- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE PERHARI
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.* * *
Dela mengajak Ahmad untuk mengintip dari sudut yang tidak terlihat. Ahmad begitu kaget karena melihat kemunculan Eka. Sementara Dela justru terlihat sangat tenang, seakan sudah tahu bahwa Eka mungkin saja akan muncul di rumah Bian.
"Dia sedang merasa takut, Mas," bisik Dela.
"Apa yang dia takutkan, Dek?" tanya Ahmad, ikut berbisik.
"Dia merasa ketakutan, setelah dukun yang dia suruh menyerang Bian mengalami kegagalan. Maka dari itulah dia langsung datang ke sini. Dia ingin memastikan bahwa Bian masih mengalami penderitaan seperti yang dia inginkan," jawab Dela.
"Astaghfirullah. Sebenarnya dia punya masalah apa, sih? Kenapa semua orang selalu saja dimusuhi olehnya? Dia bahkan sampai nekat muncul hanya demi ingin memastikan kalau Bian masih mengalami penderitaan. Di mana hati nuraninya?" Ahmad merasa tak habis pikir.
"Manusia seperti Eka itu tidak punya hati, Mas. Jadi kalau masih ada yang mau berteman dengannya, aku tidak bisa berkomentar apa-apa. Tapi untungnya kebanyakan orang sadar, bahwa dia tidak pantas dijadikan teman."
Eka merasa jauh lebih tenang setelah melihat rumah Bian yang tetap sepi seperti biasanya. Perempuan itu jelas tidak tahu bahwa di dalam garasi ada dua mobil lain yang terparkir. Mobil milik Dela dan Zahri sengaja disembunyikan sejak awal, agar tidak ada yang perlu mencoba mencari-cari tahu kegiatan di rumah tersebut. Karena hal itu akan membuat Dela kesulitan bekerja dan berkonsentrasi. Namun siapa sangka kalau Eka akan muncul. Kemunculan Eka jelas tidak masuk dalam perhitungan siapa pun.
"Aku mau mengusir dia, Mas."
"Gimana caranya, Dek?"
Dela pun menggerakkan tangannya, lalu menyerang mobil milik Eka dengan salah satu ajiannya. Mobil itu terdorong ke samping dengan sendirinya, sehingga membuat Eka kaget setengah mati. Eka tampak menoleh ke kanan dan ke kiri, untuk memastikan bahwa memang tidak ada siapa pun di sekitarnya pada saat itu. Dela dan Ahmad pun berusaha sekuat tenaga menahan tawa, ketika melihat ekspresi takut pada wajah Eka. Eka pun buru-buru masuk ke mobilnya, lalu pergi dari depan rumah Bian setelah berpikir kalau dirinya sedang diganggu setan. Melina keluar tak lama kemudian dan langsung berkacak pinggang saat menatap Dela.
"Heh! Jahil sekali kamu, ya! Bisa-bisanya kamu mengusir dia dengan cara jahil seperti itu!" omel Melina.
Gelak tawa pun terlepas begitu saja dari mulut Dela dan Ahmad. Mereka berdua duduk sebentar di bawah pohon mangga sambil menuntaskan tawa.
"Baru kali ini aku lihat setan takut sama setan, Mel. Demi Allah," aku Dela.
Asril, Fajar, Rozi, dan Amir ikut tertawa setelah mendengar yang Dela katakan. Zahri hanya bisa geleng-geleng kepala, saat tahu bahwa Dela ternyata bisa menjahili seseorang dengan sangat parah.
"Masalahnya, tadi kamu mendorong mobil dia sampai bergeser menggunakan ajian dari jarak jauh, Del. Jelaslah dia ketakutan. Karena dalam pikirannya Eka yang seharusnya kena serangan makhluk halus itu, Bian, bukan dirinya sendiri," sahut Melina.
"Tapi seru loh, Mel, bisa ngerjain orang dengan cara barusan," ujar Ahmad.
"Jangan ikut-ikutan jahil, Ahmad! Cepat nasehati Dela, biar dia tidak mengulang lagi kejahilannya tadi," titah Melina.
Ahmad pun berusaha berhenti tertawa, lalu segera menoleh ke arah Dela yang masih duduk di sampingnya.
"Jangan jahil lagi, Dek. Itu tidak baik," saran Ahmad.
"Iya, Mas. Insya Allah tidak akan kuulangi lagi," janji Dela.
Zahri mendekat pada Ahmad ketika akhirnya mereka akan pulang dari rumah Bian. Bian saat ini sedang bicara dengan Asril, Rozi, Fajar, dan Amir. Dela dan Melina juga masih berbincang dengan Mira demi menghibur perasaan wanita itu.
"Bagaimana komunikasimu dengan Dela? Apakah ada kecanggungan? Apakah Dela sering menghindar?" tanya Zahri.
"Alhamdulillah tidak ada, Zah. Dela tidak membangun dinding di antara kami yang bisa membuatku merasa nyaman saat bicara dengannya sejak tadi. Semuanya masih sama seperti dulu, Zah. Dela tidak menunjukkan adanya perbedaan antara dulu dan sekarang," jawab Ahmad, apa adanya.
Zahri ikut merasa senang mendengar jawaban Ahmad. Ia tahu persis bahwa Ahmad sejak kemarin sudah merasa pesimis akan bisa kembali berkomunikasi dengan Dela. Jadi ia merasa lega karena Ahmad tidak mendapat penolakan apa pun dari Dela.
"Melina pun begitu. Dia ... sama sekali tidak marah padaku. Padahal seharusnya dia marah, karena dulu aku percaya dengan hasutan busuk Eka yang menjelek-jelekannya hingga aku memutuskan hubungan kami secara sepihak. Entah kenapa hal itu justru tidak terjadi. Seakan dia memahami bahwa putusnya hubungan kami bukanlah salahku," ujar Zahri.
"Apakah mungkin ada hal lain yang mereka pikirkan tentang kesalahan kita berdua? Kita berdua sama-sama dihasut oleh Eka, meskipun kamu adalah yang terparah," pikir Ahmad.
"Haruskah kita tanyakan kemungkinan itu pada mereka?"
"Ya, aku memang berniat begitu. Aku ... harus berani bicara secara terbuka karena ingin kembali berada di sisi Dela. Aku harus membicarakan kesalahanku dulu, sebelum meminta persetujuan agar bisa menikah dengannya," Ahmad mengatakannya dengan sangat jujur.
Iqbal belum pulang meski Aswan sudah lebih dulu kembali ke rumah. Ia ingin mencoba sekali lagi berbicara dengan Dela, setelah tadi ia memakai langkah yang salah untuk mendapat jawaban dari wanita itu. Ketika Dela dan Melina berjalan menuju mobil, Iqbal dengan cepat menghadang langkah mereka. Ahmad melihat hal itu, begitu pula yang lainnya. Ada sedikit keresahan yang Ahmad rasakan ketika melihat Dela didekati oleh laki-laki lain. Bian menepuk-nepuk pundak Ahmad dengan tegas. Seakan ingin menyabarkan Ahmad dengan kemungkinan yang bisa saja terjadi setelah Dela mengenal Iqbal.
"Aku mau minta maaf soal nada bicaraku tadi. Aku terlalu bodoh karena memaksakan kehendak terhadap kamu, padahal kita tidak saling kenal. Aku harap kamu mau memaafkan aku," mohon Iqbal.
"Iya, sudah aku maafkan," tanggap Dela, sopan. "Permisi, ya. Aku mau lewat."
Iqbal kembali merasa terkejut karena Dela hanya merespon begitu singkat soal permohonan maafnya. Wanita itu bahkan tidak menanyakan siapa namanya sama sekali sejak tadi. Bagi Iqbal, Dela seakan merasa mengenal Iqbal adalah sesuatu yang tidak penting. Laki-laki itu berbalik dan hendak melancarkan protes. Namun ia melihat kalau Dela kini tengah tersenyum ke arah lain, sebelum masuk ke mobilnya.
"Aku duluan, ya, Mas. Nanti aku kabari kalau sudah sampai rumah," pamit Dela.
Ahmad balas tersenyum begitu lega seraya mengangguk.
"Hati-hati di jalan, Dek. Jangan terlalu ngebut saat mengemudi," pesan Ahmad.
"Iya, Mas. Insya Allah aku tidak akan ngebut. Assalamu'alaikum."
"Wa'alaikumsalam."
Iqbal menahan kesal sendirian usai melihat semua interaksi manis antara Dela dan Ahmad. Laki-laki itu tersenyum sinis diam-diam seraya menatap ke arah Ahmad yang terlihat biasa saja baginya.
"Apa itu? Dia mengabaikan aku dan menumpahkan semua perhatiannya pada laki-laki lusuh macam Ahmad? Cih! Aku rasa buta matanya perempuan itu!" umpat Iqbal, sangat pelan.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
DENDAM
Horror[COMPLETED] Dela sedikit merasa aneh dengan undangan reuni yang ia terima dari SMP tempatnya belajar di Purwodadi. Pasalnya, ia hanya belajar di SMP tersebut tak sampai dua tahun, karena dulu dirinya terpaksa harus pindah sekolah ketika orangtuanya...