- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE PERHARI
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.* * *
Dela memarkirkan mobilnya di tempat kosong pada halaman parkir SMPN 1 Purwodadi. Melina tampak masih sibuk menatap cermin demi mendapatkan kepastian bahwa wajahnya benar-benar cantik. Hal itu jelas membuat Dela hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala.
"Cantik, Mel. Sudah cantik, kok, wajahmu itu. Aku yakin Zahri juga pasti setuju dengan pendapatku, saat dia melihatmu sebentar lagi," ujar Dela.
Melina pun tersenyum malu-malu seperti ABG sambil memukul lengan Dela dengan manja.
"Masa, sih? Cantikan mana antara aku dan Taylor Swift, penyanyi favoritmu itu?" tanya Melina.
Dela langsung merasa menyesal karena telah memuji-muji Melina. Setelah pertanyaan barusan terlontar, sudah jelas Dela akan menghadapi bahaya yang tidak bisa dihindari. Jika ia menjawab lebih cantik Taylor Swift, maka Melina akan menghadiahi dirinya dengan pukulan maut. Dan apabila Dela menjawab bahwa Melina lebih cantik daripada Taylor Swift, maka semua poster Taylor Swift koleksi Dela akan segera disita oleh Melina sebagai jaminan atas jawabannya.
"'Cause darling she's a nightmare dress like a daydream*," Dela bernyanyi sesantai mungkin.
"Kok, 'she's'? Seharusnya lirik aslinya 'I'm', 'kan? Kamu barusan nyanyi untuk menyindir aku, ya? Hah? Iya, Del?" desak Melina.
"Enggak, kok. Enggak," jawab Dela.
"Terus kenapa liriknya berubah? Memangnya Taylor Swift enggak akan marah gitu, kalau lirik lagunya kamu ubah sembarangan?"
"Enggaklah. Lagian Mbak Tay-tay punya banyak kesibukan lain di rumahnya. Dia enggak ada waktu buat memarahi aku seperti yang sering kamu lakukan. Ayo cepat ... kita turun," ajak Dela, mencoba mengalihkan perhatian Melina.
Melina akhirnya ikut turun dari mobil dan berjalan bersama Dela menuju ke sebuah kelas yang pintunya terbuka. Kelas itu tampaknya memang digunakan hanya untuk para alumni kelas mereka dulu, sementara kelas-kelas lain yang kosong pintunya tertutup dengan rapat.
"Del, coba lihat itu," ujar Melina, seraya menunjuk ke arah poster besar berisi foto salah satu siswa di sekolah itu.
Dela ikut berhenti dan menatap ke arah yang Melina tunjukkan. Ia tersenyum sambil membaca tulisan pada poster tersebut. Para alumni lain yang sudah lebih dulu datang menatap mereka berdua dari balik jendela kelas secara terang-terangan.
"Andai ide poster itu sudah tercetus saat kita masih sekolah di sini, wajahmu pasti akan menjadi pajangan selama dua tahun penuh. Karena kamu adalah satu-satunya siswi yang cerdas diangkatan kita," pikir Melina.
"Entahlah, Mel. Aku belum tentu mau membiarkan wajahku dipajang pada poster sebesar itu. Tapi coba bayangkan, bagaimana kalau yang terpajang di poster itu adalah wajah Eka? Entah bagaimana perasaanmu jika harus melihat wajahnya terpampang di poster itu setiap hari. Kamu pasti akan misuh-misuh setiap saat ketika tidak sengaja melihatnya," ujar Dela.
Melina pun berbalik dan menatap sengit ke arah Dela yang masih tersenyum manis. Wanita itu tampak sudah siap mengeluarkan kata-kata mutiara yang disertai dengan amukan. Namun Dela dengan cepat menghindar dan kembali berjalan menuju ke kelas yang menjadi tujuan mereka.
"Jangan menghindar dariku, ya, Del! Aku akan membuat telingamu berdengung seharian dengan cara memberimu ceramah tanpa henti!" omel Melina. "Heran! Kamu itu sahabatku, tapi selalu saja sukses membuatku uring-uringan setiap saat!"
Kedatangan mereka berdua disambut oleh Wina, wanita yang kemarin mengantarkan undangan ke Polsek Purwodadi. Wina tampaknya sengaja menunggu mereka berdua di depan pintu kelas, agar keduanya bisa mengisi sebuah form yang sudah disediakan.
"Assalamu'alaikum, Win," sapa Melina dan Dela, kompak.
"Wa'alaikumsalam, Mel ... Del ... apa kabar?" tanya Wina, ramah.
"Alhamdulillah, kabarku dan Melina baik, Win. Kabarmu sendiri bagaimana?" Dela bertanya balik.
Melina kini sedang mengisi form yang baru saja Wina sodorkan, sehingga tidak bisa konsentrasi dengan pertanyaan dari Wina.
"Alhamdulillah kabarku juga baik, Del. Oh ya, kamu sejak kapan kembali ke Purwodadi? Apakah sudah lama?" Wina tampak ingin tahu.
Beberapa orang alumni di dalam kelas sedang mendengarkan pertanyaan yang Wina ajukan pada Dela. Dela melirik sekilas ke arah Melina untuk memastikan kalau wanita itu akan menuliskan namanya pada form, lalu kemudian kembali menatap Wina.
"Sudah lama, Win. Sejak tahun dua ribu lima belas aku kembali ke sini dan memutuskan menetap. Pada tahun itu, aku baru saja lulus SMA dan bersamaan dengan meninggalnya kedua orangtuaku. Beberapa bulan kemudian aku akhirnya memutuskan kembali ke sini, setelah berunding panjang dengan Melina soal rencanaku untuk kuliah," jelas Dela.
"Innalillahi wa inna ilaihi raji'un. Aku turut berduka cita atas meninggalnya kedua orangtuamu, Del. Maaf, kalau aku baru tahu sekarang mengenai hal itu," ungkap Wina.
"Enggak apa-apa, Win. Toh, aku memang jarang membicarakannya dengan orang lain selain Melina. Aku berusaha move on dengan cara tidak membicarakan peristiwa mendadak tersebut."
Wina tampak memahami keinginan Dela dan mencoba untuk tidak melanjutkan tanya soal kedua orangtuanya.
"Oh ya, kamu sudah menikah, Del?"
Terlontarnya pertanyaan itu membuat Dela terdiam selama beberapa saat, meski senyum di wajahnya sama sekali tidak memudar. Melina pun--yang tadinya sedang sibuk menulis--langsung mengarahkan tatapnya pada Wina.
"Belum, Win. Aku dan Melina belum menikah. Kami sama-sama belum menemukan pria yang tepat untuk dijadikan suami," jawab Dela.
"Tapi kamu saat ini pasti punya pacar, 'kan?" Wina tertawa pelan.
Dela dan Melina pun ikut tertawa saat mendengar pertanyaan yang selanjutnya, meski tawa mereka terdengar sumbang.
"Enggak punya, Win. Baik itu aku ataupun Dela ... kami sama-sama terlalu sibuk kerja selama ini," jawab Melina.
Tawa Wina pun langsung terhenti usai mendapat jawaban. Keadaan mendadak sunyi dan terasa canggung.
"Jangan bilang kalau pacar terakhir kalian adalah Ahmad dan Zahri," Wina menduga-duga.
"Iya. Kamu benar," Dela dan Melina menyahut kompak.
Di dalam kelas mendadak terjadi keriuhan dan suara-suara sorakan tercetus dengan sangat alami. Ahmad dan Zahri jelas langsung menjadi sorotan utama dari para anggota kelas tersebut, usai mendengar jawaban-jawaban yang keluar dari mulut Dela dan Melina. Ketiga wanita itu masuk ke dalam kelas, lalu diarahkan untuk duduk sesuai dengan tempat duduk saat mereka masih sekolah dulu. Melina dan Dela jelas langsung berpisah menuju ke meja masing-masing. Melina kembali duduk dengan Jihan, sementara Dela kembali duduk dengan Aira. Semuanya menjadi terasa seperti dulu. Seakan mereka benar-benar kembali menjadi murid SMP.
MELINA
Aku enggak lihat Eka.DELA
Mungkin dia tidak datang.MELINA
Atau tidak diundang.Dela melirik ke arah tempat duduk Melina dan ternyata Melina kini sedang menatap ke arah Dela. Memikirkan soal Eka yang saat itu tidak ada di antara mereka jelas menjadi pertanyaan besar lainnya bagi Dela, setelah kemarin memikirkan soal mengapa dirinya diundang untuk ikut reuni. Keadaan mendadak terasa ganjil yang mengundang gejolak tak biasa di dalam diri Dela. Namun Dela berusaha untuk tetap menikmati acara reuni yang sedang berjalan dan mengabaikan gejolak tak biasa tersebut.
* * *
*petikan lagu berjudul Blank Space dari Taylor Swift
KAMU SEDANG MEMBACA
DENDAM
Horror[COMPLETED] Dela sedikit merasa aneh dengan undangan reuni yang ia terima dari SMP tempatnya belajar di Purwodadi. Pasalnya, ia hanya belajar di SMP tersebut tak sampai dua tahun, karena dulu dirinya terpaksa harus pindah sekolah ketika orangtuanya...