- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE PERHARI
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.* * *
Melina memasang wajah tak suka usai mendengar Iqbal bicara. Zahri tahu betul kalau Melina tidak suka dengan laki-laki keras kepala seperti Iqbal. Hal itu jelas berdampak pada ekspresi di wajahnya yang tidak bisa disembunyikan. Bian pun segera mendekat pada Iqbal untuk memberinya pengertian.
"Mas Iqbal, mohon tenang dulu. Temanku memang selalu berhati-hati terhadap orang yang belum dikenal. Bahkan dia akan memberikan jarak jika menurutnya orang baru itu membuatnya merasa tidak nyaman. Kalau Mas Iqbal terus memaksa seperti ini, maka dia akan semakin menjauhi Mas Iqbal dan melarang kami semua untuk memberi tahu apa pun kepada Mas Iqbal," jelas Bian.
"Bahkan jika tidak dilarang pun, akulah yang tidak mau membocorkan apa-apa kepadanya," sela Melani.
Tatap semua orang kini terarah pada wanita itu.
"Aku paling tidak suka membagi informasi pada orang yang sok keras seperti dia. Dan aku yakin, Dela pasti setuju untuk bungkam jika dia sedang ada di sekitar kita semua," tambahnya.
"Heh! Apa masalahmu sebenarnya padaku, hah? Kenapa sejak awal tadi kamu seperti tidak suka sekali dengan keberadaanku?" Iqbal kembali marah-marah.
"Karena sejak tadi tidak ada yang marah-marah di antara kita, selain anda," jawab Fajar, mewakili yang lainnya.
Iqbal pun seketika terdiam, usai pertanyaannya dijawab oleh sesama pria di dalam rumah itu. Aswan tidak bisa membelanya, karena yang Fajar katakan barusan adalah hal yang benar. Sejak tadi hanya Iqbal yang selalu marah-marah setiap kali bicara, dan itu jelas membuat orang lain merasa tidak nyaman.
"Ha-ha! Mati kutu, dia," sindir Melina, sambil mendekat ke arah Mira untuk menghiburnya.
Sebisa mungkin, Zahri berusaha menahan tawa. Sikap dan sifat Melina sama sekali tidak pernah berubah meski mereka sudah lama tidak bertemu. Hal itulah yang membuat Zahri tidak merasa ragu untuk kembali membuka komunikasi dengan Melina. Di luar, Dela akhirnya menunjukkan pada Ahmad mengenai tempat yang harus digali. Ahmad langsung bersiap untuk menggali menggunakan sekop yang sudah dipegangnya, namun Dela segera menahan pria itu selama beberapa saat.
"Kenapa, Dek? Tidak jadi?" tanya Ahmad.
"Sabar dulu, Mas. Tolong buka telapak tangan Mas lebih dulu," jawab Dela.
Ahmad pun membuka telapak tangannya dan membiarkan Dela mengalirkan energinya yang disertai ajian untuk memberikan perlindungan. Bian benar, energi yang Dela miliki sangatlah besar dan kuat ketika dirasakan dalam jarak yang begitu dekat. Ahmad kini merasakannya sendiri secara langsung. Membuat perhatiannya benar-benar hanya tertuju pada wanita itu.
"Oke. Sudah selesai," ujar Dela.
Ahmad pun tersadar dari apa yang sedang dipikirkannya, ketika mendengar suara Dela. Keadaan jadi terasa canggung, namun Dela tidak membiarkan hal itu terjadi berlarut-larut.
"Galinya jangan terlalu dalam, Mas. Yang aku cari tidak terletak begitu dalam," pinta Dela.
"Ya, akan aku gali pelan-pelan dan dangkal. Kamu arahkan saja, ya," balas Ahmad.
Ahmad mulai menggali pada tempat yang sudah ditunjuk oleh Dela. Dela sendiri saat ini sedang menyiapkan sapu tangannya yang lain, karena tahu bahwa dirinya akan menyimpan benda lain yang tertanam di halaman rumah tersebut.
"Berhenti, Mas," ujar Dela.
Ahmad pun segera berhenti menggali dan membiarkan Dela mendekat pada lubang di tanah. Wanita itu mengambil sebuah benda seperti batu yang terlihat begitu gelap, lalu membungkusnya dengan sapu tangan dengan cepat agar tetap aman.
"Benda apa itu, Dek?" tanya Ahmad, yang tidak bisa menyembunyikan rasa penasarannya.
"Ini adalah temannya benda yang tadi dimuntahkan oleh Bian, Mas. Yang Bian muntahkan adalah mustika air, sementara yang ini namanya mustika getih. Dukun yang menggunakan benda-benda ini jelas diperintahkan oleh seseorang, untuk tidak memberikan celah pada hidup Bian. Hidup Bian akan benar-benar hancur, seandainya dia tidak segera mencari pertolongan," jelas Dela.
"Dan apakah sekarang hidup Bian akan kembali baik-baik saja, Dek?"
"Perlahan, Mas. Aku masih harus menemukan Eka dan juga dukun yang membantunya menyerang Bian selama ini. Eka memegang satu benda lagi yang bentuknya juga berbeda dari kedua benda di tanganku ini. Benda itu harus dipegang oleh Eka, karena Eka memiliki tujuan ingin mengendalikan hidupnya Bian. Dengan mendapatkan benda yang Eka pegang, maka artinya aku mendapatkan tiket untuk menghentikan dukun yang selama ini membantu Eka."
"Wah ... itu jelas bukan hal yang mudah. Mencoba mencari Eka sama saja dengan mencari hantu. Keberadaannya tidak jelas di mana, Dek. Sulit untuk menemukannya, karena kami semua pernah mencoba untuk mencarinya setelah mendengar yang terjadi pada Bian," jelas Ahmad.
"Tenang saja, Mas. Aku punya sahabat baik di dalam sana, yang rela menelusuri setiap jalanan di muka bumi ini demi membantuku menemukan Eka. Bahkan dia rela keliling dunia kalau merasa diperlukan, yang penting jangan disuruh jalan kaki saat mencari."
Ahmad pun akhirnya tertawa pelan usai mendengar yang Dela katakan soal Melina. Dela merasa senang karena bisa melihat tawa Ahmad setelah belasan tahun berlalu. Dela dan Ahmad baru saja akan kembali ke rumah Bian, ketika Dela merasakan sesuatu yang tidak wajar mendekat ke arah rumah tersebut. Dengan sigap ia menahan langkah Ahmad dan membawanya bersembunyi di balik pohon mangga. Zahri dan yang lainnya melihat hal tersebut, lalu segera memberi tahu Melina yang sedang mengobrol dengan Mira. Melina dan Mira segera bangkit dari sofa lalu mendekat ke jendela.
"Kenapa Dela mengajak Ahmad bersembunyi, Mel? Apakah menurutmu ada sesuatu yang akan terjadi?" tanya Zahri.
Iqbal akhirnya tahu siapa nama wanita yang memiliki kemampuan itu. Laki-laki itu diam-diam mencoba menguping pembicaraan sejak tadi, meski pembicaraan yang terjadi di dalam rumah itu sama sekali tidak berhubungan dengan hal yang tadi terjadi di luar.
"Entahlah, Mas. Dela itu kadang tidak tertebak. Bahkan ada kalanya aku terkadang tidak bisa membaca gerak-geriknya. Tapi dari yang aku lihat, kemungkinan ada yang akan datang ke sini. Entah itu makhluk halus ataupun manusia. Dela selalu bisa merasakan sesuatu yang menurutnya sangat ganjil, sehingga refleks mengajak Ahmad bersembunyi di balik pohon mangga itu," jawab Melina.
Dela meletakkan telunjuknya di bibir, sebagai tanda agar Ahmad tetap diam. Tidak lama kemudian, mobil milik Eka akhirnya muncul di luar pagar rumah Bian. Perempuan itu pun turun dan terlihat mencoba mengawasi keadaan rumah tersebut. Semua orang yang ada di dalam rumah terkejut setengah mati ketika melihat kedatangan Eka. Hanya Melina yang tersenyum lebar dan kemudian bersorak senang.
"Yeay!!! Akhirnya perempuan biadab itu terpancing juga!!! Bagus, Del!!! Kerjamu sangat bagus, bestie!!!" seru Melina, berapi-api.
Semua orang ternganga di tempat masing-masing. Hanya Zahri yang tertawa pelan ketika melihat kelakuan Melina. Mira dan Bian sendiri jadi merasa bingung. Entah mereka harus tetap merasa waspada atau ikut merasa senang seperti yang Melina rasakan.
* * *
KAMU SEDANG MEMBACA
DENDAM
Horror[COMPLETED] Dela sedikit merasa aneh dengan undangan reuni yang ia terima dari SMP tempatnya belajar di Purwodadi. Pasalnya, ia hanya belajar di SMP tersebut tak sampai dua tahun, karena dulu dirinya terpaksa harus pindah sekolah ketika orangtuanya...