52 | Akhir Bagi Eka

1.4K 108 15
                                    

- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE PERHARI
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

Beberapa orang anggota kepolisian yang datang ke hutan itu segera mengevakuasi tubuh Mbah Naryo yang masih bernyawa. Mbah Naryo diangkat menggunakan tandu, lalu dibawa pergi menggunakan ambulans. Laki-laki tua itu akan dirawat di rumah sakit, meski saat ini statusnya adalah tersangka yang telah melakukan tindak kejahatan. Melina masih berdiri di sisi Dela setelah Mbah Naryo tidak lagi berada di sana. Mereka sama-sama menatap reruntuhan rumah Mbah Naryo serta gua di belakang rumahnya yang pernah menjadi sarang bagi Eyang Rogo Geni.

"Jadi, Eyang Rogo Geni itu sudah benar-benar tidak berada lagi di hutan ini?" tanya Melina.

"Mm ... dia sudah aku kembalikan ke tempat asalnya. Insya Allah dia tidak akan bisa ke mana-mana lagi, karena aku mengembalikan dia ke sana dan mengurungnya dengan ajian yang paling kuat. Dia akan tetap menjadi penunggu gunung berapi, seperti yang seharusnya dia jalani selama ini," jawab Dela.

"Lalu bagaimana soal Mbah Naryo? Aku tidak paham tentang apa yang akan terjadi ke depannya nanti, jika menyangkut soal dia yang hidup tidak mati pun belum."

Melina tidak berusaha menutupi ekspresinya yang tidak jelas dari hadapan Dela. Hal itu jelas membuat Dela terkekeh pelan secara terang-terangan.

"Pepatah dari mana itu, Mel? Hidup tidak, mati pun belum," tanya Dela.

"Pepatah buatanku, Del. Jangan mengejek, jawab saja pertanyaanku."

Dela pun berhenti tertawa.

"Jujur saja, Mbah Naryo tidak akan punya kesempatan untuk sadar kembali seperti sediakala. Dia ... bisa dibilang saat ini sedang berada dalam masa koma. Tidak hidup, tapi juga belum meninggal. Tunggu saja. Jika sudah waktunya, maka dia akan benar-benar meninggal sebagaimana kodratnya yang harus ia jalani."

Melina pun menganggukkan kepalanya, pertanda bahwa ia akhirnya paham dengan jawaban yang Dela berikan. Kedua wanita itu kini sama-sama menatap ke arah Bian dan Mira yang sedang bicara bersama Ahmad dan Zahri. Mereka merasa lega, karena akhirnya hidup Bian dan Mira bisa kembali tenang seperti sediakala setelah semuanya berhasil dituntaskan.

"Alhamdulillah Bian dan Mira tidak perlu lagi merasa cemas. Aku merasa lega akan hal itu saat ini. Mereka adalah orang-orang baik, jadi aku tidak bisa diam saja jika sesuatu yang buruk terjadi pada mereka. Terutama Mira, dia begitu mencintai Bian dan sangat sabar ketika Bian sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja. Meski dia dipengaruhi oleh keluarganya agar segera meninggalkan Bian, tapi dia memilih tetap bertahan. Entah bagaimana, dia sangat yakin kalau penderitaan yang Bian rasakan akan berakhir, cepat ataupun lambat," ujar Dela.

Melina tersenyum usai mendengar yang Dela katakan.

"Kalau boleh jujur, aku jauh lebih lega karena memiliki sahabat seperti kamu. Kamu selalu memandang ke berbagai sisi ketika akan menilai sebuah masalah. Hal itu membuat aku selalu ikut menatap ke berbagai sisi, sehingga tahu harus bersikap bagaimana ketika menghadapi masalah tersebut. Kalau bukan karena kamu yang yakin bahwa Bian bicara sangat jujur soal masalahnya, maka mungkin sampai hari ini aku tidak akan melakukan tindakan apa pun. Aku meragukan Bian sejak awal, karena aku tidak segera melihat ke berbagai sisi seperti yang kamu lakukan. Tapi karena ada kamu di sisiku, aku jadi tahu bahwa aku salah karena sempat tidak percaya padanya. Keberhasilan yang terjadi saat ini bukan hanya karena aku bekerja keras, Del, tapi juga karena kamu yang tidak mau berhenti sampai Eka benar-benar berhasil kita hentikan."

Mereka kembali menatap ke arah yang sama dan tak lagi bicara. Keheningan yang terjadi saat itu membuat mereka saling melirik satu sama lain, seakan sedang saling mencurigai.

"Jawab jujur, Del. Siapa yang sedang kamu perhatikan saat ini?" Melina ingin tahu.

"Masih Bian dan Mira," jawab Dela.

"Cih! Kamu pikir aku akan percaya dengan jawabanmu itu?" cela Melina, blak-blakan.

"Kamu sendiri bagaimana? Siapa yang saat ini sedang kamu perhatikan?" Dela balas bertanya.

"Tentu saja Bian dan Mira."

"Oh ya? Terus kamu pikir aku akan percaya begitu saja dengan jawabanmu? Zahri terlihat aneh karena memakai ikat pinggang yang tidak berwarna senada dengan celananya."

"Heh! Jangan sembarangan menilai, ya! Jelas-jelas Zahri sejak tadi tidak terlihat aneh, karena warna ikat pinggangnya senada dengan warna celananya! Bagaimana mungkin bisa ikat pinggangnya berubah warna dengan sendirinya?" omel Melina.

"Ah ... jadi sejak tadi arah tatapanmu itu hanya tertuju pada Zahri, 'kan?" ejek Dela, setelah berhasil menjebak Melina dengan mudahnya.

Wajah Melina pun memerah setelah sadar bahwa dirinya berhasil masuk ke dalam jebakan yang Dela ucapkan.

"Apakah Ahmad sudah tahu, bahwa kamu selalu saja pintar bersilat lidah seperti itu?"

"Kalau tujuan bersilat lidah adalah untuk membuat seseorang membuka kebohongannya, maka aku akan semakin mengasah kemampuan itu pada diriku. Dan, silakan saja jika kamu mau membeberkan hal itu pada Mas Ahmad. Aku yakin seribu persen bahwa dia akan tetap cinta sama aku meski aku jago bersilat lidah," balas Dela.

Rozi terlihat mendekat ke arah mereka sambil berlari-lari kecil. Pria itu tampak akan menyampaikan sesuatu pada mereka.

"Itu ... di ... di bawah sana. Eka ... Eka tidak mau berhenti teriak. Dia terus memohon, 'singkirkan semua ular dan kelabang ini dari tubuhku'. Tapi masalahnya, tidak ada satu orang pun yang melihat adanya ular atau kelabang di tubuhnya," jelas Rozi, sedikit terbata-bata akibat berlari.

Dela pun segera memberi tanda pada Melina agar ikut dengannya. Zahri menunjuk ke arah perginya kedua wanita itu bersama Rozi, agar Ahmad, Bian, dan Mira menatap ke arah yang sama. Mereka kemudian segera menyusul tanpa banyak bertanya. Setibanya di pohon tempat Eka diikat, mereka bisa melihat sendiri bagaimana wajah panik dan ketakutan yang Eka tampilkan.

"Ampuni aku, Eyang!!! Jangan siksa aku!!! Ampuni aku!!! Tolong!!! Singkirkan semua ular dan kelabang ini dari tubuhku, Eyang!!! Tolong aku!!! Ampun!!!"

Beberapa orang anggota Polisi menatap ke arah Melina, seakan mereka sedang menunggu keputusan dari wanita itu sebelum melakukan sesuatu terhadap Eka. Melina sendiri kini menatap ke arah Dela, karena dirinya butuh jalan keluar untuk mengatasi teriakan-teriakan yang terus menggema dari mulut Eka.

"Pada akhirnya dia benar-benar menjadi gila. Kewarasannya sudah diambil oleh Eyang Rogo Geni, sebagai bayaran atas pengkhianatan yang dia lakukan. Aku tidak bisa membantunya agar bisa menjadi kembali waras," jelas Dela.

"Ya ... aku rasa itu cukup adil, Dek. Setelah apa yang dilakukannya terhadap Bian, aku jelas tidak keberatan kalau akhirnya dia harus menerima hukuman terkurung di Rumah Sakit Jiwa seumur hidup. Setidaknya kita akan merasa tenang, karena tahu bahwa dia tidak akan pernah lepas dari kurungan di Rumah Sakit Jiwa daripada di penjara. Penjara hanya akan mengurungnya selama beberapa tahun, lalu akan membuatnya bebas kembali seakan tidak pernah berbuat jahat," ujar Ahmad, jujur mengenai pendapatnya.

"Jadi sebaiknya sekarang apa yang harus kita lakukan terhadap Eka?" tanya Melina.

"Bius saja lagi, Mel, supaya dia berhenti teriak-teriak. Itu adalah satu-satunya jalan terbaik yang bisa kita lakukan, agar bisa membawanya ke Rumah Sakit Jiwa dengan tenang," saran Zahri.

* * *

DENDAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang