu adalah satu-satunya pria yang pernah bertahta di hatiku. Setelah putus dengannya, aku benar-benar menutup diri dan tidak berminat sama sekali untuk memberikan jalan kepada pria lain untuk menggantikan posisinya. Jadi wajar dong, kalau aku bertanya apakah dia juga salah satu orang yang merasa kangen padaku."
"Hm, iya ... iya ...! Si paling konsisten sama pilihan hatinya jelas tidak akan goyah meski Lee Min Ho seliweran di depan mukamu. Iya, 'kan?" tanya Melina.
"Itu bisa dirundingkan dulu, Mel, kalau yang seliweran di depanku adalah Lee Min Ho," sahut Dela dengan cepat.
Melina pun langsung meraih kotak berisi berbagai macam jenis hakpen milik Dela, dan berniat melempar ke wajah pemiliknya.
"Eh! Jangan main lempar-lempar dong, Mel! Ayo kita bahas yang lain, jangan bahas Lee Min Ho," bujuk Dela.
Melina pun langsung menyimpan kembali kotak yang tadi diraihnya ke atas meja kerja Dela. Wanita itu kembali duduk dengan tenang ketika Dela mulai membuka amplop undangan reuni miliknya.
"Kira-kira, Zahri akan datang atau tidak, ya?" tanya Melina.
"HUA-HA-HA-HA-HA-HA!!!"
Tawa Dela akhirnya meledak seperti meledaknya tawa Melina, tadi.
"Kamu menyebut aku 'si paling konsisten sama pilihan hati'. Nyatanya kamu lebih tidak bisa move on daripada aku. Itu namanya Zahri terukir di hatimu pakai apa, sih, waktu kalian masih pacaran? Pakai emas, perak, perunggu?" goda Dela.
"Pakai berlian, Del! Kuukir namanya di hatiku menggunakan berlian. Tapi dia memilih memutuskan aku gara-gara percaya sama omongan busuknya Eka. Kamu masih ingat Eka, 'kan? Dia teman sekelas kita juga. Dia anak baru waktu itu, masuknya saat kita kelas dua. Statusnya sama seperti kamu, ketika kamu masih kelas satu. Sama-sama anak baru," ujar Melina.
"Tapi prestasinya jelas beda, dong. Kalau Eka adalah anak baru yang menyebalkan dan membuat kamu serta beberapa orang menjadi tidak nyaman ketika berada di kelas, beda halnya dengan aku. Aku adalah anak baru yang menyenangkan ketika diajak bicara dan mampu berteman dengan semua teman sekelas kita tanpa pilih-pilih. Aku ramah, baik hati, dan yang terpenting adalah ngangenin. Iya, 'kan? Benar, 'kan?"
Melina pun tersenyum.
"Hm, kamu benar. Prestasimu jelas jauh berbeda dengan Eka. Kalau prestasimu tidak sebaik yang kamu sebutkan barusan, mana mungkin aku mau bersahabat denganmu sampai setua ini. Bahkan ... kita akhirnya hidup bertetangga selama belasan tahun, Del."
"Heh! Jangan sebut-sebut tua! Kita masih berusia dua puluh tujuh tahun. Belum terlalu tua!" tegas Dela.
"Ih! Sensitif sekali kamu sama kata 'tua'. Kenapa? Takut tidak akan dilirik lagi sama Ahmad, ya?"
Melina terkikik geli, sementara Dela sudah benar-benar siap ingin menyambit wanita itu dengan amplop undangan reuni.
"Tenang saja, Del. Ahmad pasti akan memilihmu jika dia masih sendiri. Matanya katarak kalau sampai tidak bisa melihat betapa cantiknya diri dan hatimu. Lagipula, aku yakin kalau sekarang Ahmad jelas sudah tahu kebenaran soal kamu yang tetap setia padanya, meski dulu kamu sempat pindah dari sini. Omongan busuknya Eka yang membuat Ahmad memutuskan hubungan dengan kamu jelas tidak ada yang terbukti. Kamu masih sendiri sampai sekarang dan kamu masih mencintai Ahmad tanpa ada yang berubah sedikit pun dalam hatimu," Melina berusaha meyakinkan Dela.
"Dan aku hanya perlu ikhlas, jika kenyataannya Mas Ahmad telah berkeluarga. Benar begitu, 'kan?"
"Mm ... itu benar. Itu jelas tidak bisa dihindari jika memang sudah terjadi. Dan kamu memang harus ikhlas kalau memang Ahmad sudah berkeluarga. Mendoakan yang terbaik untuk dia dan keluarga kecilnya bukan hal yang berat, 'kan?"
"Maka dari itulah aku selalu mengatakan bahwa, aku akan merundingkan ulang kalau Lee Min Ho benar-benar mau seliweran di depanku, Mel. Gimana? Aku cocok 'kan, jadi istrinya Lee Min Ho?" tanya Dela, sambil merapikan rambut dan juga pakaiannya.
Melina menyipitkan kedua matanya diiringi dengan senyum yang mendadak hilang dalam sekejap.
"Aku akan menguncikan kamu di gudang pada hari reuni, besok. Biar kamu enggak bisa datang ke acara reuni dan enggak bisa ketemu sama Mas Ahmad, mantan pacarmu yang masih kamu cintai!" ancam Melina.
"Oke, enggak apa-apa. Berarti besok kamu sudah siap jalan kaki, 'kan? Mobil yang biasa kamu pakai pulang pergi ke kantor itu adalah punyaku, Mel. Kalau kamu tidak mengajak aku ke acara reuni, maka kamu juga tidak akan bisa memakai mobil itu," Dela mengancam balik.
"Ish, Dela!" rajuk Melina.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
DENDAM
Horor[COMPLETED] Dela sedikit merasa aneh dengan undangan reuni yang ia terima dari SMP tempatnya belajar di Purwodadi. Pasalnya, ia hanya belajar di SMP tersebut tak sampai dua tahun, karena dulu dirinya terpaksa harus pindah sekolah ketika orangtuanya...