31 | Selalu Saja Bertemu

1.3K 98 14
                                    

- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE PERHARI
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

Melina turun dari mobil lebih dulu, namun tidak langsung disusul oleh Dela. Wanita itu menerima pesan dari Ahmad dan sedang membalasnya dengan wajah berseri-seri. Tak lama berselang, ia membuka kaca jendela dan menatap Melina yang baru saja membuka pagar rumah milik Dela.

"Mel, tutup saja kembali pagar rumahku. Aku mau langsung pergi. Ada urusan," pinta Dela.

"Mau ke mana kamu? Enggak masak untuk makan malam?" tanya Melina.

"Masak makan malam aku skip dulu hari ini. Ada orang penting yang harus aku temui," jawab Dela.

"Siapa? Ada klien yang menunggumu di studio?" duga Melina.

"Nanti akan aku kasih tahu. Aku pergi dulu, Mel. Assalamu'alaikum," pamit Dela.

"Wa'alaikumsalam."

Dela benar-benar meninggalkan Melina dengan pikiran penuh tanda tanya. Dela belum pernah menyembunyikan sesuatu dari Melina selama ini, sehingga tingkah lakunya kali itu benar-benar membuat Melina merasa bingung. Wanita itu kemudian membuka pagar rumahnya sendiri dan berjalan masuk menuju ke pintu. Namun baru beberapa langkah, ponselnya langsung berbunyi dan membuatnya merogoh saku celana.

"Assalamu'alaikum, Zah," sapa Melina, sambil menahan-nahan senyum.

"Wa'alaikumsalam, Mel. Kamu di mana sekarang? Bisa kita ketemu? Aku ... uhm ... aku mau mengajakmu makan di luar," balas Zahri, agak sedikit gugup.

"Oh, aku belum benar-benar sampai rumah, kok. Masih bisa putar balik. Mau ketemu di mana, Zah?" tanya Melina.

Faktanya memang demikian. Melina bahkan belum sampai di pintu rumahnya, sehingga masih bisa memutar balik langkah dan keluar lagi dari pagar.

"Aku akan jemput kamu. Kamu mau dijemput di mana?" Zahri balik bertanya.

"Di depan komplek Green Garden saja, Zah. Aku akan tunggu kamu di situ," jawab Melina.

"Oke. Jarakku sudah dekat dengan komplek Green Garden. Tunggu, ya."

Hanya sepuluh menit Melina menunggu di depan komplek dan mobil milik Zahri muncul tak lama kemudian. Zahri turun dari mobil, lalu membukakan pintu untuk Melina. Pria itu kemudian kembali mengemudi, setelah Melina selesai memakai seat belt dan duduk dengan nyaman.

"Kita mau ke mana, Zah?" Melina ingin tahu.

"Ke tempat makan berkonsep alam yang sering aku kunjungi. Insya Allah kamu pasti suka."

Melina kemudian mengangguk dan tersenyum. Perasaannya benar-benar bahagia karena bisa berada di samping Zahri lagi setelah sekian lama berlalu. Selama ini ia tidak pernah berani berharap terlalu jauh. Hanya Dela dan dorongan dari wanita itulah yang membuat Melina bertahan menyimpan perasaan untuk Zahri. Jika Dela tidak pernah meyakinkan dirinya bahwa suatu saat akan ada waktunya bagi Melina memperbaiki hubungan dengan Zahri, maka mungkin Melina sudah lama putus asa dan menyerah. Beruntungnya, Melina memutuskan untuk mendengar setiap saran dari Dela. Sehingga kini harapannya benar-benar menjadi kenyataan.

Mereka tiba di tempat yang Zahri katakan tadi. Perjalanan yang mereka tempuh tidak memakan waktu lama untuk bisa sampai ke tempat itu. Mereka seharusnya segera turun dari mobil setelah sampai. Namun Zahri mencegah Melina membuka pintu mobil dengan cepat, lalu menatapnya seraya tersenyum serba salah.

"Aku sayang kamu, Mel," ungkap Zahri, secara tiba-tiba.

Melina mendadak tegang dan di dalam dadanya mulai terjadi debaran yang menggebu. Ia cukup kaget ketika mendengar Zahri mengungkapkan perasaan secara terang-terangan seperti itu. Itu benar-benar pertama kalinya bagi Melina. Karena saat masih menjadi pacarnya di SMP pun, Zahri tidak pernah menyatakan perasaan secara terang-terangan.

"Aku sayang kamu dan Insya Allah rasa sayangku tidak akan pernah berkurang sampai kita menua bersama. Aku berniat ingin menikah dengan kamu, Mel. Aku ingin kita benar-benar bisa menjalani hidup bersama tanpa ada lagi yang namanya perpisahan. Jadi, Melina Gayatri, bersediakah kamu menjadi Istri dan Ibu dari anak-anak kita di masa depan?"

Zahri pun membuka sebuah kotak cincin berwarna biru tua di hadapan Melina. Hal itu membuat Melina semakin berdebar-debar tak karuan dengan wajah berwarna merah sempurna.

"Ya Allah, Zah. Demi Allah aku enggak pernah berpikir bahwa kamu akan melamar secepat ini. Jujur saja, aku kaget dengan peristiwa ini. Selama ini kamu enggak pernah bicara secara terbuka soal perasaanmu terhadapku, dan ini adalah pertama kalinya kamu membicarakannya di depanku. Tapi bukan berarti aku enggak suka dengan lamaran yang kamu lakukan saat ini. Demi Allah aku senang dengan lamaranmu dan aku bahagia. Dan jawabanku untuk kamu ... aku bersedia menjadi Istri dan Ibu dari anak-anak kita nanti, Zah. Aku mau menikah sama kamu," jawab Melina, tidak ingin menunda-nunda.

Bahagia di wajah Zahri menjadi semakin nyata. Senyumnya tidak memudar meski hanya sekejap. Pria itu dengan cepat memakaikan cincin ke jari manis Melina, agar jemari indah tersebut tidak lagi kosong seperti sebelumnya. Zahri kemudian mengecup punggung tangan Melina dengan lembut, lalu kembali menatap wajah wanita itu dengan penuh cinta.

"Ayo, sebaiknya kita segera turun. Takutnya nanti kita tidak kebagian tempat duduk kalau terlalu lama di sini," ajak Zahri.

"Setelah keluar dari mobil, aku boleh teriak dulu, enggak?" tanya Melina.

"Enggak boleh, Sayang. Nanti semua orang mengira kamu kesurupan, kalau sampai teriak-teriak di tempat umum," jawab Zahri, to the point.

"Kalau tantrum, boleh?"

"Jangan. Saat ini enggak ada Dela yang bisa mengatasi tantrumnya kamu."

Zahri menggandeng tangan Melina dan memasuki area tempat makan berkonsep alam terbuka yang mereka datangi. Ketika sedang mencari meja yang kosong, tatapan mereka berdua beradu pandang dengan tatapan dua orang lain yang tampaknya sudah sejak tadi berada di sana.

"Astaghfirullah. Apakah sudah tidak ada tempat nge-date lain di dunia ini? Apakah dunia benar-benar selebar daun kelor?" tanya Ahmad.

"Harusnya aku yang tanya begitu sama kamu," sebal Zahri. "Dari semua tempat makan yang ada di dunia ini, kenapa harus tempat ini yang kamu datangi bersama Dela?"

Melani sendiri saat ini sudah berkacak pinggang sambil melayangkan tatapan sebalnya ke arah Dela.

"Oh ... jadi orang penting yang akan kamu temui sehingga membuatmu rela menghapus jadwal masak malam itu, Ahmad?" sindirnya.

"Enggak usah menyindirku, Mel. Di sini bukan cuma aku yang tidak langsung pulang ke rumah setelah menghadapi pekerjaan. Kamu sendiri pun pasti belum sempat menyentuh tuas pintu rumahmu, 'kan?" balas Dela, telak.

"Sudah ... sudah ... lebih baik kalian duduk saja bersama kami. Sudah tidak ada tempat kosong sejak tadi. Tempat ini pun kami dapatkan hanya karena sedang beruntung," ujar Ahmad.

"Oh, ya? Kenapa bisa begitu?" Zahri ingin tahu.

"Kami datang dua menit lebih awal dari orang lain yang juga tiba tidak lama kemudian, Zah. Padahal tadi kami berdua sempat berpapasan dengan orang itu di parkiran. Tapi mereka sibuk mengobrol terus, sementara kami lebih memilih mengobrol setelah mendapatkan meja," jelas Ahmad.

Dela menatap ke arah jari manis Melina sambil menahan senyum. Otak jahilnya pun langsung bekerja dengan maksimal.

"Mas, pesanlah makanan yang banyak. Malam ini Melina yang akan traktir kita, karena dia baru saja dilamar oleh Zahri."

"Eh? Kok begitu? Waktu kamu dilamar sama Ahmad, aku dan Melina enggak ada minta traktir-traktir," protes Zahri.

* * *

DENDAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang