- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE PERHARI
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.* * *
Dela segera menahan Melina agar tidak perlu maju ke hadapan Iqbal. Mira mendengar suara Melina yang begitu keras di luar rumah. Hal itu membuatnya segera mengajak Gista untuk ikut keluar bersamanya. Ia ingin tahu ada hal apa di luar yang membuat Melina terdengar sangat marah. Saat tiba, ia langsung berdiri tepat di samping suaminya.
"Jangan tahan aku, Del! Aku ingin sekali merobek mulut laki-laki itu karena telah mencoba memfitnah kamu di depan Ahmad!" tegas Melina.
"Sabar, Mel. Sabar, dulu," bujuk Dela.
Iqbal tertawa mengejek sambil menatap ke arah Melina. Zahri diam-diam menahan kekesalannya ketika melihat bahwa Iqbal memang sengaja ingin mengejek Melina. Rozi memahami kekesalan Zahri, namun ia mencoba untuk menahan pria itu agar tidak perlu melakukan apa pun yang bisa berakibat fatal terhadap Iqbal.
"Lihat, itu. Sahabatmu sendiri tidak menyanggah ucapanku sama sekali. Terus kenapa malah jadi kamu yang koar-koar tidak jelas begitu?" Iqbal semakin berani.
Ahmad tetap diam serta tidak menunjukkan ekspresi apa pun. Pria itu kemudian mendekat pada Dela, lalu segera merangkul pundaknya dengan lembut. Iqbal melihat bagaimana hal itu terjadi. Perlahan, hatinya mulai terasa panas saat pundak Dela benar-benar dirangkul oleh Ahmad.
"Aku percaya dengan apa pun yang dilakukan oleh calon Istriku di luar sini, meski aku tidak melihatnya secara langsung. Jadi walaupun dia tidak menyanggah ucapanmu tadi, belum tentu ucapanmu adalah hal yang benar untuk aku yakini. Jangan terlalu percaya diri. Terlalu percaya diri bisa saja membawa seseorang terjatuh ke dalam kubangan rasa malu yang tidak ada akhirnya," ujar Ahmad, memberi peringatan kepada Iqbal dengan caranya sendiri.
Mendengar Ahmad menyebut Dela sebagai calon istri tentu saja membuat Iqbal semakin geram. Ia merasa tidak terima karena dirinya sama sekali belum melakukan langkah apa pun untuk mendekati Dela, namun sudah terkalahkan oleh Ahmad. Mira merangkul lengan Bian, lalu berbisik di telinga suaminya agar tidak ada yang mendengar.
"Siapa yang kamu maksud terlalu percaya diri? Aku? Bukankah kamu yang terlalu percaya diri, sehingga berani menyatakan bahwa Dela adalah calon Istrimu padahal Dela belum tentu ...."
Dela langsung menunjukkan cincin pemberian Ahmad yang kini sudah melingkari jari manisnya. Hal itu membuat Iqbal bungkam dalam sekejap dengan amarah yang benar-benar tertahan di dadanya.
"Aku memang calon Istrinya dan Insya Allah kami akan menikah dalam waktu dekat. Untuk urusan kenapa aku tidak menyanggah ucapanmu," Dela menunjuk ke arah CCTV di balik penutup plafon yang ada di teras rumah Bian, "... karena aku bisa membuktikan bahwa kamu memang berusaha memfitnah aku di depan calon Suamiku. Dan menurutmu, kalau aku menuntut kamu dengan tuduhan pencemaran nama baik disertai dengan bukti dari rekaman CCTV itu, maka berapa lama kamu akan mendekam di penjara? Mel ... hukumannya tiga atau empat tahun 'kan, ya, kira-kira?"
Zahri dan Rozi langsung berusaha keras menahan tawa, saat Dela menunjukkan kecerdasannya di depan Iqbal dan meruntuhkan rasa percaya diri laki-laki itu dalam sekejap.
"Itu baru sanksi dimata hukum, ya. Belum sanksi sosial," lanjut Dela. "Kalau aku juga melaporkan kamu pada Ketua RT dan RW di lingkungan sini, lalu hal itu sampai ke telinga warga ... menurutmu apa yang akan terjadi? Desas-desus bahwa seorang keponakan Ustadz melakukan hal keji berbentuk fitnah terhadap seorang wanita, demi merusak nama baik wanita tersebut akan langsung berembus dalam sekejap. Kamu akan diasingkan oleh mereka, sehingga kamu akan merasa tidak betah untuk tinggal di lingkungan ini lebih lama. Bagaimana? Apakah sudah terbayang tentang penderitaan yang akan kamu alami, jika masih juga berupaya mendekat padaku? Aku tidak pernah main-main jika sudah dibuat hilang kenyamanan oleh seseorang. Jadi, sebaiknya kamu berhati-hati."
"Pulanglah, Mas Iqbal. Aku sudah mengirim pesan pada Ustadz Aswan barusan dan memberi tahu Beliau, tentang tindakanmu yang berusaha memfitnah Dela. Rekaman CCTV yang Dela bicarakan juga sudah aku kirim pada Ustadz Aswan. Mas Iqbal bisa ikut melihatnya melalui ponsel milik Ustadz Aswan jika sudah tiba di rumah," ujar Bian, tegas.
Iqbal benar-benar dipermalukan seperti yang sudah Ahmad katakan tadi. Laki-laki itu tidak punya pilihan lain, selain benar-benar angkat kaki dari rumah Bian. Kalau dirinya tidak segera angkat kaki dari sana, maka Pamannya akan datang dan menyeretnya pulang setelah dirinya membuat ulah yang begitu memalukan.
"Uh! Kenapa sih tidak ada yang membiarkan aku mencabik-cabik muka laki-laki itu?" omel Melina.
Gista langsung membalas omelan tersebut dan membuat Rozi tertawa begitu keras.
"Apa kata Gista, Zi?" tanya Ahmad.
"Gista bilang, 'Karena wajah cowokmu lebih butuh dicabik-cabik olehmu daripada wajah cowok lain'," sahut Rozi.
Zahri menatap ke arah Gista dan berkacak pinggang.
"Mungkin kamu ... seharusnya ... mulai memikirkan ... cara memberikan nasehat ... yang baik ... untuk Melina," ujar Zahri terbata-bata, sesuai dengan bahasa isyarat yang baru ia hafal.
Gista pun membalas dengan cepat, sehingga Zahri tidak benar-benar paham dengan balasan yang ia terima.
"Pelan-pelan, dong, Gis. Aku masih belajar, loh, ini," protes Zahri, kalang kabut.
Dela hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala saat melihat tingkah Zahri. Ia kemudian menatap ke arah Ahmad yang masih berada di sampingnya.
"Biarkan yang lain masuk duluan, ya. Mas Ahmad di sini saja temani aku. Aku harus menutup semua akses yang bisa dijadikan jalan bagi para makhluk halus yang ingin menyerang Bian," ujar Dela.
"Iya, Dek. Aku akan menemani kamu di sini," tanggap Ahmad, setuju.
Setelah semua orang kembali masuk ke dalam rumah, Dela pun segera berkonsentrasi untuk menggunakan ajian dedap tabir. Energinya sudah kembali seperti semula, sehingga membuatnya sangat mudah melepaskan ajian. Ahmad--yang berada tidak jauh dari posisi Dela saat itu--bisa merasakan lagi aliran energi dari diri Dela. Ia menunggu dengan tenang sambil terus memperhatikan semua hal yang Dela lakukan malam itu.
Setelah selesai melepas ajian dedap tabir, Dela segera mendekat kembali ke sisi Ahmad. Ia mengajak pria itu duduk sebentar di kursi teras, sambil menatap ke arah pohon mangga yang terdapat di halaman.
"Jadi, tadi hampir terjadi serangan lagi terhadap Bian, Dek? Apakah lebih parah dari serangan yang mendatangi Bian di sekolah saat kita reuni kemarin?" tanya Ahmad.
"Semakin hari, serangannya jelas akan semakin besar, Mas. Itulah hal yang diinginkan oleh Eka. Dia ingin Bian merasakan penderitaan yang terus bertambah, bukan justru berkurang," jawab Dela.
"Dan setelah kita tahu di mana dia bersembunyi selama ini, apakah akan ada hal yang kamu dan Melina lakukan?"
"Iya, Mas. Aku sedang mencoba menyusun langkah. Insya Allah, aku akan segera memberi tahu Mas Ahmad jika semuanya sudah benar-benar dipikirkan dengan matang," janji Dela.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
DENDAM
Horror[COMPLETED] Dela sedikit merasa aneh dengan undangan reuni yang ia terima dari SMP tempatnya belajar di Purwodadi. Pasalnya, ia hanya belajar di SMP tersebut tak sampai dua tahun, karena dulu dirinya terpaksa harus pindah sekolah ketika orangtuanya...