- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE PERHARI
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.* * *
Bian ikut bergabung di ruang tengah setelah menyimpan tiga kantong belanjaan yang tadi ia terima dari Rozi, Zahri, dan Ahmad. Melina dan Gista terlihat sedang sibuk membuka rantang makanan yang mereka bawa, agar semua orang bisa makan bersama-sama.
"Aku lihat-lihat, yang lain membawa buah tangan saat datang ke sini. Kalau kamu bawa apa, Del?" tanya Bian, dengan sengaja.
"Aku bawa perut, Bi," jawab Dela, singkat, padat, dan sukses membuat Bian naik tensi.
Jawaban itu disambut gelak tawa oleh semua orang. Mira langsung memeluk Dela dari arah samping karena tidak mampu menahan tawanya. Rozi bahkan memberi tahu Gista soal jawaban yang Dela berikan setelah mendapat pertanyaan dari Bian. Gista pun ikut tertawa dan langsung mencubit lengan Dela sambil memberikan ceramah pada wanita itu.
"Zi, Gista bilang apa?" tanya Zahri.
"Itu buku panduan bahasa isyarat dari tadi kamu pegang, loh, Zah? Kenapa malah tanya aku lagi, sih?" stress Rozi.
"Aku masih mempelajarinya, Zi! Masih bingung, aku," jawab Zahri.
Melina pun berbalik ke arah para pria yang semuanya duduk di sofa.
"Gista bilang pada Dela, 'Kamu jangan sering-sering jahil. Takutnya nanti dijahili balik'," jelasnya.
"Nah ... dengar, tuh! Gista saja paham, kalau orang yang sering jahil bisa dijahili balik," sindir Bian kepada Dela.
Dela pun melepas pelukannya dari tubuh Mira, lalu membalas sindiran Bian dengan suara sekaligus bahasa isyarat--agar Gista juga ikut memahami pembicaraan yang sedang terjadi.
"Aku enggak ada niatan menjahilimu, Bi. Demi Allah. Masalahnya, aku memang tidak terlihat membawa apa-apa saat tiba di sini. Tapi kedua rantang yang sedang dibuka oleh Melina dan Gista itu berisi makanan yang aku masak sendiri di rumah, sore tadi. Jadi sebenarnya ... yang tidak membawa apa-apa itu bukan aku, tapi mereka berdua," jelas Dela.
Melina dan Gista langsung menutup wajah masing-masing dengan tutup rantang, ketika Dela akhirnya selesai bicara.
"Tuh ... dengar baik-baik, Mas. Makanya jangan sering su'udzon terhadap Dela. Pada akhirnya kamu memberi sindiran kepada orang yang salah," ujar Mira, sambil mengusap-usap punggung tangan Bian dengan lembut.
"Kamu enggak ada niatan membelaku, Sayang?" tanya Bian, sambil mengedip-ngedipkan kedua matanya dengan cepat.
"Enggak," jawab Mira, sangat cepat.
"Ha-ha-ha-ha-ha!" tawa Ahmad akhirnya meledak. "Nelangsanya kamu malam ini, Bi. Sabar, ya, bro. Orang sabar itu pasti akan ...."
"Ssttt!" titah Dela, mendadak.
Semua orang pun terdiam dalam sekejap. Melina dan Gista tahu persis bahwa Dela tengah merasakan sesuatu jika sudah memberi tanda secara mendadak seperti itu. Gista pun mulai bertanya pelan-pelan pada Dela.
"Sepertinya ada upaya baru yang dilakukan oleh dukun suruhan Eka untuk memberi serangan pada Bian, Gis," Dela memberi jawaban.
Melina menyimpan tutup rantang ke atas meja ruang tengah setelah mendengar jawaban itu.
"Aku akan keluar sebentar," ujar Dela.
"Aku ikut," sahut Melina.
Ahmad dan Zahri baru saja bangkit dari sofa, ketika Gista menghalangi langkah mereka dan mulai bicara kembali dengan bahasa isyarat. Keduanya melirik ke arah Rozi, berharap mendapat terjemahan secepat mungkin.
"Gista bilang, 'Sebaiknya kalian jangan keluar. Dela membutuhkan konsentrasi penuh, jika dia harus menggunakan ajian yang dia miliki untuk membentengi rumah ini agar Bian tidak terkena serangan lagi'," ujar Rozi.
Zahri mencoba menggunakan bahasa isyarat yang belum sepenuhnya ia kuasai.
"Tapi masalahnya ... apakah tidak apa-apa ... jika ... membiarkan mereka ... keluar berdua ... saja?" tanya Zahri.
Gista pun langsung memberikan jawaban dengan cepat.
"Katanya, 'Tidak apa-apa. Mereka berdua sudah biasa menghadapi makhluk halus. Kalian di sini saja, bantu Bian dengan doa agar dia tetap aman'."
Mira mengulurkan tangannya ke arah Zahri.
"Pinjam buku panduannya boleh, Mas?" pintanya.
Zahri mengangguk, lalu segera memberikan buku itu ke tangan Mira. Di luar, Dela dan Melina tampak sedang mengawasi sekeliling halaman rumah tersebut. Mereka tampak begitu waspada dan siaga jika memang akan datang serangan lainnya untuk Bian. Iqbal--yang saat itu masih mengawasi dari jauh--mulai tertarik dengan keberadaan Dela di luar rumah tersebut. Ia menatapnya begitu lama, sambil mencoba menebak-nebak hal yang akan dilakukan oleh wanita itu bersama Melina. Karena terlalu penasaran, Iqbal pun mulai mengendap-endap perlahan agar bisa mendekat ke arah rumah Bian untuk menguping pembicaraan.
"Itu dia, Mel! Serangannya datang!" seru Dela.
Melina menatap ke arah yang Dela tunjuk. Segerombolan makhluk halus tampak mendekat dari sela-sela pagar depan dan samping. Makhluk-makhluk halus itu sengaja menampakkan diri untuk menebar ketakutan bagi orang-orang yang ada di sekeliling Bian. Sehingga akhirnya Melina yang sebenarnya tidak memiliki kemampuan melihat makhluk halus pun menjadi bisa melihat keberadaan mereka. Dela segera menyekat jalan bagi semua makhluk halus yang mendekat dengan ajian wates tapak.
"Bismillahirrahmanirrahim!"
WHUSSHHHH!!!
Wanita itu mengeluarkan energi yang sangat besar, seiring dengan digunakannya ajian wates tapak tersebut. Iqbal kembali bisa merasakan energi tersebut seperti yang terjadi kemarin siang. Aliran energi itu kembali membuka seluruh pori-pori pada kulitnya ketika Dela sedang menggunakannya. Semua makhluk halus yang tadinya bisa saja berhasil menyerang Bian karena tidak mengambil jalan dari atas, akhirnya bisa cepat teratasi. Makhluk-makhluk halus itu terlempar dari area halaman rumah dan kembali kepada si pengirim serangan. Melina kembali mendekat pada Dela yang baru saja menutup aliran energinya.
"Mungkin sebaiknya kita tutup semua akses yang kemungkinan bisa menjadi jalan bagi dukun itu untuk menyerang Bian. Kita tidak bisa berada di sini setiap hari, Del. Maka dari itu sebaiknya kamu gunakan ajian dedap tabir seperti yang pernah kamu lakukan dulu," saran Melina.
"Ya, tampaknya kali ini kamu benar. Satu-satunya jalan untuk membuat Bian dan Mira tetap aman meski kita tidak sering datang ke sini adalah dengan menggunakan ajian dedap tabir. Kalau begitu, aku akan persiapkan ulang energi di dalam tubuhku. Setelah siap, baru akan aku gunakan ajian dedap tabir untuk menutup semua akses yang bisa dilalui dengan mudah," Dela setuju.
Iqbal keluar dari tempatnya bersembunyi dan masuk ke halaman rumah Bian. Laki-laki itu berjalan dengan tenang menuju ke arah tempat Dela dan Melina berada.
"Kenapa hal seperti itu hanya dibicarakan berdua? Kenapa tidak dirundingkan lebih dulu dengan pemilik rumahnya?" tanya Iqbal, seraya tersenyum agar terlihat lebih ramah.
Melina dan Dela sama-sama menatap ke arah laki-laki itu ketika mendengar suaranya.
"Mau apa kamu datang ke sini? Kenapa mau ikut campur dengan urusan kami?" sinis Dela.
Belum sempat Iqbal memberikan jawaban, pintu rumah Bian mendadak terbuka. Ahmad keluar bersama Zahri, Bian, dan Rozi.
"Dek? Kenapa kamu lama sekali berada di luar sini?" tanya Ahmad, sambil menatap datar ke arah Iqbal.
"Tentu saja karena Dela mau menemui aku dan bicara lebih banyak. Kenapa kamu harus bertanya-tanya seperti itu?" Iqbal langsung melemparkan api ke hadapan Ahmad.
"Heh! Jangan asal ngomong kamu, ya! Jangan fitnah sahabatku!" amuk Melina, dengan suara yang sangat keras.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
DENDAM
Horror[COMPLETED] Dela sedikit merasa aneh dengan undangan reuni yang ia terima dari SMP tempatnya belajar di Purwodadi. Pasalnya, ia hanya belajar di SMP tersebut tak sampai dua tahun, karena dulu dirinya terpaksa harus pindah sekolah ketika orangtuanya...