29 | Mengatur Siasat

1.4K 111 19
                                    

- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE PERHARI
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

ZAHRI
Assalamu'alaikum, bro. Hari ini Dela menghubungi kamu atau tidak?

AHMAD
Wa'alaikumsalam, Zah. Dela sejak subuh selalu menghubungiku. Memangnya kenapa, Zah?

ZAHRI
Dela bilang apa atau tanya apa saja padamu sejak pagi?

AHMAD
Dia bertanya apakah aku sehat. Dia juga bertanya apakah aku sudah sarapan dan menawarkan apakah aku ingin dibawakan sarapan serta bekal, agar aku bisa sekalian makan siang di bengkel. Lalu dia bertanya apakah aku sudah menentukan kapan punya waktu luang untuk mengurus undangan pernikahan, mencari mas kawin, serta mengurus pakaian pengantin yang nanti akan kami pakai. Ah ... satu lagi, dia juga bertanya 'apakah dirinya boleh mencintai aku 999.999%?'.

"HUA-HA-HA-HA-HA-HA!!!"

Tawa Rozi langsung meledak, usai membaca pesan dari Ahmad yang baru saja masuk pada ponsel Zahri. Wajah Zahri menjadi semakin jelek akibat cemberut yang tidak ada ujungnya sejak pagi. Pria itu belum mendapat kabar sama sekali dari Melina. Namun dirinya juga tidak mau menghubungi lebih dulu, karena takut mengganggu pekerjaan Melina di kantor.

"Aduh Dela ... romantismu pada Ahmad memang tidak bisa terkalahkan sejak kita masih SMP. Pantas saja wajah Ahmad setiap hari selalu bercahaya dan penuh senyuman," ujar Rozi, dengan sengaja.

"Oh, ya? Kapan Dela menunjukkan sisi romantisnya pada Ahmad saat kita masih SMP? Kapan?" sebal Zahri.

"Ck! Jangan pura-pura amnesia, Zah. Jangankan kita berdua. Bahkan Asril, Fajar, Amir, dan Bian pun pasti masih ingat soal satu kotak mendoan buatan Dela yang berhias pita warna oranye di atas mejanya Ahmad. Satu kotak mendoan itu berhasil membuat Ahmad senyum-senyum sendiri seperti orang gila sehari penuh. Karena di balik penutupnya tersimpan surat cinta yang Dela tulis dengan kalimat yang amat sangat romantis."

"Iya, kamu benar. Dan gara-gara satu kotak mendoan itu pula, Melina kemudian tidak berhenti mengomeli Dela karena dianggap telah mencemari kewarasan pikiran Ahmad," tambah Zahri, yang pernah menjadi wasit bagi kedua wanita itu.

Rozi pun kembali terkekeh ketika Zahri menatapnya semakin sengit.

"Makanya, kalau kamu mau menjadi prioritas bagi Melina dan dikabari setiap waktu seperti yang Ahmad terima dari Dela, kamu pun harus membuat Melina menjadi prioritasmu. Lamarlah cepat, lalu nikahi dia. Keseriusan kamu adalah hal yang paling ingin Melina lihat, Zah. Bukan cuma sekedar tanya-jawab seperti kuis melalui chat," ujar Rozi.

Ponsel Rozi berbunyi, membuat pemiliknya segera mengeluarkan benda pipih itu dari dalam saku celana.

"Lihat," Rozi memperlihatkan pesan yang masuk dari Gista. "Kalau kamu membuat seseorang menjadi prioritasmu, maka kamu juga akan menjadi prioritasnya."

"Enggak usah pamer!" omel Zahri. "Sekarang coba pikirkan, bagaimana caranya agar kita bisa mendatangi rumah Eka ketika perempuan itu sedang tidak berada di rumahnya. Sementara yang kita tahu saat ini adalah, kita tidak tahu kapan jadwalnya keluar ataupun kembali ke rumah."

Rozi membetulkan posisi duduknya saat itu, lalu kembali meminum kopinya setelah membalas pesan dari Gista.

"Kita harus awasi dulu pergerakannya, Zah. Kita tandai dulu kapan tepatnya dia sering pergi dan kapan dia pulang kembali. Kalau kita langsung saja berusaha masuk ke rumahnya saat dia pergi tanpa tahu kapan dia kembali, kita akan mendapat risiko yang besar. Ingat, kita tidak boleh ketahuan sedang membantu Bian, agar usaha Dela dan Melina juga tidak ketahuan oleh Eka."

"Ya, kamu benar. Hal itulah yang paling sulit. Menjaga agar Eka tidak mencurigai kita, bahwa kita sedang membantu Bian agar terlepas dari kegilaannya. Apa yang Dela lakukan untuk Bian tidak boleh tergagalkan gara-gara satu kecerobohan. Kita harus sangat berhati-hati, jangan sampai salah langkah yang bisa berakibat fatal," Zahri setuju.

"Tapi menurutmu, apakah dia punya kegiatan setelah putus sekolah bertahun-tahun lalu? Apakah dia punya pekerjaan?" tanya Rozi.

"Iya, punya. Dia selalu berkegiatan dan punya pekerjaan. Kegiatan dan pekerjaan yang dia lakukan adalah, mengunjungi dukun," jawab Zahri.

"Ah, benar juga. Sudah jelas dia pasti sering sekali mendatangi dukun suruhannya itu, sehingga sukses membuat hidup Bian sengsara selama beberapa bulan terakhir. Eh ... ngomong-ngomong, apakah ada hal yang harus dia tumbalkan untuk membayar Iblis yang dia puja bersama si dukun suruhannya?"

Pertanyaan selanjutnya yang Rozi tanyakan membuat Zahri langsung memikirkan soal tumbal. Kemarin ia sempat mendengar dari Ahmad soal Almarhum kedua orangtua Eka, yang akhirnya menjadi tumbal dari ritual pesugihan yang mereka jalani.

"Benar juga. Kalau dia menerima sesuatu yang menurutnya menguntungkan, maka pasti dia harus memberikan sesuatu pada Iblis yang dipujanya. Karena dia berhasil membuat Bian mendapatkan hidup yang sengsara dan penuh derita, berarti dia harus memberikan sesuatu yang bisa membuat Iblis tersebut merasa puas. Tidak ada yang cuma-cuma di dunia ini, bahkan jika itu adalah sesuatu yang diberikan oleh Iblis," pikir Zahri.

Rozi pun kembali meraih ponsel milik Zahri, ketika pria itu sedang berpikir dalam diamnya. Setelah pria itu mengirim pesan kepada Melina, ia segera meletakkan kembali ponsel tersebut ke atas meja.

"Besok kita libur. Gimana kalau besok kita coba pergi ke rumahnya Eka?" cetus Zahri.

"Melina memangnya akan mengizinkan kamu untuk pergi ke rumahnya Eka? Bukannya Eka ingat betul dengan mobilmu, ya? Kalau dia sampai sadar bahwa dirinya sedang diawasi, bagaimana?" Rozi mengingatkan soal risiko.

"Kita pakai mobilnya Dela. Ahmad bilang, hanya mobilnya Dela yang tidak dikenali oleh Eka. Makanya kemarin mereka aman-aman saja saat mengawasi dan mengikuti Eka."

"Lah terus, Dela mau pakai apa kalau mobilnya kita bawa?"

"Biar dia dijemput saja sama Ahmad kalau memang mau ke mana-mana. Lagi pula, Dela 'kan calon Istrinya Ahmad. Masa iya Ahmad akan keberatan kalau Dela minta dijemput olehnya."

Ponsel milik Zahri berbunyi. Pria itu segera meraihnya dan melihat ada pesan masuk dari Melina. Senyuman pun terbit di wajahnya, sementara Rozi berusaha keras menahan tawa.

MELINA
Wa'alaikumsalam. Kalau kita langsung nikah saja di KUA, gimana? Bisa, 'kan? Biar cepat prosesnya.

"Eh? Loh? Kapan aku kirim chat pada Melina dan tanya soal konsep lamaran? Kok mendadak ...."

Zahri tidak melanjutkan ucapannya dan langsung menoleh ke arah Rozi yang masih ada di sampingnya. Dalam sekejap pria itu menyadari kalau Rozi sudah mengerjai dirinya dengan sengaja.

"Kamu, 'kan, yang menulis dan mengirim pesan itu pada Melina? Iya, 'kan?" cecar Zahri.

Rozi memilih tidak menjawab, namun langsung merebut ponsel Zahri demi bisa membaca pesan balasan dari Melina.

"Astaghfirullah. Ck-ck-ck-ck-ck! Parah sekali, Zah. Melina tidak ada romantis-romantisnya sama sekali meski sudah bersahabat dekat dengan Dela selama belasan tahun," ujar Rozi, jujur.

"Jawab saja pertanyaanku! Aku enggak butuh kamu mengomentari calon Istriku!" amuk Zahri.

* * *

DENDAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang