15 | Soal Gista

1.6K 117 8
                                    

- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE PERHARI
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

Melina langsung menatap ke arah paper bag berlogo studio milik Dela yang ada di tangan Mira. Dela sendiri segera pergi untuk menemui Gista dan langkahnya saat itu diperhatikan oleh Ahmad dan Rozi.

"Uhm ... sweater?" tebak Melina.

"Hampir benar," sahut Mira, sambil tersenyum senang.

Bian tertawa saat melihat istrinya sudah bisa kembali ceria seperti biasa. Ia tidak menyangka kalau Mira bisa secepat itu kembali menjadi dirinya yang dulu. Padahal tadi Mira hanya menghabiskan waktu beberapa jam bersama Dela.

"Langsung saja beri tahu pada Melina, apa yang Dela berikan sama kamu dari studionya," saran Bian.

Mira pun segera memperlihatkan sweater couple yang Dela berikan untuknya kepada Bian. Kedua mata Melina melotot seketika, terutama saat wanita itu tahu bahwa Dela memberikannya secara cuma-cuma.

"Ini sweater couple. Dela bilang, aku bisa pakai ini saat nanti pergi liburan sama Mas," ujar Mira.

Senyum di wajah Bian semakin lebar ketika melihat sweater couple tersebut. Warnanya sama-sama gelap dengan corak yang sangat bagus. Ahmad, Rozi, dan Amir langsung tertawa ketika menyadari bahwa Melina cemburu, saat melihat bagusnya sweater couple itu dipakai oleh Bian dan Mira yang sedang mencobanya. Dela kembali tak berapa lama kemudian dan Melina langsung menarik lengan wanita itu agar tidak duduk di dekat Ahmad.

"Kok aku enggak dikasih sweater couple kaya begitu, Del? Kok kamu pilih kasih, sih?" rajuk Melina.

Mira pun tertawa saat mendengar protes tersebut secara langsung. Pasalnya, Dela tadi sudah memperingatkan dirinya bahwa Melina pasti akan protes jika tahu mengenai sweater couple itu.

"Kamu itu sudah sering sekali aku kasih, setiap kali aku mengeluarkan rajutan model baru, Mel. Masa masih kurang, sih? Lagian itu sweater couple, untuk dipakai bersama pasangan. Lah, kamu pasangan pun belum punya, Mel. Mau dipakai sama siapa jika aku berikan yang seperti itu?" heran Dela.

Bibir Melina langsung maju beberapa senti, sementara yang lainnya langsung memberi kode pada Zahri untuk segera maju.

"Sudah, jangan terlalu lama merajuknya. Aku sudah beli Ice Milk Tea dan sudah pamitan sama Gista. Ayo cepat, temani aku belanja benang. Kamu sudah janji padaku tadi pagi," ujar Dela.

"Iya ... iya ... ayo pergi," tanggap Melina, masih merajuk.

Setelah berpamitan pada yang lain, kedua wanita itu pun pergi dari coffee shop tersebut. Mira kini duduk di samping Bian setelah menyimpan kembali sweater yang tadi diperlihatkannya.

"Mereka benar-benar tidak akur, ya. Tapi hebat, karena tetap bisa bersahabat bertahun-tahun meski tidak pernah ada kecocokan," ujar Mira.

"Justru karena tidak cocok itulah yang membuat mereka bisa bersahabat, Ra. Melina suka seratus persen dengan ketidakcocokannya terhadap Dela, sejak Dela menjadi anak baru di kelas kami saat masih kelas satu," jelas Asril.

"Dan karena cuma Dela yang selalu menurut, kalau Melina sudah mulai ceramah atau memberi larangan. Meski tidak duduk satu meja, mereka kompak sekali sejak saling kenal," tambah Zahri.

"Oh, ya? Wah ... tadi aku pikir Dela cuma main-main saat bilang bahwa dirinya jarang akur dengan Melina dan selalu saja memperdebatakan sesuatu. Tapi hal itu ternyata benar dan kalian semua tahu," Mira tampak tidak bisa percaya.

"Termasuk aku pun tahu tentang hal itu, Sayang. Setelah Melina bermasalah dengan Eka saat kelas tiga SMP, Dela sudah tidak bersekolah lagi di sekolah kami. Tapi Melina tetap menghubunginya melalui wartel, karena waktu itu dia belum punya ponsel sendiri. Aku pernah mendengarnya curhat pada Dela di wartel, setelah hampir setahun Dela pindah ke Jakarta. Dari sanalah aku tahu, kalau mereka akan tetap berhubungan meski jarak memisahkan," ujar Bian.

Mira pun mengangguk-anggukkan kepalanya, pertanda bahwa ia memahami betapa dekatnya Melina dan Dela selama ini. Ahmad dan Zahri saling menatap satu sama lain. Mereka terus saja diam karena sejak tadi nama Eka kembali disebut-sebut dan terhubung dengan Melina serta Dela.

"Oh, ya. Insya Allah mulai besok aku akan kembali bekerja, Mas," Mira memberi tahu.

"Kerja? Kamu mendapatkan pekerjaan lagi, Sayang?" tanya Bian.

"Iya, Mas. Dela tadi membawaku ke kantor Laboratorium Forensik milik temannya, setelah mengajak aku ke studio miliknya. Dela bilang, temannya itu sudah lama mencari seorang Dokter yang bisa membantunya di laboratorium ketika ada autopsi yang berlangsung. Tadi aku diperkenalkan, lalu kami bicara berdua tanpa Dela. Setelah itu, aku merasa cocok dengan pekerjaan yang dia tawarkan dan dia pun merasa cocok untuk bekerja bersamaku," jelas Mira.

"Temannya Dela ... pria atau wanita?" tanya Ahmad, ingin tahu.

"Wanita. Sepertinya, kebanyakan teman Dela dan Melina di luar sana adalah wanita. Kalau teman pria, sepertinya hanya kalian yang lumayan dekat dengan mereka," jawab Mira.

"Dan sepertinya kamu benar. Pemilik coffee shop ini pun adalah teman mereka berdua dan dia seorang wanita," Bian setuju dengan hal tersebut.

Gista datang tak lama kemudian dan membawakan makanan serta minuman untuk Mira. Mira terlihat kaget, karena dirinya tadi tidak memesan apa pun. Gista segera memperlihatkan sebuah catatan yang bisa dibaca oleh Mira dan yang lainnya.

DELA TADI MEMESAN MAKANAN DAN MINUMAN INI UNTUK KAMU. DIA BILANG KOPINYA TANPA GULA DAN CAKENYA YANG TIDAK TERLALU MANIS.

"Oh, begitu rupanya. Iya, benar sekali soal pesanannya. Terima kasih banyak, Mbak," ucap Mira.

Bian memperlihatkan bahasa isyarat yang baru sedikit ia ketahui. Meski Gista bisa membaca gerak bibir, tapi menambahkan bahasa isyarat tentu akan lebih mempermudahnya.

"Istriku bilang, terima kasih banyak," ujar Bian, sambil praktek menggunakan bahas isyarat.

Gista pun tersenyum dan membalas bahasa isyarat tersebut. Wanita itu kemudian berpamitan untuk kembali menangani pelanggan yang lain. Semua mata kini tertuju pada Bian setelah tahu kalau wanita barusan ternyata seorang tuna rungu dan tuna wicara.

"Namanya Gista. Melina memperkenalkannya padaku, tadi. Melina dan Dela sepakat memperkenalkan aku pada Gista, karena aku saat ini sedang memiliki trust issue terhadap makanan dan minuman yang dibuat atau diberikan oleh orang lain. Gista adalah orang yang mereka berdua bisa percaya untuk memberikan makanan dan minuman yang aman kepadaku. Dia tidak bisa mendengar dan berbicara. Tapi dia bisa membaca gerak bibir orang lain. Menurut Melina, sebaiknya pelan-pelan aku harus belajar bahasa isyarat. Karena meskipun Gista bisa membaca gerak bibir seseorang, bahasa isyarat tentunya akan membuat dia menjadi lebih terbantu ketika kita memesan makanan atau minuman di sini," tutur Bian, sejelas mungkin.

"Oh, pantas saja tadi dia menatap begitu fokus ketika kami sedang memesan. Dia sedang membaca gerak bibir, rupanya," ujar Rozi.

"Dela juga tampaknya akrab sekali dengan Gista. Tadi saat dia pergi ke sana, mereka tampak tertawa bersama," tambah Ahmad, teringat dengan Dela yang sejak tadi ia perhatikan diam-diam.

* * *

DENDAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang