42 | Iri

1.3K 110 27
                                    

- UPDATE SETIAP HARI
- TIGA EPISODE (KHUSUS HARI INI)
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

Eka memilih tidak menjawab pertanyaan yang Melina ajukan. Ia bisa melihat ekspresi jijik di wajah Melina, sehingga membuatnya segera memalingkan wajah. Semua orang jelas terkejut dengan fakta itu, karena Eka sama sekali tidak menyangkalnya. Namun di antara mereka tidak ada yang berani berkomentar sama sekali.

"Sekarang jawab pertanyaanku. Di mana dukun suruhanmu itu melakukan ritual?" tanya Dela.

"Untuk apa aku menjawab pertanyaan itu? Menurutmu aku akan buka mulut?" sinis Eka.

"Aku tahu kalau kamu tidak akan buka mulut. Maka dari itulah aku memberimu minum air yang tadi kuambil," ujar Dela. "Kamu tidak akan lagi bisa berhubungan dengan Iblis mana pun. Kamu tidak akan bisa meminta bantuannya lagi. Dan semua susuk yang terpasang di tubuhmu perlahan akan membakar dirimu dari dalam. Jangan tanya dari mana aku tahu kalau kamu memakai susuk, karena mataku ini bisa melihat banyak hal yang tidak bisa dilihat oleh orang pada umumnya. Oh ya, aku juga bisa mengantarmu ke rumah lama milik orangtuamu. Kamu bisa bertemu lagi dengan Iblis yang sudah menunggumu di sana, karena kamu adalah tumbal terakhir yang dia inginkan. Jadi ...."

"Oke!" potong Eka, dengan cepat. "Aku akan tunjukkan padamu di mana rumah Mbah Naryo. Tapi jangan bawa aku ke rumah orangtuaku. Aku tidak mau mati konyol."

"Oh ... ternyata kamu takut mati? Terus, kok dirimu kejam sekali terhadap Bian dan hampir berhasil membuatnya sekarat? Apakah kamu tidak pernah mencoba berpikir tentang bagaimana jika posisi Bian diisi olehmu? Bagaimana kalau kamu yang merasakan penderitaan seperti yang Bian rasakan? Tidak pernah berpikir begitu?" geram Dela.

Eka segera diangkat oleh Ahmad dan Zahri, setelah Dela mencecarnya dengan beberapa pertanyaan. Perempuan itu kembali dibawa ke mobil milik Dela, agar bisa kembali ditempatkan di tempat semula.

"Itu serius, tho, perkara Eka sampai tidur sama Iblis yang dia puja? Hah? Serius sampai sejauh itu dia bertindak?" tanya Rozi.

Ekspresi Rozi terlihat bukan hanya sekedar jijik, tapi juga ngeri dalam waktu bersamaan. Melina hanya bisa mengangguk untuk menjawab pertanyaan pria itu. Mira dan Bian sebisa mungkin mencoba untuk tidak membahas lebih lanjut, karena mereka tidak berani membayangkan betapa gilanya Eka sampai berani memasuki kubangan yang jauh lebih hina.

"Memangnya kenapa, sehingga kamu menanyakan hal itu, Zi?" tanya Zahri, yang baru selesai membantu Ahmad dan Dela mengikat Eka kembali di dalam mobil.

"Aku bertanya bukan karena ada maksud apa-apa, Zah. Hanya saja ... aku enggak bisa membayangkan bagaimana mengerikannya seorang manusia tidur bersama Iblis sambil diiringi adegan cup-cup wow-wow!" jawab Rozi, polos.

Bian, Zahri, dan Ahmad langsung menutup mulut Rozi dengan kompak, agar tidak perlu ada pembicaraan selanjutnya setelah Mira, Melina, dan Dela mendengar ucapan pria itu. Mereka panik dan tidak bisa menyembunyikan kepanikan tersebut. Ketiga wanita yang sudah terlanjur mendengar luapan pikiran Rozi hanya bisa berlagak seakan tidak mendengar apa pun.

"Gerah, ya," ujar Melina.

"Iya, nih. Panas mataharinya sedang menyengat sekali hari ini," tanggap Mira.

"Kita langsung jalan saja, bagaimana? Biar enggak perlu kepanasan terlalu lama," saran Dela.

"Iya, ayo. Sebaiknya memang begitu," sahut Melina, setuju.

Rozi hanya bisa pasrah saat Zahri membungkam mulutnya dengan sapu tangan. Ahmad juga tidak lupa menambahkan ikatan sapu tangan lain pada kedua tangan Rozi, agar pria itu tidak mencoba melepaskan ikatan sapu tangan di mulutnya.

"Ini adalah tindakan pencegahan, agar mulutmu tidak lagi membahas soal yang aneh-aneh di depan Melina, Dela, dan Mira," jelas Zahri.

"Kamu itu kadang suka nyeplos saja seenaknya, Zi. Bikin panik orang lain, tahu!" omel Ahmad.

"Mm-mmm-mmm! Mm-mmm-mmm mm-mm!" mohon Rozi.

"Enggak! Pokoknya sumbatan mulut dan juga ikatan di tanganmu hanya akan kembali dibuka satu jam ke depan! Tidak ada tawar-menawar!" tegas Zahri.

"Mm-mm mm-mm mm-mm-mm mm-mm mmm-mm!"

"Meskipun kamu mau mengadu sama Gista, kami tetap tidak akan membuka semua itu," balas Ahmad.

Bian dan Mira kemudian membawa Rozi bersama mereka. Pria itu akhirnya hanya bisa pasrah dan tidak lagi mengajukan protes. Ketiga mobil itu akhirnya pergi meninggalkan lokasi rumah Eka, karena kini mereka akan menuju ke rumah dukun yang selama ini membantu Eka. Eka benar-benar tidak punya jalan lain, selain memberi tahu mereka soal keberadaan Mbah Naryo. Setelah tahu bahwa dirinya selama ini juga ditipu oleh Eyang Rogo Geni, hatinya mendadak merasa marah dan tidak ingin lagi menjadi pemujanya.

"Siapa namanya? Mbah Naryo?" Dela ingin memastikan ulang.

"Ya, nama dukun yang membantuku adalah Mbah Naryo," jawab Eka.

Keadaan kembali hening. Dela menatap Eka begitu lama, sementara Ahmad sesekali melirik ke arah Dela sambil fokus menyetir.

"Ada yang sedang kamu pikirkan, Dek?" tanya Ahmad, pelan.

"Iya, Mas. Ada hal yang sedang aku pikirkan," jawab Dela.

"Berkaitan dengan Eka?"

Dela pun mengangguk. Wanita itu kemudian kembali menatap ke arah Eka. Eka yang menyadari bahwa dirinya sedang ditatap oleh Dela segera balas menatapnya dengan tajam.

"Kamu tidak mau mati konyol di rumah milik Almarhum orangtuamu. Tapi kamu sadar bukan, bahwa mengkhianati Iblis pujaanmu itu juga akan membuatmu harus mempertaruhkan nyawa?" ungkit Dela.

"Apa yang kamu tahu soal Eyang Rogo Geni? Aku yang lebih tahu soal ...."

"Kamu bahkan tidak tahu kalau dirimu ditipu oleh Iblis itu," potong Dela.

Eka pun kembali terdiam.

"Kamu tinggal di rumah kumuh selama ini, tapi dia membuat penglihatanmu salah total. Dia membuatmu merasa sudah memiliki segalanya, termasuk salah satunya adalah rumah impianmu. Tapi nyatanya, itu semua hanya tipu dayanya saja. Keinginan kamu tidak benar-benar dia berikan, padahal kamu sudah memberikan segalanya. Jadi ... bukan tidak mungkin kalau dia kemudian akan membunuhmu, saat tahu kalau kamu mengkhianati dia."

"Lalu menurutmu aku harus bagaimana??? Kalau aku tidak mengkhianati dia, maka aku akan kamu bawa ke rumah orangtuaku untuk menjadi tumbal bagi Iblis yang menungguku selama ini!!! Aku harus bagaimana???" teriak Eka.

"Kamu memang tidak punya pilihan, Eka. Kamu yang mengambil jalan ini, jadi kamu jelas tahu apa risikonya," balas Dela.

"Aku enggak mau mati, Dela!!! Kalau aku sampai mati, maka itu adalah salahmu!!!"

"Apa? Apa katamu?" Ahmad mendadak marah. "Jangan asal bicara kamu, ya! Enak saja ingin menyalahkan Dela padahal kamu yang nyata-nyata berbuat dosa dan bersekutu dengan Iblis! Jaga mulutmu, sebelum aku merobeknya!"

Dela segera menenangkan Ahmad dengan cara mengusap-usap lembut pundak pria itu. Ahmad kembali diam dan fokus menyetir. Begitu pula dengan Eka yang juga terdiam akibat merasa kaget, karena baru pertama kali mendengar Ahmad mengeluarkan amarah. Dalam sekejap, ia merasa iri dengan apa yang Dela dapatkan dari Ahmad. Meski hubungan mereka pernah putus, namun mereka tampaknya tidak pernah berhenti saling mencintai sampai detik ini.

"Kenapa harus perempuan seperti kamu yang mendapatkan perhatian bagitu besar dari seorang pria? Kenapa aku tidak pernah bisa mendapatkan apa yang kamu dapatkan? Kenapa? Apa yang kurang dariku dan hanya ada padamu?" batin Eka.

* * *

DENDAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang