10 | Rasa Cemas

1.7K 122 7
                                    

- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE PERHARI
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

Dela menyimpan kedua benda yang sejak tadi ia amankan ke dalam brankas miliknya. Sejenak ia menatap kedua benda itu sebelum menutup pintu brankas. Apa yang terjadi pada Bian akibat perbuatan Eka sudah jelas sangat menarik perhatiannya. Melina mungkin tidak mau terlalu mempercayai Bian pada awalnya. Namun Dela telah tertarik lebih dulu dan ingin tahu secara detail. Maka dari itulah ia meyakinkan Melina agar mempercayai apa yang diceritakan oleh Bian.

Dirinya memang tidak pernah bermasalah dengan Eka ketika masih menjadi siswi di SMPN 1 Purwodadi. Tidak sama halnya dengan Melina yang pernah berurusan dengan perempuan itu secara langsung, hingga terjadi keributan yang cukup sengit di antara mereka. Dela mendapatkan masalah hingga akhirnya harus putus hubungan dengan Ahmad karena ulah perempuan itu. Namun hal itu terjadi ketika Dela sudah tidak menjadi siswi di sana. Ahmad terpengaruh dan menjadi ragu dengan kesetiaan Dela ketika mereka menjalani hubungan jarak jauh. Namun bagi Dela, itu adalah hal yang cukup wajar. Karena hubungan jarak jauh memang sangat sulit untuk dijalani oleh siapa pun.

"Sekarang aku hanya perlu tahu tentang motivasi Eka, yang begitu ingin menghancurkan hidup Bian dengan cara mengerikan seperti ini. Kenapa perempuan itu selalu saja ingin cari masalah dengan orang lain? Padahal orang lain tidak pernah memiliki niat cari masalah dengannya," gumam Dela, yang kemudian menutup pintu brankas.

Dela keluar dari ruang kerjanya dan beranjak menuju dapur. Ia membuka kulkas untuk mengeluarkan bahan-bahan makanan yang akan dimasak sore itu. Sekilas, ia melirik ponselnya yang tadi ia letakkan di atas meja dapur. Ia sudah mengabari Ahmad sejak tadi bahwa dirinya sudah tiba di rumah dengan selamat. Sayangnya, sama sekali belum ada balasan dari pria itu sampai sekarang. Dela hanya bisa tersenyum ketika memikirkan beberapa kemungkinan yang sedang memenuhi pikirannya.

"Jangan terlalu berharap, Del. Masa lalu dan masa kini jelas sudah jauh berbeda keadaannya," gumamnya, sekali lagi.

Melina datang ke rumah itu tak lama kemudian dan langsung menuju dapur saat mendengar suara orang yang sedang memasak. Dela tersenyum ke arah sahabatnya tersebut, lalu mendapat sodoran ponsel dari Melina secara tiba-tiba.

"Ahmad mengirim pesan melalui ponselnya Zahri. Dia minta tolong aku untuk memberi tahu kamu bahwa ponselnya lowbatt ketika akan membalas pesanmu. Dia akan membalasnya saat sudah tiba di rumah," ujar Melina.

"Oh, begitu rupanya. Balaslah. Katakan pada Zahri untuk memberi tahu Mas Ahmad kalau aku pasti akan menunggu balasan pesannya," pinta Dela.

"Balaslah sendiri, Del. Ahmad masih pegang ponselnya Zahri, kok, saat ini."

Dela pun segera membalas pesan itu dengan cepat, lalu kembali memberikan ponsel milik Melina ke tangan pemiliknya. Melina masih memperhatikan Dela sambil mencicipi cumi goreng rica-rica yang dimasak oleh sahabatnya tersebut.

"Ahmad tampaknya kalut sekali saat tidak bisa cepat membalas pesanmu. Sepertinya dia takut kamu menunggu terlalu lama atau takut kamu merasa kecewa dan dianggap tidak penting olehnya," duga Melina.

"Mungkin, iya. Mungkin juga, tidak," tanggap Dela, sangat tenang. "Mas Ahmad mungkin hanya merasa tidak enak jika sampai membuatku menunggu terlalu lama. Tidak lebih daripada itu."

"Kenapa kamu berpikir begitu?" heran Melina.

"Entahlah, Mel. Mungkin ... sebaiknya aku tidak terlalu banyak berharap. Aku mungkin masih sendiri saat ini, tapi belum tentu sama dengan Mas Ahmad. Dia pasti sudah memilih seseorang yang jauh lebih baik daripada aku. Aku sempat lihat wallpaper pada ponselnya ketika kita akan keluar dari rumah Bian, tadi. Itu adalah foto seorang wanita, Mel. Dan aku yakin kalau wanita itu adalah orang yang sudah dipilih oleh Mas Ahmad," jelas Dela.

Melina pun diam seketika, namun tampak seperti sedang memikirkan sesuatu.

"Masa, sih? Tapi kenapa wajahnya Ahmad langsung berubah cemas ketika laki-laki bernama Iqbal tadi mencoba bicara dengan kamu? Aku memperhatikan Ahmad terus-menerus, karena ingin tahu apakah dia akan merespon soal interaksimu dengan Iqbal. Dan ternyata dia memang merespon dengan ekspresi cemas, Del. Tapi ... ada foto wanita pada wallpaper ponselnya? Aku jadi meragukan perasaannya terhadapmu, sekarang," ungkap Melina.

"Enggak perlu ragu, Mel. Kalau memang bukan jodoh, ya, mau diapa? Kita hanya bisa berencana, tapi Allah yang menentukan takdir. Terima saja kalau memang aku dan Mas Ahmad tidak akan bisa kembali bersama. Aku akan mendoakan yang terbaik untuknya."

Ahmad mengembalikan ponsel milik Zahri setelah membaca pesan balasan dari Melina. Rozi turun dari mobil milik Zahri, lalu berdiri sebentar tepat di jendela samping.

"Jangan lupa, besok kita dapat jadwal kerja pagi," ujar Rozi kepada Zahri.

"Siap. Aku akan siapkan keperluan di mobil damkar pagi-pagi sekali. Biar kamu enggak repot saat kita mulai kerja," tanggap Zahri.

"Jangan pikirkan Melina terus saat sampai di rumah. Langsung saja lamar dan nikahi, kalau memang kamu masih cinta sama dia," saran Rozi, lalu terkekeh pelan.

Ahmad ikut tertawa, namun tidak ikut berkomentar. Wajah Zahri memerah setelah Rozi membahas Melina di depannya secara terbuka.

"Sudah, Zi. Jangan terlalu sering disindir. Nanti mukanya Zahri jadi merah permanen," saran Ahmad.

Zahri pun melirik ke arah Ahmad.

"Persis kaya kamu enggak mikirin Dela terus-terusan! Enggak usah ikut menyindir!" omel Zahri.

Setelah Rozi menjauh, Zahri kembali mengemudikan mobilnya untuk mengantar Ahmad pulang. Ahmad tampak masih menggenggam ponselnya yang mati dengan gelisah, seakan ingin cepat tiba di rumah.

"Lain kali bawa power bank, bro. Biar ponselmu enggak perlu mati total begitu," saran Zahri.

"Aku enggak kepikiran bawa power bank, Zah. Sejak kemarin aku hanya memikirkan apakah Dela akan datang setelah Wina mengantarkan undangan reuni pada Melina. Aku gelisah sekali sehingga lupa membawa charger ponsel ataupun power bank. Aku takut dia tidak datang," ungkap Ahmad, jujur.

"Mana mungkin dia tidak datang kalau memang mendapat undangan. Kamu tahu persis kalau sejak dulu Dela paling tidak suka membuat orang lain kecewa. Kita semua berharap dia datang dan mengundangnya, jadi sudah jelas dia pasti akan datang. Kamu terlalu overthinking. Mungkin itu adalah efek dari masa lalu yang pernah terjadi antara kamu dan Dela. Sebaiknya segera bicarakan, agar kamu bisa berhenti overthinking. Katakan padanya, bahwa kamu ingin kembali menjalani semua dari awal."

"Ya, pasti akan aku katakan padanya sesegera mungkin. Sekarang mari fokus pada masalah Bian. Menurut kamu, apakah Eka akan kembali datang ke rumah Bian seperti tadi? Aku cemas dengan keselamatan Bian dan Istrinya. Eka itu gila. Jadi mungkin saja dia akan melakukan hal yang lebih buruk daripada sebelumnya," Ahmad mengutarakan keresahannya.

"Mari kita sama-sama tetap mengawasi keadaan di sekitar rumah Bian. Aku pun merasakan kecemasan yang sama. Tapi aku tidak berani bilang di depan Bian atau Mira, karena takut kalau mental Mira akan kembali terganggu," balas Zahri.

* * *

DENDAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang