6 | Mewaspadai Sesuatu

1.7K 134 17
                                    

- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE PERHARI
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

Eka tampak sangat gelisah dan terus saja berjalan mondar-mandir di rumah dukun kepercayaannya. Sejak menerima kabar bahwa Bian gagal diserang oleh makhluk halus yang dikirim oleh Mbah Naryo, perasaan Eka benar-benar menjadi tidak menentu. Apalagi saat Mbah Naryo mengatakan bahwa tampaknya ada yang berhasil membantu Bian untuk menghindari serangan. Hal itu membuat Eka semakin tidak bisa tenang.

"Bagaimana, Mbah? Apakah sekarang Bian sudah bisa diserang?" tanya Eka.

"Sabar dulu. Aku sedang mengusahakan. Entah apa yang terjadi saat ini, tapi laki-laki itu tampaknya baru saja mendapat bantuan yang tidak pernah kita duga," jawab Mbah Naryo.

"Siapa yang membantunya, Mbah? Apakah tidak bisa dilihat dari air suci siapa orangnya?" Eka memaksa.

"Sudah aku coba untuk melihatnya melalui air suci. Tapi hasilnya nihil. Bahkan keberadaan laki-laki itu pun menjadi ikut tidak terlihat olehku. Sekarang kamu tenang dulu. Aku akan terus mencoba untuk kembali memberinya serangan."

Mbah Naryo kembali menutup kedua matanya untuk bertapa. Kegelisahan Eka semakin menjadi-jadi, setelah tahu bahwa air suci tidak mampu memperlihatkan wujud orang yang memberi bantuan pada Bian.

"Ini tidak bisa dibiarkan! Bian tidak boleh terlepas dari penderitaan yang aku kirimkan untuknya! Dia harus menderita seumur hidup! Harus!" batin Eka.

Eka pun meraih tas miliknya dan segera keluar dari rumah Mbah Naryo. Perempuan itu beranjak menuju mobilnya, karena hendak mendatangi rumah Bian untuk mengawasi dari dekat. Ia benar-benar tidak bisa melepaskan dendamnya pada pria itu. Dendamnya benar-benar sudah berakar, sehingga sulit baginya jika harus melihat Bian berbahagia dengan jalan hidupnya yang selalu mulus.

"Tunggu saja, Bian. Aku akan datang dan memastikan sendiri, bahwa apa pun yang kamu lakukan saat ini tidak akan pernah mengembalikan kebahagiaanmu yang sudah hilang. Kamu harus berkubang dalam rasa sakit selama-lamanya. Aku akan memberikan derita disepanjang hidupmu, sampai kamu akhirnya benar-benar mati suatu saat nanti!" gumamnya.

Dela membungkus benda yang tadi Bian muntahkan menggunakan sapu tangan, setelah benda itu dibersihkan. Melina menatap benda itu ketika Dela memperlihatkannya sebelum disimpan.

"Terlihat seperti kristal, ya?" pikir Melina.

"Benda ini namanya mustika air. Biasanya banyak dipakai oleh dukun, dengan tujuan meluruhkan keberuntungan seseorang dan mengubah keberuntungan itu menjadi kesialan," jelas Dela.

Dela kemudian membungkus mustika air itu dan menyimpannya ke dalam saku celana. Kedua wanita itu kemudian berjalan bersama menuju tempat parkir.

"Dan itulah yang terjadi pada hidup Bian selama beberapa bulan terakhir, hm? Benda itu membuat keberuntungan dalam hidup Bian berubah menjadi penuh kesialan," duga Melina.

"Ya. Dengan bantuan dari Iblis, dukun itu berhasil membuat hidup Bian berantakan melalui mustika air tadi. Jadi intinya, aku hanya perlu menyingkirkan Iblis tersebut, agar dukun yang mengirim mustika air itu pada Bian mengalami kegagalan," ujar Dela.

"Iblis yang mana, nih? Iblis betulan Iblis? Atau Iblis berwujud manusia? Lawanmu kali ini jelas bukan hanya yang halus-halus saja, loh, Del," goda Melina, tampak lebih bersemangat.

Ponsel milik Melina dan Dela berbunyi pada saat yang sama. Kedua wanita itu membuka pesan yang masuk dari sebuah nomor tak dikenal.

"Alamat rumahnya Bian sudah dikirim padaku," ujar Melina.

"Iya. Alamatnya juga dikirimkan padaku," sahut Dela.

Keduanya langsung saling menatap, lalu sama-sama mencocokkan nomor telepon yang baru saja mengirimkan pesan pada mereka.

"Nomornya beda, Del."

"Iya. Yang mengirim pasti bukan orang yang sama. Tidak mungkin, 'kan, jika satu orang punya dua nomor dan mengirim pesan dengan kedua nomornya pada orang yang berbeda. Meski punya dua nomor, setidaknya orang itu akan mengirim pesan menggunakan salah satu nomornya saja," pikir Dela.

"Kamu benar. Kalau begitu ... aku akan coba tanya siapa yang mengirim pesan padaku barusan," niat Melina.

"Aku pun demikian."

Dela kembali duduk di balik kemudi. Melina kini sudah sibuk mengirim pesan berisi pertanyaan pada nomor baru di ponselnya. Dela sendiri sudah melakukan hal itu sejak tadi tanpa Melina tahu. Mereka berdua kini hanya perlu menunggu balasan, sambil kembali memikirkan soal perkara hidup Bian.

"Istrinya Bian pasti cantik," ujar Melina.

"Iyalah, jelas. Mana mungkin tidak cantik kalau pria yang memilihnya adalah Bian. Tahu sendiri 'kan, kalau Bian itu tidak pernah sembarangan memilih wanita. Bahkan untuk menjadi temannya saja susahnya minta ampun. Dia itu sulit untuk didekati, Mel. Jadi kalau ada wanita yang berhasil meluluhkan hatinya dan dinikahi olehnya, sudah pasti wanita itu sangat cantik. Baik itu wajah maupun hatinya," tanggap Dela.

"Setuju. Aku kasih nilai seratus untuk pendapatmu barusan."

Ponsel kedua wanita itu kembali berbunyi pada waktu yang sama. Melina membuka ponselnya dengan cepat. Sementara Dela yang sedang menyetir memilih meminta tolong, agar Melina membuka pesan yang masuk ke ponselnya.

"Ini nomorku, Mel. Zahri. Arrggghhhh!!! Aku dihubungi langsung oleh mantan pacar kesayanganku, Del!!!" teriak Melina, tampak seperti orang kesurupan.

"Iya ... iya ...!!! Tapi enggak usah tantrum juga, dong! Aku lagi nyetir ini, Mel! Butuh konsentrasi!" omel Dela.

Bibir Melina langsung mengerucut beberapa senti ke depan setelah menerima omelan dari Dela. Wanita itu segera membuka pesan pada ponsel milik Dela dan membacakannya.

"Ini aku, Dek. Ahmad," ujar Melina, yang kemudian langsung menatap ke arah Dela.

"ARRRGGGHHHHHH!!! AKU DIHUBUNGI OLEH MANTAN PACARKU YANG MASIH AKU CINTAI, MEL!!!" teriak Dela, tak kalah heboh dengan teriakan Melina sebelumnya.

PLETAKKK!!!

Melina dengan tulus ikhlas langsung mendaratkan jitakan ke kepala Dela agar segera sadar. Dela meringis hebat usai merasakan jitakan maut dari Melina. Wanita itu tidak lagi mengeluarkan suara dan kembali fokus pada jalanan di depannya.

"Menyebut diriku tantrum setelah menerima pesan dari Zahri, lah kamu sendiri malah akrobat gara-gara Ahmad! Sudah! Nyetir saja yang benar sampai tujuan! Jangan banyak gaya!" omel Melina.

"Kamu sedang menasehati diri sendiri, Mel?" Dela mencoba meyakinkan diri.

Setengah jam kemudian, mobil yang Dela kemudikan akhirnya tiba di depan sebuah rumah dengan cat tembok berwarna biru muda. Di teras rumah itu tampak sudah ada beberapa teman mereka yang tadi mengantar Bian pulang. Melina turun lebih dulu setelah mobil masuk ke garasi, lalu langkahnya disusul oleh Dela tak lama kemudian. Melina langsung diperkenalkan pada Mira oleh Bian, sementara Dela justru tidak melangkah ke mana pun setelah turun dari mobil. Tatapan wanita itu hanya terarah pada rerumputan yang tumbuh tepat di bawah pohon mangga.

"Itu ... Dela kenapa diam saja di sana, Mel? Kenapa dia tidak ke sini?" tanya Bian.

Melina pun menatap ke arah yang Bian tunjukkan, begitu pula dengan Mira dan yang lainnya.

"Del? Ada sesuatu di bawah pohon mangga itu?" tanya Melina, ingin memastikan.

"Sedang aku awasi, Mel. Tenang dulu," jawab Dela, terdengar cukup waspada.

* * *

DENDAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang