- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE PERHARI
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.* * *
Mendengar jawaban Dela membuat Bian segera meraih Mira ke dalam pelukannya. Pria itu jelas percaya pada apa pun yang Dela katakan, setelah melewati hal yang begitu panjang di tengah acara reuni pagi tadi. Mira sendiri--yang masih merasa ragu--mencoba menatap ekspresi suaminya begitu lama, demi meyakinkan diri bahwa Dela benar-benar bisa memberi bantuan untuk mereka.
"Kalau butuh apa-apa bilangnya lebih awal, ya, Del. Jangan mendadak seperti tadi. Aku tadi hampir tidak sempat memberikan ember pada Bian yang akan muntah, jika saja gerakanku tidak cepat," ujar Melina.
"Itu namanya risiko, Mel. Setan 'kan munculnya juga dadakan. Aku akan bilang memerlukan sesuatu, jika makhluk halus muncul atau hal buruk baru akan terjadi," sahut Dela, mulai mengambil posisi berjongkok perlahan-lahan.
Ahmad mengawasinya bersama Asril dan Amir. Begitu pula dengan Zahri, Fajar, dan Rozi yang sejak tadi ada di sisi Bian. Tatapan mereka mendadak beralih pada rumput di bawah pohon mangga, ketika sesosok makhluk berambut panjang dengan wajah hancur muncul dari baliknya.
"Astaghfirullah hal 'azhim!!!" ucap semua orang--kecuali Melina--dengan nada yang cukup tinggi.
Melina sudah biasa melihat makhluk-makhluk seperti itu menunjukkan diri, ketika Dela sedang menghadapinya. Maka dari itulah hanya dirinya yang tidak mengucap istighfar dengan nada keras. Makhluk itu perlahan maju ke arah tempat Dela berada. Dela sendiri terlihat sangat tenang dan sama sekali tidak melakukan apa-apa. Aswan muncul tak lama kemudian bersama keponakannya, setelah sempat mendengar orang-orang beristighfar dengan keras, tadi.
"Assalamu'alaikum," ucap Aswan.
"Wa'alaikumsalam," jawab semua orang.
Aswan dan keponakannya melihat makhluk berambut panjang serta berwajah hancur itu, ketika mereka memasuki pagar rumah Bian. Melina menatap ke arah semua orang yang ada di belakangnya.
"Masuk! Semuanya masuk!" titah Melina.
"Pak Ustadz, silakan jalan lewat samping saja," ujar Bian, mengarahkan.
"Tapi wanita itu ...."
"Biarkan saja, Pak. Dia yang akan menghadapi makhluk itu," potong Melina dengan cepat.
Aswan dan keponakannya segera mengambil jalan samping seperti yang Bian arahkan, agar bisa ikut masuk ke dalam rumah. Namun belum sampai mereka di teras rumah tersebut, Dela sudah melepaskan ajiannya untuk menyerang makhluk yang dihadapinya. Energi yang Dela keluarkan terasa begitu jelas pada tubuh beberapa orang. Bahkan Mira pun bisa merasakannya, sehingga mulai mempererat pelukannya pada tubuh Bian. Aswan dan keponakannya menatap begitu lama ke arah Dela, sebelum akhirnya mereka masuk ke dalam rumah milik Bian. Mereka berdua mendadak merasa penasaran dengan apa yang tengah Dela lakukan saat itu, terutama setelah mereka merasakan betapa besar energi yang dimiliki oleh Dela.
"Siapa wanita itu, Nak?" tanya Aswan.
"Dia temanku, Pak Ustadz. Kami berteman sejak masih SMP," jawab Bian, apa adanya.
"Ba-bagaimana dia bisa menghadapi makhluk menyeramkan itu dengan sangat tenang di luar sana?" tanya Iqbal--keponakan Aswan.
"Karena sejak lahir pun dia sudah berurusan dengan hal-hal seperti itu. Sebaiknya tidak usah ditanyakan. Karena ceritanya panjang dan aku malas menceritakan ulang," jawab Melina, tanpa melihat siapa yang baru saja bertanya.
Iqbal cukup kaget mendapat jawaban yang ketus dari Melina. Melina sendiri saat ini justru sibuk menatap keluar jendela, untuk memastikan kalau Dela benar-benar bisa menghadapi makhluk itu sendirian. Zahri ada di sampingnya dan beberapa kali meringis pelan saat melihat Dela menangkis serangan yang datang dari makhluk menyeramkan tersebut.
"Apakah makhluk itu akan pergi?" tanya Zahri.
"Ya. Insya Allah makhluk itu akan pergi sebentar lagi, Zah," jawab Melina.
BRUUUUBBBHHHH!!!
Serangan terakhir yang Dela keluarkan benar-benar berhasil membuat makhluk tadi pergi dari halaman rumah Bian. Dela pun segera beranjak ke pintu rumah, lalu masuk ke dalam setelah Zahri membuka pintunya. Tatapan Dela langsung terarah pada Bian dan Mira. Aswan dan Iqbal hendak bertanya-tanya, namun Melina dengan cepat menahan mereka agar Dela tetap bisa berkonsentrasi.
"Punya sekop?" tanya Dela. "Aku harus menggali tanah yang dipenuhi rumput di bawah pohon mangga depan. Ada yang harus aku temukan dari bawah tanah."
"Ada, Mbak. Tunggu sebentar, biar aku ambilkan," jawab Mira.
"Biar Suamimu saja yang ambil. Kamu duduklah di sini," pinta Dela, sambil menunjuk ke arah sofa yang kosong.
Bian melepaskan pelukannya pada tubuh Mira, lalu memberi tanda pada Mira agar menuruti yang Dela minta. Mira beranjak menuju sofa yang ditunjuk oleh Dela, sementara Asril menemani Bian mengambil sekop di gudang. Dela mengusap pundak dan punggung Mira dengan lembut. Wanita itu tersenyum, membuat Mira merasa tenang saat menatap wajahnya.
"Ibu rumah tangga atau bekerja?" tanya Dela.
"Tadinya kerja, Mbak. Sekarang sudah tidak, sejak Suamiku ...." Mira berhenti bicara karena mulai merasa sedih.
"Oke. Aku paham. Jangan ceritakan jika terlalu berat untuk diceritakan. Aku hanya ingin tahu, apakah kamu pernah menerima makanan atau minuman yang tidak diketahui siapa yang memberi. Coba diingat-ingat."
Mira pun langsung memikirkan hal yang ingin Dela ketahui. Semua orang tidak ada yang berani bicara, karena takut mengganggu jalannya pembicaraan saat itu. Terutama bagi yang tadi melihat sendiri bagaimana Bian dibantu oleh Dela hingga berhasil memuntahkan sebuah benda asing, mereka jelas akan lebih memilih diam.
"Tidak pernah. Semua makanan dan minuman di rumah sakit diterima oleh sekuriti. Jadi harus jelas siapa pengirimnya sebelum sampai ke tanganku, Mbak. Jika ada yang makanan atau minuman yang tidak jelas asal-usulnya, maka sekuriti memutuskan akan membuang ke tempat sampah demi keselamatan para staff di rumah sakit," ujar Mira.
Dela pun mengangguk pelan sambil tetap mengusap-usap punggung Mira. Energinya sudah tersalurkan pada tubuh wanita itu. Ia sudah memberi perlindungan secara diam-diam menggunakan ajiannya, agar Mira juga tidak bisa diserang oleh siapa pun. Bian muncul tak lama kemudian bersama Asril. Pria itu langsung memberikan sekop yang tadi diminta oleh Dela.
"Tetaplah di sini bersama yang lain, Bi. Aku akan menggali sebentar di depan sana," ujar Dela.
"Biar aku yang menggali, Dek, jika diperbolehkan," Ahmad menawarkan diri.
"Ya, silakan Mas," jawab Dela, dengan cepat.
"Aku juga ingin ikut. Aku ingin lihat apa yang kamu cari di depan sana," Iqbal bicara dengan nada tegas.
"Untuk apa?" heran Dela. "Dia siapa, ya? Kenal sama aku, gitu?"
Dela benar-benar merasa tidak nyaman dengan keberadaan Iqbal dan nada bicaranya yang selalu tinggi. Melina paham akan hal itu dan segera menghalangi tatapan Iqbal ke arah Dela.
"Tidak. Kamu tidak kenal dia dan aku pun begitu," jawab Melina. "Keluarlah bersama Ahmad. Aku akan mengurus dia agar tidak mengganggu pekerjaanmu."
"Ya, pergilah bersama Ahmad. Aku dan yang lain akan membantu Melina mengurus dia jika sampai memaksa ingin ikut keluar," Zahri meyakinkan Dela.
Ahmad segera meraih tangan Dela dan menggenggamnya dengan lembut. Mereka segera keluar dari rumah Bian dan menyisakan Iqbal yang tampak tidak percaya jika langkahnya dihalangi oleh orang banyak. Aswan mendekat pada keponakannya dan berusaha membuatnya mundur. Namun Iqbal tetap bersikeras dan tidak ingin mendengarkan.
"Kenapa cuma laki-laki itu yang diperbolehkan ikut keluar sana? Kenapa aku tidak boleh ikut?" tanya Iqbal, dengan nada bicara yang semakin tinggi.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
DENDAM
Horror[COMPLETED] Dela sedikit merasa aneh dengan undangan reuni yang ia terima dari SMP tempatnya belajar di Purwodadi. Pasalnya, ia hanya belajar di SMP tersebut tak sampai dua tahun, karena dulu dirinya terpaksa harus pindah sekolah ketika orangtuanya...