- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE PERHARI
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.* * *
Suara ledakan yang tadi dibicarakan oleh Dela benar-benar terdengar sangat keras, padahal Rozi dan Ahmad telah memakai earbuds pada telinga masing-masing. Meski tadi telah diperingatkan oleh Dela, Ahmad tetap saja merasakan khawatir yang begitu besar terhadap Dela.
"Dek, kamu tidak apa-apa, 'kan?" tanya Ahmad.
"Alhamdulillah aku baik-baik saja, Mas. Ketiga mustikanya sudah benar-benar hancur," jawab Dela.
"Kami sudah boleh mendekat, Dek?"
"Boleh, Mas."
Ahmad dengan cepat segera melesat mendekati Dela dan memeriksa kondisinya. Rozi ingin protes ketika melihat hal yang Ahmad lakukan. Namun ia sadar bahwa itulah yang akan terjadi jika seorang pria tengah khawatir pada wanita yang dicintainya.
"Aku baik-baik saja, Mas. Demi Allah," Dela berusaha meyakinkan Ahmad.
"Kalau Dela sampai bilang demi Allah, sudah jelas artinya dia benar-benar baik-baik saja, bro," ujar Rozi, agar Ahmad segera paham.
"Suara ledakannya keras sekali, Zi. Wajarlah kalau aku khawatir pada Dela."
"Aku paham. Tapi tadi Dela sudah mengatakan pada kita, bahwa suara ledakan yang kita dengar hanyalah suaranya saja. Ledakan aslinya terjadi di tempat dukun gila suruhan Eka menjalani ritual. Sekarang lebih baik kita urus hal yang lain," saran Rozi, seraya menatap ke arah Dela. "Coba bilang, Del ... apakah ketiga mustika yang sudah hancur ini harus kita singkirkan?" tanya Rozi.
Dela pun mengangguk dengan cepat.
"Benar, Zi. Semua serpihan mustika itu harus segera disingkirkan dari sini. Lalu setelah itu, barulah kita pergi ke rumah Bian," jawabnya.
"Oke. Kalau begitu sebaiknya kita lakukan sekarang juga. Jangan sampai dukun suruhannya Eka mulai memerintahkan utusannya untuk mengejar kamu dan kamu masih ada di sini dalam keadaan tidak siap," ujar Ahmad, yang masih saja belum merasa tenang.
Sesuatu yang berbeda begitu terasa pada seluruh tubuh Bian. Pria itu masih membaca ayat kursi seperti yang Melina sarankan tadi dan terus didampingi oleh Zahri.
"Ada apa, Bi? Apakah terjadi sesuatu pada diri kamu?" tanya Zahri, yang curiga dengan gerak-gerik Bian.
"Ya. Aku merasakan sesuatu pada diriku, Zah. Tapi aku tidak bisa menjabarkannya. Intinya, saat ini seperti ada yang keluar dari dalam tubuhku dengan sangat cepat," jawab Bian.
"Mungkin Dela sudah menghancurkan ketiga mustika yang ada di tangannya. Mungkin saat ini kamu sudah terlepas dari ritual gila yang dijalani oleh Eka demi membuatmu menderita," pikir Zahri.
"Apakah menurutmu begitu? Apakah itu artinya aku akan benar-benar bebas dari semua hal buruk yang menimpaku selama beberapa bulan terakhir, Zah?" Bian tampak cemas.
"Percayalah pada pertolongan dari Allah, Bi. Allah pasti akan menolongmu dan pertolongannya datang melalui Dela."
Melina masuk kembali ke ruangan itu setelah beberapa saat lalu menerima telepon dari Rozi.
"Kita pergi sekarang untuk menjemput Mira. Bian dan Mira harus berada di rumahnya ketika Dela dan yang lain tiba di sana," ujar Melina.
"Bagaimana soal ketiga mustika yang harus Dela hancurkan, Mel? Apakah ada kabar?" tanya Zahri.
"Alhamdulillah, ketiga mustika itu sudah berhasil dihancurkan oleh Dela. Sekarang Dela sedang menyingkirkan semua serpihan ketiga mustika itu, sebelum pergi bersama Ahmad dan Rozi ke rumah Bian," jawab Melina.
Bian segera meraih kunci mobil dan juga jaket kulit yang biasa ia pakai. Zahri terus berjalan di sisinya dan tidak meninggalkannya meski hanya sebentar. Ia merasa ada yang terasa sedikit mengganjal di dalam hatinya, sehingga membuatnya tidak ingin Bian sendirian saat itu. Melina baru saja selesai bicara dengan sekretarisnya dan beberapa orang anggota Polisi lain di kantor tersebut, ketika sebuah mobil mendadak menerobos bagian depan kantor itu hingga berhasil menjebol pintu beserta dinding hingga hancur total.
BRUAKHHHHH!!!
Melina segera mendorong dua orang anggotanya yang berada di bagian tengah ruangan, sehingga kini mereka sama-sama terjerembab di lantai demi menghindari terjangan mobil itu. Zahri segera menarik Bian kembali ke lantai atas dan menyembunyikannya pada salah satu lemari terdekat dari keberadaan mereka. Ia sadar betul bahwa mobil itu adalah mobil milik Eka. Jadi sudah jelas, kalau Eka kali ini akan menargetkan Bian secara langsung tanpa perantara dukun manapun.
Eka keluar dari mobilnya, lalu berjalan tertatih-tatih sambil menahan rasa sakit akibat beberapa bagian tubuhnya yang mengalami luka. Melina berusaha bangkit dari lantai, dibantu oleh Polisi lain di dekatnya. Beberapa orang Polisi dari arah lain kini mengarahkan senjata kepada Eka. Hal itu membuat Eka tidak bisa menaiki anak tangga menuju ke lantai atas.
"Angkat tangan!!!"
Eka pun segera mengangkat kedua tangannya, namun tetap memasang wajah mengejek.
"Kalian mau menembakku? Silakan tembak! Tapi sebelum itu kalian harus tahu, bahwa apa yang terjadi pada kantor kalian hari ini adalah akibat nasib buruk yang terus mengikuti wakil baru yang ditunjuk oleh pimpinan kalian! Andai saja dia tidak pindah tugas ke sini, maka hal buruk ini tidak perlu terjadi!" Eka kembali berusaha menghasut.
"Menurutmu di kantor yang aku pimpin ini akan ada yang percaya dengan omongan busukmu, hah???" tanya Melina, sangat keras.
Zahri segera mendekat pada pembatas lantai dua agar bisa melihat ke bawah. Eka menoleh dan menatap penuh rasa kaget ketika mendapati wajah Melina yang penuh amarah.
"Kamu dan kebiasaanmu berbohong! Kamu dan kebiasaanmu mengadu domba orang lain! Kamu dan kebiasaanmu memfitnah hingga nama baik seseorang rusak dimata orang-orang sekitarnya! Akulah korban pertama kamu saat kita masih SMP! Jadi jangan berharap akan ada yang percaya pada omongan busukmu tentang Bian! Bian adalah orang yang hidupnya penuh dengan keberuntungan, karena dia adalah orang baik! Dia mengalami hal yang buruk, karena kamu telah melakukan sesuatu yang gila terhadapnya! Kamu bersekutu dengan dukun dan Iblis untuk menyakiti Bian!" amuk Melina.
"Kamu tidak tahu apa-apa!!!" balas Eka, tak kalah keras.
Perempuan itu menurunkan tangannya karena tidak lagi peduli dengan ancaman senjata yang terarah pada dirinya.
"Bian yang lebih dulu menyakiti aku!!! Dia menolak perasaanku dan lebih memilih menikahi perempuan kurus bernama Mira itu!!! Dia membuat aku malu!!! Dia membuat aku seakan tidak punya harga diri!!! Aku dendam padanya dan aku ingin dia menderita!!!"
"Kalau Bian menolak kamu, itu tandanya dia adalah pria yang waras!" balas Melina. "Justru kalau dia menerima pernyataan perasaanmu dan menikahi kamu, aku akan langsung memberi cap laki-laki sinting pada Bian! Untuk apa orang sebaik Bian menikahi manusia busuk macam kamu, hah? Sekarang sebaiknya kamu tidak mencoba melarikan diri, karena aku tidak akan membiarkanmu lolos dari sini dengan alasan apa pun! Sedikit saja kamu mencoba melangkah dari tempatmu, maka salah satu peluru dari pistol milik anggotaku di kantor ini akan bersarang pada salah satu bagian tubuhmu!"
Eka merasa semakin sakit hati, setelah kenyataan masa lalu tentang Bian yang ia ungkapkan tidak mendapat respon seperti yang ia inginkan. Perempuan itu pun segera mencoba mengambil langkah untuk melarikan diri, meski Melina sudah memberinya peringatan.
DORR!!!
Satu tembakan terdengar di kantor tersebut dan Eka langsung ambruk dalam sekejap. Namun anggota Polisi di dalam sama sekali tidak ada yang menembak. Tatapan Melina maupun Zahri langsung terarah pada ambang pintu dan mendapati Dela yang telah berdiri di sana bersama Mira, Ahmad, dan Rozi. Dela sudah menembak lebih dulu, sebelum ada satu peluru pun yang bersarang di tubuh Eka.
"Maaf, Mel, kalau kali ini aku ikut campur. Dia harus kita bawa dalam keadaan utuh, jika ingin menghentikan dukun beserta Iblis yang dia sembah," jelas Dela, agar Melina tidak perlu mengamuk.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
DENDAM
Horror[COMPLETED] Dela sedikit merasa aneh dengan undangan reuni yang ia terima dari SMP tempatnya belajar di Purwodadi. Pasalnya, ia hanya belajar di SMP tersebut tak sampai dua tahun, karena dulu dirinya terpaksa harus pindah sekolah ketika orangtuanya...