24 | Berkunjung

1.4K 108 12
                                    

- UPDATE SETIAP HARI
- DUA EPISODE PERHARI
- JANGAN LUPA BERIKAN VOTE, KOMENTAR, DAN FOLLOW AKUN WATTPADKU.

* * *

Mira baru selesai menyajikan makanan malam itu, ketika menyadari kalau Bian sejak tadi terus saja diam. Pria itu terlihat seperti sedang memikirkan sesuatu yang sulit untuk dijelaskan kepada Mira. Mira pun memutuskan mendekat padanya dan duduk tepat di sampingnya sambil menyandarkan kepala di bahu Bian.

"Ada apa, Mas? Apakah sesuatu yang buruk kembali terjadi, hari ini?" tanya Mira, menduga-duga.

Bian pun menoleh dan segera membawa Mira ke dalam pelukannya. Dada bidang Bian kini menjadi tempat bersandar Mira, membuat debar jantung pria itu terdengar jelas di telinganya.

"Alhamdulillah tidak ada hal buruk yang terjadi hari ini, Sayang. Aku hanya sedang memikirkan Dela sejak tadi," jawab Bian, jujur.

Mira langsung melepaskan dekapan Bian pada tubuhnya, agar bisa menatap wajah Bian lebih jelas.

"Dela? Ada apa dengan Dela, Mas? Apakah terjadi sesuatu padanya?" tanya Mira, terdengar sangat khawatir.

Bian menatap Mira jauh lebih lama dan tidak segera menjawab pertanyaan yang diajukan kepadanya.

"Kenapa kamu terdengar sangat khawatir pada Dela? Biasanya kamu akan marah dan cemburu jika tahu bahwa aku sedang memikirkan wanita lain," heran Bian.

"Mas ... andai wanita yang kamu bicarakan bukan Dela, maka aku akan mengamuk sejak tadi. Tapi yang kamu bahas saat ini adalah Dela, Mas. Wanita yang cintanya benar-benar hanya tertuju untuk satu orang, yaitu salah satu teman baik kamu yang tak lain adalah Mas Ahmad. Mana mungkin aku marah saat kamu memikirkannya, sementara aku tahu kamu memikirkannya karena merasa khawatir kalau dia akan bertindak terlalu jauh demi kita berdua. Mana bisa juga aku cemburu sama Dela, sementara aku tahu kalau dia adalah orang yang sudah membantu Suamiku agar terlepas dari kegilaan perempuan yang ingin menghancurkan hidup kita. Mana mungkin begitu, Mas," jelas Mira.

Bian pun kemudian tersenyum. Ia membelai lembut rambut istrinya demi kembali memberinya rasa tenang.

"Ya, kamu benar. Aku memikirkan Dela karena merasa sangat khawatir padanya," ujar Bian. "Tadi siang, setelah dia mengantar Melina kembali ke kantor sesudah belanja benang, dia langsung pergi menemui Ahmad dan meminta ditemani untuk mencari keberadaan Eka."

Mira pun mendengarkan dengan seksama tanpa berniat ingin menyela. Perasaannya mulai terasa bercampur aduk, ketika tahu bahwa Dela telah mengambil langkah sejauh itu untuk menghentikan kegilaan Eka.

"Ahmad setuju untuk menemaninya. Mereka berdua akhirnya pergi ke rumah lama milik Almarhum kedua orangtua Eka yang sudah lama Ahmad ketahui. Saat mereka tiba di sana, rumah itu tampak tidak terawat karena sudah lama tidak dihuni. Dela kemudian mengajak Ahmad untuk mencari Ketua RT di komplek perumahan tersebut, lalu mereka mendapat informasi yang cukup mengejutkan bagiku. Singkat cerita, akhirnya Dela dan Ahmad kembali ke rumah terbengkalai itu setelah bertemu Ketua RT. Dela kemudian memakai salah satu ajian yang dia miliki untuk mengundang Eka agar muncul di sana. Dela dan Ahmad menunggu, lalu Eka ternyata benar-benar muncul di sana karena tidak tahan dengan bisikan yang terdengar di telinganya. Setelah itu ... ada insiden soal munculnya malhluk halus di halaman rumah itu yang sulit untuk aku jelaskan, karena insiden itu hanya bisa dilihat oleh Dela. Tapi aku meyakini bahwa insiden itu memang benar-benar terjadi. Karena pada saat aku melihat ponsel milik Melina yang tersambung melalui video call, aku bisa melihat kalau salah satu kaki Eka terangkat dan membuatnya jatuh, lalu perempuan itu mulai terseret menuju ke dalam rumah terbengkalai itu."

"Dan? Apakah Dela turun dari mobil serta membahayakan dirinya untuk membantu Eka?" Mira semakin khawatir.

"Tidak. Eka bisa lolos dari makhluk halus yang berdiam di rumah itu karena mendapat bantuan dari makhluk halus lainnya. Aku kurang bisa menjelaskan padamu secara detail, Sayang. Intinya, Eka kemudian lolos lalu kabur dari sana dengan cepat. Ahmad dan Dela segera mengejarnya, hingga akhirnya mereka benar-benar menemukan di mana rumah yang menjadi tempat persembunyian Eka." jawab Bian.

Mira pun terlihat sangat lega usai mendengar keseluruhan cerita yang Bian utarakan. Wanita itu secara terang-terangan mengusap dadanya beberapa kali, sambil mengatur nafasnya agar kembali tenang. Bian kembali membawanya ke dalam pelukan, agar Mira tidak merasa stress seperti sebelum-sebelumnya.

"Kamu benar-benar khawatir pada Dela, hm? Bukankah itu sangat aneh?" pikir Bian.

"Ya, aku pun berpikir begitu. Rasanya sangat aneh karena aku benar-benar khawatir padanya. Seakan dia adalah seseorang yang begitu dekat denganku dan sudah lama aku kenal. Entah kenapa bisa begitu, Mas, aku sendiri pun tidak paham," ungkap Mira.

"Mungkin itu karena Dela tidak menatap kita berdua seperti yang pernah dilakukan oleh orang-orang yang dulu kita anggap sangat dekat. Dela menatap kita berdua seperti keluarganya sendiri, ketika tahu bahwa tidak ada yang mendukung kita ketika terjebak masalah besar serta tidak masuk akal. Dela ... memperlakukan kita dengan sangat layak, sehingga kita tidak merasa canggung ketika bersamanya. Maka dari itulah kita sama-sama mengkhawatirkan dirinya, ketika harus berurusan dengan Eka."

"Ya. Kamu mungkin benar, Mas. Mungkin memang seperti itulah alasan paling tepat yang bisa kita pikirkan soal kekhawatiran yang kita rasakan terhadap Dela."

Tok-tok-tok!

"Assalamu'alaikum!!!"

Bian dan Mira dengan kompak menatap ke arah pintu, setelah mendengar suara ketukan serta ucapan salam yang begitu kompak. Keduanya bergegas bangkit dari sofa, lalu membuka pintu tanpa berlama-lama.

"Wa'alaikumsalam," jawab Mira dan Bian.

Rozi berdiri paling depan seraya tersenyum lebar ke arah Mira dan Bian. Sementara di belakangnya tampak mengekor beberapa orang yang salah satunya adalah Dela. Rozi langsung menyerahkan sekantong penuh berisi belanjaan ke tangan Bian, lalu masuk begitu saja seperti di rumah sendiri. Zahri dan Ahmad juga melakukan hal yang sama, sementara Mira tidak diberi beban apa pun dan langsung dirangkul oleh Gista dan Melina. Dela hanya bisa menatap kasihan saat melihat penderitaan yang tengah Bian alami.

"Sabar, ya, Bi. Kita semua datang ke sini dengan niat membuat kamu susah. Jadi ... terima saja," saran Dela.

"Kamu enggak ada niatan mau bantu aku membawa salah satu kantong dari ketiga kantong penuh belanjaan ini, Del?" tanya Bian, setengah berharap.

"Enggak," jawab Dela. "Aku ikut datang ke sini untuk melakukan penelitian terhadap perilaku manusia dengan metode focus group discussion bersama Mira, Melina, dan Gista. Bye, Bian! Good luck!"

Bian akhirnya hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala usai mendengar jawaban yang Dela berikan. Pria itu kemudian menutup pintu rumahnya, lalu bergegas mengekori langkah semua orang. Di luar--tanpa Bian tahu--Iqbal telah mengawasi sejak tadi dan sedang menyusun strategi agar bisa datang ke sana tanpa mendapat penolakan.

"Ini adalah saatnya. Dela kembali berkunjung ke rumah Bian, jadi aku harus mulai melakukan pendekatan padanya," gumam Iqbal, benar-benar penasaran terhadap Dela.

* * *

DENDAMTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang