13 | Meyakinkan

1.6K 127 16
                                    

- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE PERHARI
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

Bian tiba di kantor pagi itu dan segera menuju ke meja kerjanya. Semua rekan kerjanya menatap remeh ke arah pria itu, sejak terjadinya kejadian-kejadian aneh yang membuat mereka tidak nyaman ketika Bian berada di sekitar mereka. Kini semuanya menjadi semakin buruk dan mereka berharap bahwa Bian akan menerima pemecatan agar tidak perlu lagi datang ke kantor.

"Coba kalau sudah tahu dirinya pembawa sial, diam-diam sajalah di rumah. Jangan terus membawa kesialan pada orang-orang di kantor ini," celetuk salah satu rekannya.

"Dia itu tidak tahu diri. Makanya masih saja muncul meski sudah tahu dirinya selalu bawa sial bagi kita," sahut yang lainnya.

Tak lama kemudian, seseorang keluar dari ruang pimpinan kantor itu dan berjalan tepat ke arah meja kerja Bian. Bian mengangkat wajahnya, lalu menatap tak percaya ke arah sosok yang tengah berdiri di hadapannya saat itu.

"Selamat pagi, Pak Bian. Bagaimana, apakah anda sudah siap berkemas?" tanya Melina, sambil menahan kesal akibat mendengar semua sindiran yang tertuju untuk Bian.

Semua mata di kantor itu mendadak tertuju ke arah Bian dan Melina. Pimpinan di kantor itu tidak mengatakan apa-apa, karena Melina sudah memberinya peringatan ketika mendengar kata-kata buruk terhadap Bian dari semua bawahannya yang lain.

"Ber-berkemas?" tanya Bian, terdengar kebingungan.

"Ya. Anda harus berkemas karena sekarang anda akan pindah tugas ke Polsek Purwodadi yang ada di bawah kepemimpinanku. Anda akan segera dilantik untuk menjadi Wakapolsek, karena aku sendiri yang menginginkan anda menjadi wakilku di kantor. Mari, aku akan membantu anda berkemas agar tidak perlu ada yang merasa takut terkena kesialan dari diri anda. Padahal mereka tidak tahu bahwa anda adalah orang paling beruntung yang pernah aku kenal selama hidup," jawab Melina, sambil menatap ke arah orang-orang yang tadi bicara buruk.

Beberapa orang merasa tak percaya dengan apa yang baru saja terjadi. Mereka tidak pernah menduga kalau Bian akan ditunjuk langsung untuk menjadi Wakapolsek oleh Kapolsek Purwodadi. Padahal selama beberapa bulan terakhir, mereka sangat yakin bahwa Bian akan mendapatkan pemecatan karena selalu saja mengalami kesialan saat sedang bertugas. Tapi nyatanya, hari itu Bian sama sekali tidak mengalami kesialan dan justru sangat beruntung karena akan menduduki jabatan baru di kantor yang baru.

Bian pun bergegas berkemas seperti yang Melina inginkan. Setelah itu ia segera keluar dari kantor tersebut bersama Melina dan akan mengikutinya menuju Polsek Purwodadi.

"Mel, apa maksudnya semua ini? Kenapa mendadak kamu menunjuk aku untuk menjadi wakilmu di Polsek Purwodadi?" tanya Bian, sebelum masuk ke mobilnya sendiri.

"Kemarin kamu bilang, bahwa karirmu sebagai Polisi sedang berada di ujung tanduk. Dela memberiku saran untuk segera menyelamatkan karirmu dan memindahkanmu dari kantor ini ke kantor yang aku pimpin. Menurut Dela, jauh lebih penting bagiku untuk menyelamatkan mentalmu sebelum membantumu terlepas dari kegilaan Eka. Sekarang sebaiknya tidak perlu lagi kamu risaukan hal-hal lain selain daripada yang harus kamu hadapi selanjutnya. Kamu tenang saja, Bian. Aku dan Dela tidak akan menutup mata. Kamu dan Mira akan menjadi prioritas kami, sampai akhirnya nanti kita akan sama-sama melihat bagaimana akhir yang akan Eka dapatkan," jelas Melina.

"Mira? Bahkan kamu dan Dela akan mengurus Istriku?" Bian ingin tahu lebih jauh.

"Saat ini Dela sedang bersama Mira, Bi. Dela akan berusaha mengembalikan kondisi mental Mira, sebelum membuatnya kembali menjalani profesinya sebagai Dokter. Kamu adalah bagianku, Mira adalah bagian untuk Dela. Serahkan saja pada kami. Percayakan pada kami," pinta Melina.

Mira menatap takjub pada semua koleksi rajutan yang Dela pajang di studionya. Dela tersenyum ketika Mira sedang memperhatikan secara detail semua corak dan juga teknik rajut yang Dela pakai pada sweater, baju, dan juga pakaian dalam.

"Mbak Dela yang membuat semua ini? Mbak merancangnya sendiri?" tanya Mira.

"Panggil saja Dela, tidak usah pakai 'Mbak'. Dan, ya, aku membuat semua itu sendiri. Aku merancangnya setiap kali ada ide yang melintas dalam pikiranku. Bagaimana? Ada yang kamu suka?" Dela balik bertanya.

Mira pun langsung melirik ke arah sweater couple yang terpajang pada manekin. Dela pun tahu mana yang paling disuka oleh Mira saat itu, lalu segera melepasnya dan membungkusnya agar bisa ia berikan sebagai hadiah. Mira menerima hadiah itu dengan perasaan senang, namun sedikit tidak enak. Pasalnya, harga sweater couple yang Dela berikan padanya sama sekali tidak murah.

"Apakah tidak apa-apa, Del? Ini ... harganya ...."

"Tidak seberapa jika dibandingkan saat aku melihat senyum bahagia di wajahmu," potong Dela dengan cepat.

Mira menatapnya begitu lama.

"Berapa pun angka yang tertera di sana, sama sekali tidak ada artinya jika seseorang yang aku kenal dengan baik mengalami hal terburuk. Aku membawa kamu ke sini karena ingin menghiburmu. Aku ingin kamu tahu, bahwa masih ada yang peduli padamu dan Suamimu meski keadaan sangat sulit untuk dilalui. Aku tidak ingin kamu putus asa, patah semangat, dan kehilangan rasa percaya pada orang-orang di sekitarmu. Aku ingin kamu bangkit, melawan semua rasa sakit, dan maju untuk meninggalkan penderitaan yang perempuan itu hadirkan ke dalam hidup kalian. Sweater itu aku berikan agar kamu dan Bian tahu, bahwa kalian akan selalu menerima dukungan dariku. Aku tidak akan berhenti untuk membantu, sampai semuanya benar-benar tuntas," jelas Dela.

Tanpa terasa, kedua mata Mira telah berkaca-kaca. Mendengar yang Dela katakan membuat hatinya terketuk dan kembali terasa hangat. Ia tidak tahu harus mengatakan apa untuk membuat Dela tahu bahwa dirinya sangat berterimakasih atas bantuan yang wanita itu berikan. Ia justru hanya bisa menahan kesedihan, hingga membuat wajahnya basah perlahan-lahan.

Dela menyodorkan tisu pada Mira agar bisa menyeka air matanya. Mira menerimanya dengan tangan gemetar, lalu dengan cepat menyeka wajahnya agar tidak perlu berlarut-larut dalam kesedihan.

"Menangis saja, jika kamu ingin menangis. Jangan merasa malu hanya karena kamu sedikit rapuh di tengah masalah yang sedang terjadi. Tapi setelah itu, mulailah untuk menjadi sekuat batu karang. Kamu harus menjelma menjadi sosok yang tidak bisa diruntuhkan oleh perempuan itu. Itu adalah satu-satunya cara agar dia kalah telak," ujar Dela.

"Dan menurut kamu, aku benar-benar bisa menjadi batu karang?" Mira ingin tahu.

"Ya. Kamu bisa. Ayo, ikut denganku. Kita akan pergi ke tempat di mana kamu bisa membangun kembali karirmu sebagai seorang Dokter," ajak Dela, dengan wajah penuh senyum.

Mira menatapnya begitu lama, sekali lagi. Ia sama sekali tidak menemukan hal yang bisa membuatnya ragu ketika menatap wajah Dela. Ia pun segera meraih uluran tangan wanita itu, lalu bangkit dan mengikuti langkahnya.

* * *

DENDAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang