38 | Perjalanan

1.3K 109 27
                                    

- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE PERHARI
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

Zahri segera mengeluarkan Bian dari dalam lemari, setelah Eka benar-benar terkapar di lantai dan tidak sadarkan diri. Keputusan Zahri menyembunyikan Bian bukanlah tanpa alasan. Bian memang bisa melawan jika harus berhadapan dengan Eka. Hanya saja, Zahri takut kalau Eka masih menyimpan sesuatu yang bisa menyerang Bian secara gaib, dan pada akhirnya hal itu akan membuat usaha yang Dela dan Melina lakukan sama sekali tidak berguna.

"Mira ada di bawah. Tampaknya Dela memutuskan menjemput Mira karena tidak juga mendapat kabar dari aku atau Melina," jelas Zahri.

Bian segera menuruni anak tangga setelah mendengar hal itu. Mira langsung memeluknya, setelah mengambil botol obat bius yang tadi Dela gunakan pada pistol milik Melina untuk melumpuhkan Eka. Melina, Ahmad, dan Rozi masih berusaha meyakini bahwa Eka saat ini sudah benar-benar tidak lagi berdaya.

"Aku benar-benar berusaha tenang selama dalam perjalanan ke sini, Mas. Dela bilang padaku, pasti ada hal yang salah di sini sehingga tidak ada kabar dari Melina atau Zahri," ungkap Mira, sambil menatap wajah Bian begitu lama.

"Semuanya terjadi begitu cepat, Sayang. Tadinya kami mau menjemput kamu, tapi perempuan itu sudah lebih dulu datang dan mengacau," jelas Bian.

"Aku dengar semuanya dari luar ketika tiba di sini, Mas. Itulah mengapa akhirnya aku memberikan obat bius cadangan yang selalu kubawa ketika diminta oleh Dela," balas Mira.

Bian kini menatap ke arah yang lainnya, begitu pula dengan Mira.

"Jadi ... siapa yang menembak dia?" tanya Bian.

Rozi, Zahri, Ahmad, dan Melina dengan kompak menunjuk ke arah Dela. Dela hanya bisa tersenyum serba salah sambil menggaruk-garuk kepalanya yang tidak gatal ketika tatapan Bian terarah padanya.

"Kamu itu terkadang bisa nekat juga, rupanya, Del," ujar Bian.

"Aku enggak punya pilihan lain, Bi. Kalau aku enggak ambil keputusan lebih awal dan Eka akhirnya mencoba melarikan diri, maka salah satu dari semua Polisi yang sudah mengarahkan senjata kepadanya akan menembak dia dan dia berpotensi akan meninggal seketika. Dia harus tetap hidup. Setidaknya sampai kita berhasil menemukan di mana dukun yang menjadi antek-anteknya melakukan ritual," jelas Dela.

"Lalu, sekarang apa yang harus kita lakukan? Apakah dia harus kita angkat bersama?" tanya Rozi, yang sebenarnya enggan melakukan hal tersebut.

"Mau tidak mau, ya pasti akan kita angkat dia dari sini, Zi. Kantor ini harus segera diperbaiki, bukan?" sahut Ahmad.

Mobil milik Eka akhirnya diderek keluar oleh mobil penderek milik kepolisian. Kerusakan di kantor tersebut segera diperbaiki, karena Melina tidak pernah suka menunda-nunda sesuatu. Setelah akhirnya orang yang akan menangani semua kekacauan itu tiba, Melina akhirnya memberi tanda bahwa kini mereka bisa pergi bersama-sama. Eka berada di mobil milik Dela dan diikat dengan kuat pada kursi paling belakang. Ahmad duduk di balik kemudi, tepat di samping Dela yang kini sedang mengawasi ke arah belakang. Rozi tidak ikut bersama mereka dan lebih memilih ikut di mobil milik Bian.

"Kalau dia bangun bagaimana, Dek?" tanya Ahmad.

"Kalau dia bangun, alhamdulillah, Mas. Yang ngeri itu justru kalau dia tidak bangun lagi," jawab Dela.

Ahmad pun mencoba menahan tawanya sebisa yang ia mampu. Sejak dulu Dela selalu saja hobi memberikan jawaban seperti itu, dengan tujuan untuk membuat Ahmad tidak merasa stress dengan sesuatu yang sedang mereka hadapi. Kebiasaan Dela tersebut tentu saja membuat Ahmad merasa jauh lebih nyaman ketika sedang bersamanya.

"Apakah kamu mau mengatakan padaku, bagaimana caranya agar kita bisa menemukan keberadaan dukun suruhannya Eka?"

"Aku lebih suka memperlihatkan caranya, Mas. Menjelaskan hanya akan membuat kamu menjadi bingung. Sabar dulu, ya," pinta Dela.

Ahmad pun menganggukkan kepalanya, lalu kembali fokus pada jalanan yang sedang ia hadapi. Dela kembali menatap ke belakang untuk memastikan bahwa Eka belum bangun. Efek obat bius yang Mira berikan tampaknya sangat bagus untuk menahan perempuan tersebut hingga mereka tiba ditujuan nanti. Ponsel milik Dela berdering, membuatnya segera mengeluarkan benda pipih itu dari dalam saku celana.

"Iya, Mel. Ada apa?" tanya Dela.

"Ini tujuan kita sekarang kembali ke rumahnya Eka?" tanya Melina.

"Iya. Kita harus kembali ke sana. Karena hanya melalui rumah itulah kita bisa menemukan dukun ataupun Iblis yang dia puja," jawab Dela.

"Sekarang dia belum sadar, 'kan? Kalau seandainya dia sadar, tolong segera buat dia pingsan lagi. Aku malas meladeni dia dan omongannya, kalau dia sampai sadar," pinta Melina.

"Tapi dia memang harus bangun, Mel. Bagaimana aku akan bekerja kalau dia pingsan terus?"

"Kalau begitu tolong lakban mulutnya. Aku muak dengar suaranya."

"Hm ... iya deh, iya. Nanti aku lakban mulutnya demi kamu. Tapi aku enggak bawa lakban, Mel. Gimana, dong?" tanya Dela, sambil terkekeh geli.

"Ish! Dela! Jangan bikin aku kesal kembali disaat baru saja habis mengamuk akibat ulahnya Eka, dong!" rajuk Melina.

"Kalau begitu mintalah pada Zahri untuk menghibur kamu. Apa gunanya ada Zahri di sisi kamu, kalau untuk menghibur perasaan kacaumu tetap aku juga yang harus turun tangan?" balas Dela.

Dela segera mematikan sambungan telepon itu, sebelum Melina kembali membalas dengan omelan yang lebih panjang. Ahmad tertawa pelan saat sadar kalau Dela memang sengaja bicara begitu agar Melina bisa mengadu pada Zahri.

"Kamu itu sejak dulu selalu saja punya ide untuk membuat orang lain menjadi semakin dekat. Zahri pasti senang sekali, kalau tahu bahwa kamu sengaja menyulut pertengkaran dengan Melina agar dia bisa menjadi lebih dekat dengan Melina," ujar Ahmad.

"Setelah sebelas tahun aku terus mendengar curhat soal perasaan Melina terhadap Zahri, aku jelas tidak akan membiarkan saat-saat seperti sekarang berlalu begitu saja. Bisa membuat mereka menghabiskan waktu bersama dan juga membuat mereka jadi lebih dekat adalah hal terbesar yang selalu ingin aku lakukan. Aku tahu Zahri sayang pada Melina dan aku juga tahu kalau Melina tidak bisa berpaling dari Zahri. Jadi aku jelas akan terus memikirkan cara agar mereka berdua tidak lagi berpisah sampai sama-sama menua," ungkap Dela, tentang apa yang selalu ia pikirkan.

Ahmad pun segera meraih tangan Dela dan menggenggamnya dengan erat.

"Dan begitu pula sebaliknya, Melina pun akan melakukan semua hal untuk membuat kamu dan aku bersama kembali. Seperti pada saat Wina mengantarkan undangan reuni, Melina meminta pada Wina untuk menyampaikan padaku bahwa dia akan memastikan bahwa kamu pasti datang ke acara tersebut. Jadi bagaimana pun sibuknya aku, dia meminta agar aku juga datang ke sana."

Dela tampak terkejut dengan apa yang Ahmad bocorkan padanya soal pesan dari Melina melalui Wina. Ahmad akhirnya tahu bahwa Dela tidak mengetahui soal pesan itu sama sekali.

"Wah ... pantas saja dia membiarkan aku memutar lagu Taylor Swift di rumah dan di sepanjang perjalanan pagi itu tanpa mengeluarkan omelan. Ternyata dia ingin memastikan kalau moodku tidak rusak, agar aku tidak membatalkan keinginan untuk datang ke acara reuni. Dasar Melina!" gemas Dela.

"BAGAIMANA OBROLANNYA??? APAKAH SUDAH SELESAI???" teriak Eka, tepat di antara mereka berdua

Ahmad langsung membanting setir ke kiri akibat merasa kaget, sementara Dela kini berusaha mendorong Eka agar kembali ke belakang. Perempuan itu mendadak sadar, setelah mendapat bantuan dari dukun suruhannya.

* * *

DENDAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang