23 | Niat Baik

1.6K 117 16
                                    

- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE PERHARI
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

"Boleh aku jujur, Dek?"

Ahmad kembali membuka pembicaraan setelah mereka tidak lagi berada di sekitar lingkungan tempat tinggal Eka.

"Iya, Mas. Tentu saja boleh. Silakan," Dela memberikan izin.

"Aku masih memikirkan penjelasan kamu soal alasan Eka yang selalu mempermainkan pikiran dan memanipulasi orang lain," ujar Ahmad.

Dela berusaha mendengarkan apa pun yang akan Ahmad bahas saat itu mengenai Eka. Ia ingin pria itu benar-benar menuntaskan semua yang mengganjal di hatinya, sebelum mereka benar-benar melangkah menuju ke jenjang selanjutnya.

"Aku saat ini baru benar-benar memahami apa tujuan Eka, ketika mempengaruhi diriku soal kamu. Aku baru paham, bahwa dia melakukan itu bukan hanya karena menginginkan aku berpikir kalau kamu mungkin saja tidak setia saat kita menjalani hubungan jarak jauh, tapi juga bertujuan untuk menyakiti kamu secara tidak langsung. Saat itu aku hanya memikirkan soal perasaanku sendiri, Dek. Aku tidak kepikiran bahwa perasaan kamu juga akan tersakiti. Aku ternyata sangat egois waktu itu. Sehingga dengan mudahnya bisa terpengaruh oleh kata-kata buruk yang Eka sampaikan."

Dela mengusap pelan pundak Ahmad, demi memberikan rasa tenang untuk pria itu. Ahmad mencoba untuk tidak terlalu tenggelam dalam sesalnya, karena tahu bahwa Dela tidak ingin dirinya terus menyesali masa lalu.

"Intinya saat ini Mas Ahmad sudah paham dan tidak akan mengulang kesalahan yang sama untuk kedua kalinya. Aku percaya bahwa Mas Ahmad bukan lagi sosok yang mudah dipengaruhi seperti dulu. Lagi pula, dulu Mas Ahmad 'kan memang masih remaja. Perasaan dan pikiran Mas Ahmad masih labil. Tidak seperti saat ini, yang mana Mas Ahmad telah bisa membedakan hal benar dan hal salah. Ayo, kita sama-sama lupakan masalah yang terjadi dimasa lalu. Insya Allah, kali ini kita akan bisa melewati semuanya dengan tenang."

Melina terus saja mondar-mandir di dalam coffee shop sambil menatap keluar jendela. Wanita itu sungguh tidak sabar ingin segera melihat Dela tiba di hadapannya, karena tidak biasanya Dela pergi tanpa didampingi oleh dirinya. Gista terus menatap ke arah Melina setelah mengantar pesanan untuk Zahri dan Rozi. Dia hanya bisa geleng-geleng kepala ketika melihat tingkah Melina yang kembali kumat. Gista pun langsung menepuk pundak Melina, lalu mulai bicara dengan bahasa isyarat di depannya. Zahri pun segera menyenggol lengan Rozi yang sedang sibuk membaca buku panduan bahasa isyarat milik Melina.

"Coba tolong terjemahkan, Zi. Gista bilang apa pada Melina," pinta Zahri.

"Dia bilang, 'Sabarlah. Dela bukan Doraemon yang punya kantong ajaib dan pintu ke mana saja. Nanti juga dia akan tiba. Jadi kamu tidak usah mondar-mandir seperti setrika'. Kira-kira begitulah yang dia katakan pada Melina," ujar Rozi.

Melina mulai menggunakan bahasa isyarat.

"Tapi masalahnya aku benar-benar gelisah saat ini, Gis. Kamu tahu sendiri kalau Dela bisa saja melakukan sesuatu yang tidak terduga jika merasa ada ancaman di sekitarnya," jelas Melina.

Gista pun kembali membalas, sehingga membuat Zahri kembali menoleh ke arah Rozi.

"Itu ... sebentar, aku lihat dulu beberapa bagian lain," ujar Rozi, sambil membolak-balik halaman buku panduan bahasa isyarat.

Zahri benar-benar menunggu mendapat terjemahan.

"Ah ... itu rupanya arti gerakan tangan di depan wajah. Gista bilang pada Melina, 'Tapi Dela saat ini sedang bersama Ahmad, 'kan? Jadi mana mungkin dia akan memilih mengambil risiko yang berat jika Ahmad sedang ada bersamanya. Duduk saja dan menunggu dengan tenang'. Wah ... semoga aku tidak salah menafsirkan," harap Rozi.

Melina benar-benar duduk di samping Zahri tak lama kemudian. Gista sendiri telah kembali ke tempatnya dan mulai memenuhi pesanan yang belum dikerjakan oleh karyawannya.

"Gimana, Zi? Sudah paham dengan semua gerakan yang tercatat dalam buku panduan itu?" tanya Melina.

"Hampir aku pahami, Mel. Baru sekitar enam puluh persen," jawab Rozi. "Aku akan mencobanya langsung pada Gista. Bye!"

Rozi dengan cepat melesat menuju ke tempat Gista berada, sementara Melina dan Zahri hanya bisa menatapnya sambil menggeleng-gelengkan kepala.

"Itu adalah modus baru dalam dunia PDKT. Luar biasa, Rozi sungguh memiliki effort yang tidak bisa diremehkan," pikir Zahri.

"Ya, aku setuju. Tapi ngomong-ngomong, Rozi memangnya masih sendiri juga, ya, seperti kamu dan Ahmad?" tanya Melina.

"Iya. Rozi pernah hampir menikah dengan orang yang berpacaran dengannya sejak SMA. Tapi hal itu batal terjadi. Karena ternyata tanpa Rozi tahu, perempuan itu mendua di belakangnya selama bertahun-tahun. Dia kedapatan sedang bersama selingkuhannya, dua minggu sebelum acara pernikahan mereka terlaksana," jawab Zahri.

"Wah ... itu masalah yang sulit untuk dikomentari. Sebaiknya tidak usah kita bahas, karena aku takut Rozi akan dengar dan dia kembali teringat dengan luka lamanya," bisik Melina.

Zahri pun tersenyum saat mendengar betapa pengertiannya Melina terhadap perasaan orang lain. Ia kemudian mengusap lembut rambut wanita itu, hingga di belakang mereka terdengarlah suara-suara sumbang yang tak diharapkan.

"Usap terus rambutnya, Zah, sampai rontok!" sindir Dela, tepat di telinga Zahri.

Ahmad pun langsung tertawa ketika melihat betapa kagetnya Zahri saat itu. Melina langsung berusaha ingin melempar kotak tisu ke arah Dela, namun Dela segera berlari ke tempat Gista dan Rozi berada.

"Gis! Aku dikejar Mak Lampir!" adu Dela, sambil menggunakan bahasa isyarat.

Gista pun langsung terlihat tertawa lepas. Rozi ikut tertawa karena tidak tahan dengan kelakuan Melina dan Dela. Melina mendengar aduan itu dan hampir menyusul langkah Dela, andai dirinya tidak melihat Gista berkacak pinggang dan mengancamnya menggunakan bahasa isyarat.

"Zi! Terjemahkan!" titah Zahri.

"Gista bilang, 'Jangan coba-coba mendekat dan membalas Dela! Nanti cowokmu akan aku jemur di luar coffee shop!'," ujar Rozi, yang kemudian menatap ke arah Zahri. "Sabar ya, Zah. Keberuntungan sedang tidak berpihak kepadamu."

Dela langsung menepuk pundak Rozi dan membuat pria itu menoleh ke arahnya.

"Wah, hebat kamu Zi! Cepat sekali kamu bisa menjadi penerjemah bahasa cinta," puji Dela.

Gista pun langsung mengatakan sesuatu pada Dela, sehingga Dela tertawa dan memeluk wanita itu dengan erat.

"Iya ... iya ... kamu benar. Aku jelas kalah pintar dalam mempelajari bahasa cinta kalau dibandingkan dengan Rozi," balas Dela.

Wajah Rozi memerah dengan sempurna. Pria itu berusaha keras untuk tetap terlihat tenang, meski perasaannya sudah menjadi tidak karuan sejak tadi ketika mulai bicara dengan Gista. Dela kembali ke meja dan bergabung dengan Melina, Zahri, dan Ahmad.

"Kenapa kamu menyebut bahasa isyarat dengan sebutan bahasa cinta?" tanya Zahri.

"Karena hanya orang-orang yang punya rasa cinta paling besar, yang bisa memahami bahasa isyarat dengan cepat. Makanya aku lebih suka menyebutnya bahasa cinta, terutama saat sedang bicara dengan Gista," jawab Dela, apa adanya.

"Bahasa isyaratnya aku cinta kamu, gimana?" Zahri ingin tahu.

"Gini loh, Zah ...." Ahmad bersiap memberi contoh.

Zahri dan Melina menatapnya dengan serius. Pria itu mengeluarkan kotak cincin dan membukanya di depan Dela.

"Dek ... bersediakah kamu menikah denganku, secepatnya?" tanya Ahmad.

Melina dan Zahri dengan kompak menyerang Ahmad. Sementara Gista--yang baru saja tiba untuk mengantarkan pesanan milik Dela dan Ahmad--langsung tersenyum antusias, dan menatap ke arah Rozi yang berada di sampingnya.

"Aku tadinya mau ikut protes seperti yang dilakukan oleh Melina dan Zahri. Tapi karena kamu sepertinya sangat senang melihat Dela dilamar oleh Ahmad, aku mungkin akan mencoba memikirkan seperti apa cara yang bagus untuk melamar kamu," ujar Rozi, to the point.

* * *

DENDAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang