- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE PERHARI
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.* * *
"Karir Bian sebagai Polisi sudah diujung tanduk. Mira sudah tidak lagi bekerja di rumah sakit karena terus dipojokkan oleh rekan-rekan kerjanya. Eka ternyata memang segila itu, sehingga tidak peduli dengan nasib orang yang diserangnya," Melina mengungkapkan kekesalannya.
Dela berhenti merajut dan menatap ke arah Melina yang sedang berdiri di depan jendela ruang kerja tersebut. Waktu maghrib akan segera tiba. Melina sangat senang memperhatikan warna langit senja jika mulai beranjak menuju malam. Warna yang sama persis dengan warna favoritnya, jingga. Hanya saja, kali itu Melina tidak tampak senang seperti biasanya ketika memperhatikan senja di langit. Wajahnya muram. Dela pun paham bahwa kemuraman itu berasal dari perasaannya yang masih mengkhawatirkan Bian dan Mira.
"Tidak bisakah kamu melakukan sesuatu untuk Bian? Kamu adalah Kapolsek di Polsek Purwodadi. Jadi kenapa kamu tidak mencoba menarik Bian, agar dia bisa pindah kerja ke kantor yang kamu pimpin? Hal itu mungkin akan jauh lebih baik bagi karir dan mental Bian, setelah Eka membuat hidupnya kacau," saran Dela.
Melina pun berbalik dan tidak lagi menatap ke arah langit di luar sana. Apa yang Dela sarankan jelas bukan hal yang salah. Justru yang Dela sarankan padanya adalah jalan keluar paling mudah untuk menyelamatkan karir Bian yang mungkin saja akan benar-benar berakhir. Dengan menarik Bian agar pindah ke kantor yang ia pimpin, maka Bian jelas akan kembali bisa menata hidup dan karirnya pelan-pelan.
"Oke. Saranmu jelas bagus dan akan segera aku laksanakan. Lalu ... bagaimana dengan Mira? Apakah kamu juga punya ide untuk membuat Mira tidak terus menghabiskan waktunya di rumah? Dia Dokter yang cerdas dan baik. Karirnya ikut hancur saat Eka mencoba menghancurkan Bian. Jadi aku yakin kalau mentalnya saat ini juga ...."
"Mira biar menjadi urusanku, Mel. Kamu urus saja persoalan Bian, agar dia bisa cepat pindah dari kantor lamanya. Mira akan aku ajak bicara lebih dulu. Kamu jelas benar mengenai mentalnya yang sedang tidak baik-baik saja. Maka dari itu aku harus membantunya memperbaiki mental lebih dulu, sebelum membuat dia kembali menjalani hari-harinya sebagai seorang Dokter. Dokter harus mempunyai jiwa yang tenang jika akan menghadapi pekerjaan. Jika jiwa Mira tidak bisa tenang, maka hal tersebut akan semakin berimbas pada karirnya," ujar Dela, berusaha meyakinkan Melina.
Bian keluar dari kamar setelah selesai mandi. Aroma masakan yang begitu sedap menguar ke seluruh sudut rumah. Membuatnya segera beranjak ke dapur dan mendapati kalau Mira sedang memasak lagi seperti biasanya. Sejak mereka mendapatkan masalah berbulan-bulan lalu, Mira mulai jarang memasak akibat stress. Dia lebih banyak melamun hingga akhirnya tidak sadar bahwa waktu sudah berlalu begitu lama. Namun Bian tidak pernah mempermasalahkan hal tersebut. Ia paham bahwa Mira merasa tertekan. Mira masih berada di sisinya sampai detik ini saja, rasanya seperti sebuah keajaiban bagi Bian. Ia bahagia karena Mira masih mau bertahan bersamanya, meski banyak sekali hal buruk yang terjadi dalam hidup mereka.
"Aku jadi lapar lebih cepat saat mencium aroma masakanmu. Apa kamu tidak lelah, karena harus memasak setelah melewati serangkaian peristiwa tadi siang?" tanya Bian, sambil memeluk Mira dari belakang.
Mira tersenyum dan segera mematikan kompor gas. Wanita itu kemudian berbalik dan memeluk erat tubuh Bian, seakan sudah lama tidak menuntaskan rindu. Bian balas memeluknya sambil memejamkan kedua mata. Mencoba menyingkirkan semua kilas ingatan buruk yang masih membayangi pikirannya.
"Aku bersyukur kepada Allah, karena kamu masih di kelilingi oleh orang-orang baik. Aku bersyukur karena mereka percaya padamu dan bersedia membantumu agar lepas dari kekejian perempuan itu. Demi Allah, Mas, tidak ada yang lebih membuatku lega selain dari hadirnya teman-teman lamamu siang tadi," ungkap Mira, apa adanya.
"Aku pun demikian, Sayang. Aku bersyukur karena masih ada yang mau mempercayai ceritaku, meski ceritaku kedengarannya amat sangat tidak masuk akal. Terutama pada Dela. Aku bersyukur karena dia mau menyakinkan Melina untuk percaya padaku, karena awalnya Melina ragu untuk percaya. Dela mendengar ceritaku, dan sama sekali tidak memintaku untuk mengulanginya. Dia langsung percaya, seakan tahu bahwa aku sedang sekarat dan lebih butuh dibantu daripada diragukan," tutur Bian.
Mira pun tertawa pelan sambil mengusap air matanya yang hampir mengalir. Bian membantunya mengusap air mata itu. Kedua tangannya menangkup kedua pipi lembut milik Mira yang terlihat kurus akhir-akhir ini.
"Aku tadi bertanya pada Mbak Melina, mengapa Mbak Dela bisa begitu perhatian padaku padahal kami belum benar-benar saling mengenal. Mbak Melina bilang, perhatian yang Mbak Dela berikan adalah bentuk rasa pedulinya terhadap kita berdua. Bahkan kata Mbak Melina, tanpa aku tahu Mbak Dela sudah memberikan perlindungannya kepada diriku secara diam-diam ketika dia mengusap pundak dan punggungku. Sama seperti yang dia lakukan padamu, Mas, dia juga tidak mau aku terkena serangan dari perempuan itu. Dia tidak mau aku menjadi sasaran yang selanjutnya setelah membuatmu aman," jelas Mira.
"Oh, ya? Melina bilang begitu padamu? Kenapa dia tidak bilang padaku kalau Dela juga memberikan perlindungan untuk kamu? Apakah menurut kamu Melina sengaja merahasiakannya?" tanya Bian, sambil mengerenyitkan kening.
Mira tahu kalau Bian saat itu merasa heran dengan apa yang Dela lakukan. Ia sudah terbiasa melihat ekspresi seperti itu di wajah suaminya sejak awal mereka saling mengenal.
"Aku pun bertanya begitu pada Mbak Melina. Mbak Melina kemudian memberiku jawabannya, Mas. Dia bilang, Mbak Dela tidak ingin membuatku merasa paranoid, jika dia memberikan perlindungan secara terang-terangan seperti yang dia lakukan kepadamu saat kalian masih berada di sekolah. Mbak Dela ingin aku tetap tenang, meski ada kemungkinan bahwa aku akan menerima serangan seperti yang kamu terima. Karena menurut Mbak Melina, Mbak Dela merasa bahwa ketenangan yang aku miliki akan selalu membuat kamu terlindungi, Mas. Jika aku tetap tenang, maka kamu pun bisa ikut tenang dan tidak diliputi rasa takut terhadap perempuan itu. Maka dari itulah dia memberiku perlindungan secara diam-diam. Semuanya dia lakukan demi kamu, agar bisa terlepas dari kegilaan perempuan itu," jelas Mira.
Mendengar penjelasan tersebut, akhirnya Bian mulai merasa lega dan tidak berpikiran terlalu jauh. Dela memang sulit ditebak. Ia sudah tahu itu sejak pertama kali mengenalnya di SMP. Dela selalu melakukan hal yang sulit untuk dipahami, namun ada maksud yang baik di baliknya.
"Kalau begitu, Dela benar. Kalau kamu tenang, maka aku juga akan ikut tenang. Dia benar-benar hebat karena bisa menebak bagian yang tidak pernah aku ceritakan pada siapa pun selama ini."
Bian kembali memeluk Mira. Mira tersenyum dalam pelukan suaminya. Menikmati betapa besar rasa sayang yang Bian miliki untuk dirinya.
BRAKKK!!!
Suara benda jatuh yang begitu keras terdengar jelas di atap rumah mereka. Bian dan Mira kini sama-sama menatap langit-langit rumah, sambil menduga-duga yang sedang terjadi.
"Apa itu, Mas? Kenapa suaranya keras sekali?" tanya Mira.
"Entahlah, Sayang. Biar aku telepon Dela dan bertanya padanya," jawab Bian, seraya mengeluarkan ponselnya dari dalam saku celana.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
DENDAM
Terror[COMPLETED] Dela sedikit merasa aneh dengan undangan reuni yang ia terima dari SMP tempatnya belajar di Purwodadi. Pasalnya, ia hanya belajar di SMP tersebut tak sampai dua tahun, karena dulu dirinya terpaksa harus pindah sekolah ketika orangtuanya...