20 . Secuil Harapan

121 3 0
                                    

⫍ ─━━━━╼͜━͜┉ི͜━ི┅━ྀ͜┉ྀ͜━͜╾━━━━─ ⫎

"Hatimu terluka karena dirimu yang terlalu mengharapkan dirinya, tapi anehnya, kau malah menyalahkannya atas rasa sakitmu? Bodoh, padahal kau sakit karena harapanmu sendiri."

- Monica Kathleen

⫍ ─━━━━╼͜━͜┉ི͜━ི┅━ྀ͜┉ྀ͜━͜╾━━━━─ ⫎

💐💐💐

Sosok laki-laki berjalan melewati koridor kelas 12 untuk pergi menuju kelasnya. Dengan wajah yang datar serta kedua tangan yang dimasukkan kedalam kantung hoodienya, laki-laki itu seolah tak mempedulikan sekitarnya yang kini tengah menatapnya dengan tatapan memuja.

"ALARIC," panggil seorang gadis dengan kencang.

Alaric terus berjalan tanpa mempedulikan suara perempuan yang selalu saja mengganggu hari-harinya. Tapi siapa disangka, perempuan itu kini sudah berada disampingnya dengan seulas senyuman yang membuat Alaric muak melihatnya.

"Selamat pagi," sapa Sonya.

Tidak ada jawaban.

"Pagi, Alaric."

Masih tetap sama, Alaric tak merespon ucapan dari Sonya.

"Gua lagi ngomong sama lo, Al. Bisa jangan pura-pura tuli?"

Alaric menghembuskan napas lelah. Ia hanya berdehem singkat menanggapi ucapan Sonya.

"Nah, gitu dong!"

Berada disamping Alaric mampu membuat rona merah muncul dikedua pipi Sonya. Bahkan, degub jantungnya kini memompa dengan kencang. Karena tak ingin terlalu canggung, akhirnya Sonya kembali memulai topik obrolan.

"Alaric, pulang sekolah gua boleh ya mampir ke rumah lo?" tanya Sonya mendongakkan kepalanya menatap wajah Alaric yang kebetulan lebih tinggi dari dirinya.

Alaric tidak memberikan respon apapun. Ia tetap diam dan terus melangkahkan kakinya. Bahkan, Alaric tidak menunjukkan ekspresi apapun diwajahnya.

"Tuan Alaric Railos Effemy. Saya sedang berbicara dengan anda, jadi bisa anda menatap wajah saya?" pinta Sonya dengan nada formal.

Mendengar perkataan Sonya membuat Alaric menghentikan langkahnya. Matanya menatap tajam kearah Sonya menandakan bahwa ia tidak menyukai jika ada yang memanggil dirinya dengan memakai nama panjangnya.

Sonya yang sadar akan perubahan raut wajah Alaric pun lantas langsung berkata, "Maaf, Al. G-gua tadi asal bicara aja, hehe."

"Bisa jangan ganggu gua?" tanya Alaric dengan wajah datar.

"Lo merasa keganggu ya dengan kehadiran gua? Maaf, Al. Tapi, kali gua serius."

"Gua mau ke rumah lo, Al. Boleh ya? Gua mau belajar bareng sama lo supaya bisa pintar kayak lo, dan sekaligus mau ketemu sama Monica. Udah lama kayaknya gua enggak ketemu sama itu anak," ucap Sonya tersenyum manis.

"Rumah? Gua enggak punya rumah," datar Alaric.

Sonya yang mendengar jawaban Alaric dibuat kebingungan. "Hah?"

"Katanya, rumah itu penguat ketika rasa lelah melekat. Namun, sekarang yang seharusnya menjadi tempat istirahat justru malah menjadi sumbernya penat." Alaric tersenyum miris.

"Apa itu pantas disebut sebagai rumah?"

Sonya dapat melihat sorot mata penuh luka didalam bola mata Alaric.

Monica [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang