12 | Tertangkis

1.6K 126 6
                                    

- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE PERHARI
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

Mobil milik Eka kembali berhenti di depan rumah Mbah Naryo. Perempuan itu turun dengan terburu-buru, karena ingin mengadu tentang apa yang tadi dialaminya ketika berada di depan rumah Bian. Mbah Naryo melihat kedatangannya dan membiarkan Eka langsung mendekat.

"Mbah! Aku diganggu oleh makhluk halus ketika mendatangi rumah Bian!" adu Eka, dengan nada penuh rasa takut.

"Hah? Apa katamu? Kamu diganggu oleh makhluk halus? Bagaimana bisa begitu? Seharusnya jika ada makhluk halus di sekitaran rumah laki-laki itu, maka makhluk halus itu hanya akan menyerang laki-laki itu saja. Bukan malah menyerang kamu," heran Mbah Naryo.

"Tapi itulah yang terjadi, Mbah. Ada makhluk halus yang menggangguku saat aku datang ke rumah Bian. Makhluk halus itu menggeser mobilku hingga berpindah beberapa meter dari posisi awalnya. Seakan makhluk halus itu ingin aku segera pergi dari sana," jelas Eka.

"Itu tidak masuk akal! Jangan aneh-aneh!" sanggah Mbah Naryo. "Aku tahu kalau sejak pagi seranganku terhadap laki-laki itu selalu berhasil digagalkan. Tapi tidak mungkin kegagalanku itu sampai berimbas padamu, sehingga akhirnya kamu diganggu oleh makhluk halus. Kamu mungkin salah lihat atau tidak sedang berkonsentrasi seperti biasanya, makanya kamu pikir mobilmu digeser oleh makhluk halus."

"Lalu siapa yang mau percaya padaku, kalau Mbah Naryo justru tidak percaya padaku? Sekarang jawab, apakah Bian sudah kembali bisa diserang seperti bisanya?" tanya Eka, sambil menatap sengit ke arah Mbah Naryo.

"Pertapaanku sudah selesai. Mari kita sama-sama lihat apakah serangan selanjutnya akan berhasil kembali menyakiti laki-laki itu," jawab Mbah Naryo.

Mbah Naryo kembali membaca mantra sambil menburkan dupa merah ke dalam wadah tanah liat yang membara. Eka menatap wadah itu dengan penuh harapan. Ia ingin Bian kembali merasakan penderitaan seperti yang sudah terjadi sebelum-sebelumnya. Mbah Naryo melepaskan makhluk-makhluk halus yang diperintahnya saat itu, lalu mereka sama-sama menunggu hasilnya.

BOOMMMM!!!

Belum berapa lama berlalu, wadah tanah liat yang tadi ditaburi dengan dupa merah oleh Mbah Naryo mendadak meledak hingga arang yang membara di dalamnya berhamburan dan mengenai kulit mereka.

"Arrrggghhh!!! Panas!!! Panas!!!" jerit Eka, lantang.

Perempuan itu mengibas-ngibaskan arang membara dari tubuhnya, sambil berlari menuju tempat mandi yang dipenuhi bunga tujuh rupa. Dia menceburkan diri ke sana, karena tidak tahan dengan rasa sakit pada kulitnya yang melepuh. Setelah dirasa cukup dingin, Eka pun menatap tangan dan meraba wajahnya. Bekas lepuhan arang yang membara tadi membuatnya terlihat menjadi lebih buruk daripada sebelumnya. Hal itu membuatnya geram setengah mati, lalu menatap tajam ke arah Mbah Naryo.

"Aku akan mengadukan tidak becusnya dirimu pada Eyang Rogo Geni!" ancamnya.

Bian kembali mendekap Mira erat-erat ketika mendengar suara tadi. Suara nada sambung terdengar jelas ketika Bian berusaha menghubungi Dela. Rasa gelisah kembali menghantui keduanya. Namun sebisa mungkin mereka bertahan sambil terus memanjatkan doa agar diberi perlindungan oleh Allah.

"Halo, assalamu'alaikum, Bi," sapa Dela, ketika akhirnya mengangkat telepon tersebut.

Mira bisa mendengar suara Dela dengan jelas, karena Bian sengaja menekan tombol loudspeaker pada ponselnya. Mendengar suara wanita itu lagi membuat perasaan Mira dan Bian kembali merasa tenang.

"Wa'alaikumsalam, Del. Maaf kalau telepon dariku ini mengganggu aktivitas kamu. Aku mau memberi tahu, bahwa barusan ada suara benda yang jatuh di atas atap rumah kami. Suaranya sangat keras dan membuat kami kaget," jelas Bian, to the point.

"Kamu sama sekali enggak mengganggu, kok. Santai saja, Bi. Terus sekarang, apakah suara benda jatuh yang tadi kamu dengar itu masih terdengar lagi?" tanya Dela.

"Tidak, Del. Hanya satu kali kami mendengarnya. Setelah itu kembali sunyi seperti tadi," jawab Bian.

"Ya sudah, itu berarti tandanya kalian aman. Aku sudah membangun penghalang agar kalian berdua tetap tenang saat berada di dalam rumah, ketika tadi akan pulang dari sana. Kalau pun ada serangan yang akan datang, maka Insya Allah serangan itu akan tertangkis dengan sendirinya dan kembali pada si pengirim serangan. Kalian berdua jangan lupa shalat dan perbanyak baca Al-Qur'an serta berdzikir. Jangan biarkan hati kalian kosong, agar benteng yang ada dalam diri kalian juga bertambah kuat," ujar Dela.

Bian pun mendekap Mira dengan perasaan lega setelah mendapat jawaban dari Dela. Mira bisa merasakan bahwa Bian merasa jauh lebih baik sekarang, setelah mendapat bantuan yang tepat.

"Iya, Del. Kami akan terus beribadah seperti yang kamu sarankan. Terima kasih atas bantuannya dan juga terima kasih karena kamu mau menjawab telepon dariku," ucap Bian.

"Sama-sama, Bi. Jangan merasa sungkan begitu. Telepon saja jika memang ada sesuatu yang tidak bisa kamu tangani. Aku dan Melina akan langsung datang jika memang keadaannya genting."

"Ya, aku akan menelepon jika keadaan di sini sangat genting. Sekali lagi terima kasih, Del. Assalamu'alaikum," pamit Bian.

"Wa'alaikumsalam."

Setelah sambungan telepon itu terputus, Bian pun kembali menatap wajah Mira dan mengusap kedua pipinya dengan lembut.

"Ayo, Sayang. Sebaiknya kita shalat maghrib dulu sebelum makan malam," ajak Bian.

"Iya, Mas. Ayo kita shalat," Mira menyetujui.

Dela membuka mukena yang dipakainya setelah menyimpan ponsel ke atas meja makan. Melina masih menatapnya sambil melipat mukena dan sajadah.

"Terjadi sesuatu di rumah Bian?" tebak Melina.

"Ya. Eka tampaknya kembali menyuruh dukun yang membantunya untuk kembali menyerang Bian. Untung saja aku sudah melindungi rumah itu dengan ajian peneduh. Jadi apa pun yang akan menyerang ke rumah tersebut, baik itu hal yang akan menyakiti ataupun yang akan membuat panas penghuni rumah akan langsung tertangkis dalam sekejap," jawab Dela.

Melina kini duduk di meja makan bersama Dela setelah selesai membereskan alat shalat. Dela membiarkan Melina mengambil lauk lebih dulu, sambil tetap memikirkan strategi untuk menemukan jalan keluar. Melina tahu akan hal itu sehingga memilih untuk tidak mengganggu.

"Kapan-kapan kalau Eka muncul lagi, akan kupastikan tanganku ini langsung menjambak rambutnya kuat-kuat. Aku geregetan sama perempuan gila itu. Dia benar-benar tidak tahu malu dan tidak tahu diri," ujar Melina.

"Hm ... jambaklah. Aku tidak akan menghalangi kamu. Jujur saja, saat ini aku juga berkeinginan begitu. Tapi ada syaratnya. Kamu boleh menjambak Eka jika urusanku dengannya sudah selesai. Kita harus menahan diri sampai mendapatkan benda ketiga yang masih dipegang oleh Eka. Benda itu tidak boleh kembali diambil oleh dukun yang dia perintah. Kalau sampai kembali diambil, maka dua benda yang ada padaku akan menghilang dengan sendirinya. Dan itu artinya, hidup Bian tidak akan bisa kembali tenang seperti sedikala."

"Maka dari itu Eka tidak boleh tahu kalau kita saat ini sedang mengincarnya. Benar begitu, Del?"

* * *

DENDAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang