28 | Pertemuan Dengan Wina

1.4K 111 4
                                    

- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE PERHARI
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

Melina dan Dela menemui Wina saat jam makan siang tiba. Wina setuju untuk bertemu, namun wanita itulah yang memilih tempat pertemuan. Mereka bertemu di sebuah restoran Jepang favorit Wina dan sepakat untuk makan siang bersama di sana.

"Gimana perjalanan ke Semarang kemarin, Win? Apakah lancar?" tanya Melina.

"Alhamdulillah perjalanan dan pekerjaannya lancar, Mel. Aku dan Fajar benar-benar tidak terhambat oleh kendala apa pun, sehingga bisa kembali ke Purwodadi sebelum malam. Oh ya, aku dengar kabar dari Asril kalau kamu dan Zahri akhirnya memutuskan kembali bersama. Apakah benar begitu, Mel?" Wina balik bertanya.

"Alhamdulillah, itu adalah kabar yang benar, Win. Tapi selain kabar baik dariku, ada juga kabar baik dari Dela dan Ahmad," jawab Melina, sambil melirik ke arah Dela yang sejak tadi diam saja.

Tatapan Wina yang diiringi dengan senyum tertahan pun terarah kepada Dela. Dela tetap saja diam dan lebih memilih menikmati Chicken Mentai Roll yang dipesannya.

"Saus mentainya enak. Kalian mau coba?" tawar Dela, mencoba mengalihkan perhatian.

Wina dan Melina pun akhirnya tertawa kompak, usai melihat bagaimana cara Dela menghindari pertanyaan soal rencana pernikahannya dengan Ahmad. Tatapan Wina kini terarah pada cincin yang melingkari jari manis Dela.

"Kamu enggak usah mengelak atau mencoba tidak membahasnya, Del. Cincin di jari manismu itu sudah melambangkan segalanya, loh," goda Wina.

"Bukannya mengelak atau mencoba tidak ingin membahas, Win. Saat ini fokusku ada pada urusan Bian dan Mira. Aku ingin mereka benar-benar tidak perlu lagi berurusan dengan Eka, agar mereka bisa menjalani hidup yang tenang," jelas Dela.

Wina jelas tidak menemukan kebohongan dari apa yang baru saja Dela katakan. Ia masih tidak menyangka kalau Dela dan Melina mau ikut campur dalam urusan hidup Bian, padahal waktu itu Bian belum memohon bantuan sama sekali. Kedua wanita itu benar-benar sulit ditebak sejak mereka masih remaja. Bahkan Wina sekalipun juga tak bisa menebak jalan pikiran mereka sampai detik ini.

"Oke, kalau begitu mari kita langsung saja membicarakan yang harus dibicarakan," Melina menengahi. "Jujur saja, aku ikut datang ke sini bersama Dela tanpa tahu apa tujuan sebenarnya ketika bertemu dengan kamu, Win. Dela adalah orang yang memiliki pertanyaan untuk kamu, karena dia merasa bahwa kamu adalah satu-satunya yang bisa membantu kami mendapat jawaban."

"Oke, aku paham," tanggap Wina, yang kemudian kembali menatap Dela. "Kalau boleh tahu, pertanyaan apa yang ingin sekali kamu ajukan padaku, Del?"

Wina terlihat menatap ke arah Dela dengan serius. Dela menyimpan sumpit dan meminum beberapa teguk Ice Lemon Tea miliknya.

"Begini, Win," Dela memulai. "Kemarin aku dengar satu hal dari Mas Ahmad soal Eka. Kamu satu sekolah dengan dia saat SMA, 'kan? Jadi jelas kamu tahu kalau dia berhenti sekolah menjelang naik ke kelas tiga saat itu. Kalau menurut Mas Ahmad, katanya Eka tidak mampu memperbaiki nilai-nilainya saat itu dan memilih menyerah. Apakah itu benar?"

Wina ikut meletakkan sumpit miliknya dan berhenti makan selama beberapa saat. Melina bisa melihat kalau Wina saat itu seakan sedang menyelami masa lalunya di SMA.

"Itu benar, bahwa aku memang satu sekolah dengan Eka saat SMA. Dan juga benar adanya, bahwa Eka tidak mampu memperbaiki nilai-nilainya dan menyerah dengan cepat," jawab Wina.

Dela pun langsung tersenyum.

"Yang berarti, alasan sebenarnya Eka memutuskan berhenti sekolah bukanlah karena menyerah dengan nilai-nilainya yang buruk. Ada alasan lain di balik keputusannya itu. Benar, 'kan?"

"Dan kamu sudah menduganya, sejak Ahmad bercerita padamu kemarin? Benar, 'kan?" duga Melina, yang hafal mati dengan jalan pikiran Dela.

Wina pun menghela nafasnya, lalu kemudian mengangguk. Dela terlihat tetap tenang, sementara Melina mulai mencatat keterangan baru yang diberikan oleh Wina.

"Jadi, saat di SMA dulu, ada seorang wanita bernama Risti. Dia sekelas denganku, bukan sekelas dengan Eka. Tapi Eka mengenalnya dan dia juga mengenal Eka. Mereka jelas tidak akur. Eka selalu berusaha menghindari kontak dengan Risti, jika tidak sengaja bertemu di kantin atau di lapangan. Eka awalnya ingin bertingkah seperti saat dia menjadi anak baru di SMP kita, dulu. Tapi karena saat SMA ada Risti di tengah-tengah angkatan kami, Eka pun batal ingin bertingkah seperti yang pernah aku lihat saat masih SMP. Entah apa alasannya, tapi intinya Eka sepertinya sangat takut pada Risti. Sampai akhirnya, suatu hari Risti merasa sangat kesal ketika datang ke sekolah dan langsung mencari keberadaan Eka. Mereka ribut besar, tapi kami semua tidak paham dengan apa yang mereka bahas pada saat itu. Setelah keributan itu terjadi, Eka akhirnya memutuskan berhenti sekolah dan keberadaannya tidak lagi diketahui oleh siapa pun termasuk oleh Risti," jelas Wina.

Dela pun mengangguk-anggukkan kepalanya, pertanda bahwa ia paham dengan penjelasan yang Wina berikan. Melina kembali menatap ke arah Wina setelah mencatat beberapa hal penting dari keterangan yang didapatnya.

"Kamu pernah mencoba menanyakan pada Risti, soal kenapa dia mendadak marah dan mengajak Eka ribut?" tanya Melina.

"Enggak, Mel. Aku enggak berani. Risti itu orang yang baik. Tapi kalau sudah ada yang mencoba membahas soal Eka dan mencari tahu apa masalah sebenarnya yang terjadi di antara mereka, maka dia akan langsung marah. Aku enggak suka punya masalah dengan siapa pun, Mel. Makanya aku tidak pernah mencoba mencari tahu."

"Dan lagi pula mana mungkin Risti mau membocorkan masalah sebenarnya, jika memang dia memperbolehkan seseorang bertanya," sahut Dela.

"Menurutmu, begitu?" Melina mulai merasa bingung.

"Ya, menurutku begitu. Karena masalah yang terjadi antara Eka dan Risti adalah sebuah jaminan. Kalau Risti membocorkan apa masalah sebenarnya, maka Eka mungkin saja akan merasa marah dan tidak lagi akan menghormati Risti. Berhentinya dia dari SMA adalah bentuk sebuah rasa hormat kepada Risti, yang telah bersedia untuk menyimpan inti permasalahan di antara mereka," jelas Dela.

"Ah ..." Melina mendadak paham, "... maksudmu sebelum keributan itu terjadi, Risti sudah memegang rahasia soal Eka. Lalu saat mereka ribut, Risti mengancam akan membuka rahasianya dan hal itulah yang membuat Eka langsung memutuskan berhenti sekolah. Benar, 'kan?"

"Tepat sekali," Dela membenarkan.

"Oke ... jadi, selanjutnya apa yang akan kalian lakukan setelah mendapat jawaban dariku mengenai Eka saat SMA?" Wina ingin tahu.

Dela kembali menatap ke arah Wina.

"Kamu bisa menjadi perantara antara kami dan Risti, Win? Kamu masih berkontak dengan Risti, 'kan?"

"Masih. Tapi ... apakah tidak apa-apa jika kita bertemu Risti dan mendadak bertanya-tanya soal Eka? Jujur saja, aku takut dia marah," ungkap Wina.

"Serahkan saja pada kami, Win. Kami berdua yang akan mengatasi soal itu," Melina berusaha meyakinkan Wina.

* * *

DENDAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang