32 . Mulai Luluh

102 4 0
                                    

⫍ ─━━━━╼͜━͜┉ི͜━ི┅━ྀ͜┉ྀ͜━͜╾━━━━─ ⫎

"Ketahuilah, sesuatu yang kita harapkan belum tentu akan kita dapatkan. Karena hidup itu tentang menerima dan melepaskan."

- Monica Kathleen

⫍ ─━━━━╼͜━͜┉ི͜━ི┅━ྀ͜┉ྀ͜━͜╾━━━━─ ⫎

💐💐💐

Dengan seragam sekolahnya serta almameter kebanggaan Sma BTI, Monica memejamkan kedua matanya sejenak menikmati sepoian angin yang menerpa wajahnya.

Ketika ada masalah, yang dilakukan Monica untuk mencari ketenangan adalah berdiri di balkon dengan memandang langit. Itulah yang saat ini sedang ia lakukan.

Walaupun bel masuk sudah berbunyi 5 menit yang lalu, namun tetap tidak membuat Monica ingin kembali ke kelasnya. Kebetulan, ia sudah mengirimkan sebuah pesan kepada Ishabel selaku sekertarist di kelasnya untuk bilang ke guru-guru yang mengajar nanti bahwa ia izin untuk pergi ke UKS dikarena badannya yang belum sepenuhnya pulih, alias kurang enak badan.

Monica menghembuskan napasnya perlahan. Meskipun dari atas balkon sini matahari masih mampu menyengat kulitnya, hal itu tetap tidak membuat Monica ingin pergi dari sana. Justru, Monica semakin betah berlama-lama di sana.

Kebetulan, cuaca saat ini tidak terlalu panas karena semilir angin masih bisa menerpa wajahnya sehingga ia masih bisa merasakan kesejukan.

"Masuk," ucap seseorang lalu berdiri disamping Monica.

Monica menoleh melihat laki-laki berwajah datar berdiri disampingnya. Seulas senyuman muncul diwajahnya.

"Abang juga ngapain disini? Bukannya abang harusnya belajar di kelas?" tanya Monica bingung.

"Lo juga."

"Kalau aku mah wajar. Kalau abangkan biasanya enggak mau ninggalin pelajaran apapun hanya demi bolos. Untuk apa?" Monica kembali bertanya.

Alaric memutar bola matanya malas. "Cerewet."

Monica terkekeh mendengar jawaban Alaric. Entah mengapa, hatinya begitu merasa senang. Apakah karena ia sudah bisa berinteraksi pada Alaric dengan baik? Oh, mungkin saya benar. Selama ini, mereka jarang sekali mengobrol ataupun saling menyapa.

Biasanya, Monica selalu melihat wajah datar dan kebencian dari Alaric. Namun, sekarang kedua hal itu sudah jarang ia lihat. Walaupun, wajah datarnya masih sering ia perlihatkan.

"Bang, aku mau tanya. Boleh?"

"Hm."

"Kenapa abang mukulin Zevan?"

"Enggak boleh?" tanya Alaric dingin.

"Bukan gitu maksud aku. Tapi alasan abang pukulin dia apa?"

"Nyari pelampiasan."

"Untuk?"

"Kepo."

Monica memutar bola matanya malas. Ternyata, membuat Alaric agar terbuka dengannya begitu sulit.

"Aku mau cerita deh," ucap Monica.

"Waktu itu, aku pernah sempat ketemu sama Mama. Tapi anehnya, Mama malah lari. Kenapa ya?"

"Salah liat."

Sontak saja Monica menatap ke arah Alaric. "Enggak! Aku yakin banget kalau itu Mama."

"Lo halu. Mama enggak ada di Indonesia," ucap Alaric.

Monica [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang