19 | Memancing

1.5K 121 8
                                    

- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE PERHARI
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

Ketua RT dan Ahmad sama-sama kaget dengan permohonan izin yang Dela cetuskan. Keduanya sama-sama berpikir keras, hanya saja pemikiran yang satu penuh tanda tanya dan yang satu lagi penuh dengan rasa heran.

"Mbak dan Masnya mau berkunjung ke rumah terbengkalai itu? Apakah kalian berdua benar-benar yakin?"

"Iya, Pak. Kami berdua yakin, bahwa kami ingin berkunjung ke sana. Jika tidak demikian, maka kami tidak akan pernah bisa menemukan keberadaan Eka yang sebenarnya. Dia saat ini bersembunyi di suatu tempat dan tidak ingin ditemukan. Karena dia tahu, jika sampai dirinya ditemukan oleh kami, maka kegiatan perdukunan yang sedang dia jalani akan segera berakhir," jelas Dela, agar Ketua RT tersebut paham dengan tujuannya.

Ketua RT di komplek tersebut akhirnya memberikan izin. Dela dan Ahmad segera meninggalkan rumahnya, lalu menuju ke rumah terbengkalai yang tadi Ahmad tunjukkan pada Dela.

"Kita benar-benar akan pergi ke rumah itu, Dek?" tanya Ahmad, yang kini sedang berjalan di sisi Dela.

"Iya, Mas. Kita harus ke sana, jika ingin memancing munculnya Eka. Nanti aku beri tahu kepada Mas lebih detail, setelah aku selesai memberi pancingan," jawab Dela.

"Pancingan? Dan menurut kamu Eka akan langsung datang setelah kamu memancingnya, seperti bagaimana dia muncul di depan rumah Bian, kemarin?"

"Iya, Mas. Persis seperti itu."

"Dan apakah tidak akan ada hal buruk yang terjadi pada kamu, jika berani memancingnya melalui kedatanganmu ke rumah itu, Dek?"

Ahmad merasa cemas dan Dela langsung memahami hal tersebut. Ia berhenti sebentar, agar Ahmad juga bisa berhenti melangkah dan berdiri di hadapannya. Dela meraih tangan Ahmad dan menggenggamnya seperti bagaimana yang sering pria itu lakukan kepadanya. Perasaan Ahmad kembali terasa hangat ketika Dela menggenggam tangannya.

"Mas, tolong percayakan semuanya padaku. Aku paham bahwa Mas Ahmad mungkin belum benar-benar mengerti mengenai kemampuan yang aku miliki, karena Mas Ahmad baru mengetahuinya kemarin. Aku sengaja menyembunyikan kemampuanku bukan tanpa alasan, Mas. Aku menyembunyikan kemampuanku dan tidak sering menggunakannya karena masih merasa takut kalau akhirnya kemampuanku itu akan semakin meningkat. Tapi nyatanya, kupakai ataupun tidak kupakai, kemampuanku tetap saja meningkat dan tidak bisa aku bendung. Mas tidak perlu khawatir akan terjadi sesuatu padaku, ketika aku menghadapi sesuatu yang berhubungan dengan hal gaib. Mas hanya perlu percaya, bahwa diriku akan selalu terlindungi dalam keadaan apa pun. Lagipula dalam upaya kita saat ini, ada hidup Bian dan Mira yang menjadi taruhan. Mereka harus kita bantu sampai tuntas, Mas. Mereka tidak boleh terus-menerus terjebak dalam permainan gilanya Eka. Sekarang, apakah Mas Ahmad akan mendukungku untuk memancing kemunculan Eka di komplek ini?" tanya Dela, penuh harap.

Ahmad pun akhirnya memahami, bahwa apa yang Dela lakukan benar-benar penuh dengan ketulusan. Dela tidak ingin membantu Bian dan Mira hanya setengah-setengah. Wanita itu akan melakukannya hingga tuntas, sampai hidup Bian dan Mira tidak lagi mengalami hal-hal yang buruk.

"Ya, Insya Allah aku akan mendukung kamu, Dek. Kamu benar, hidup Bian dan Mira adalah taruhannya dalam perkara yang Eka buat. Dia tidak boleh dibiarkan terus-menerus berulah sesuka hatinya," jawab Ahmad, setuju.

Dela pun kembali tersenyum.

"Kalau begitu, ayo, sebaiknya kita ke rumah itu sekarang juga," ajaknya.

Mereka berdua tiba di rumah terbengkalai itu tidak lama kemudian. Dela meminta Ahmad menunggu di depan pagar, sementara dirinya berjalan memasuki halaman yang dipenuhi rumput yang begitu tinggi. Dela tampak diam beberapa saat sebelum akhirnya mulai menggunakan ajian mastani untuk memancing kedatangan Eka ke rumah lama milik orangtua perempuan itu. Ahmad kembali bisa merasakan energi yang Dela keluarkan saat sedang menggunakan salah satu ajiannya. Setelah selesai, Dela segera kembali ke pagar rumah tersebut dan mengajak Ahmad kembali ke mobil.

"Jadi kita akan menunggu di sini, Dek?"

"Iya, Mas. Kita akan menunggu di sini sampai dia benar-benar datang. Dia tidak akan tahu kalau kita mengawasinya dari dalam sini. Dia tidak pernah melihat mobilku, jadi dia akan berpikir kalau mobil ini adalah mobil milik salah satu warga di komplek sini," jawab Dela.

Ahmad pun kemudian membuka ponselnya dan melihat ada beberapa pesan yang masuk. Salah satunya berasal dari Melina yang tampak terus mengirim pertanyaan yang sama.

MELINA
Assalamu'alaikum, Ahmad. Dela ada bersamamu, tidak?

MELINA
Ahmad, Dela datang menemuimu atau tidak?

MELINA
Ahmad, balas pesanku. Dela ada bersamamu atau tidak?

MELINA
Ahmad, jangan berlagak seperti artis, ya! Cepat balas pesanku atau akan aku datangi rumah dan tempat kerjamu, biar hidupmu merasa terganggu!

Gelak tawa pun langsung tercipta dari mulut Ahmad dalam sekejap. Dela hanya menatapnya dan tidak bertanya apa-apa ketika pria itu mendadak tertawa tanpa alasan jelas. Namun Ahmad tidak ingin merahasiakan apa pun dari Dela, sehingga segera menyerahkan ponselnya ke tangan wanita itu.

"Balaslah, Dek. Sebelum Melina benar-benar menghantui rumah dan tempat kerjaku," ujar Ahmad.

Dela membaca semua pesan yang Melina kirimkan, lalu segera membuat voice note untuk wanita itu.

"Wa'alaikumsalam, Mel. Kamu itu kok cerewetnya minta ampun, tho? Sudah jelaslah aku sedang bersama Mas Ahmad seperti yang kamu pesankan tadi. Kami tadi sibuk bicara dengan Ketua RT di lingkungan tempat tinggal milik kedua orangtua Eka yang terbengkalai. Nanti akan kami kabari lagi jika ada perkembangan, karena barusan aku baru saja memancingnya agar muncul di sini menggunakan ajian mastani. Kalau kamu butuh mengganggu hidup seseorang, tolong ganggu saja hidupnya Zahri. Dia pasti butuh sekali diganggu olehmu setiap detik di dalam hidupnya."

"Astaghfirullah, Dek. Kenapa kamu malah menambahkan saran untuk mengganggu Zahri? Nanti Zahri akan protes padaku, terutama kalau dia tahu bahwa kamu memberi saran seperti itu pada Melina melalui ponselku," keluh Ahmad.

"Biar saja, Mas. Sekali-sekali mari kita bantu hidup Zahri agar tidak lagi terasa nyaman, dengan cara membuat Melina mengganggunya," tanggap Dela, sambil mengusap pelan pundak Ahmad dengan penuh kasih sayang.

Eka merasa seseorang baru saja memanggil dirinya, padahal saat itu tidak ada siapa pun di sekitarnya. Dalam benaknya terlintas bayangan rumah milik kedua orangtuanya yang sudah lama ia tinggalkan. Panggilan itu terasa semakin nyata dan terus terngiang-ngiang di telinganya.

"Eka, datanglah ke sini. Datanglah. Cepatlah datang."

Perempuan itu segera menutup kedua telinganya, dan berharap bahwa suara itu akan segera lenyap. Namun sayang, semakin rapat ia menutup telinganya, semakin jelas panggilan itu terdengar.

"Aarrrrrgggghhhh!!! Siapa itu??? Siapa kamu???" amuk Eka.

"Eka, datanglah ke sini. Datanglah. Cepatlah datang."

"Sialan!!! Kenapa kamu menggangguku??? Kenapa aku harus datang ke sana??? Kenapa???"

Saat sudah tidak bisa lagi dia menangani panggilan itu, akhirnya dengan cepat ia menyambar kunci mobil dari lemari dan pergi menuju ke rumah lama milik kedua orangtuanya. Perempuan itu mengemudi dengan ugal-ugalan, seakan tidak peduli kalau dirinya mungkin saja akan celaka.

"Tunggu saja! Saat tiba di sana, akan aku robek mulut siapa pun yang telah berani mengusik ketenanganku saat ini!" niatnya, membatin.

* * *

DENDAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang