Chapter 41

253 26 40
                                    

Sherina M. Darmawan akan selalu menjadi anak kesayangan Ibu dan Ayah, tidak peduli dia sudah sebesar apa, sudah semandiri apa, dan sudah semapan apa sekarang, kasih sayang Ibu dan Ayah akan terus mengalir untuknya selama jiwa masih ada dalam raga.

Hidup di ibukota yang keras ini membuatnya selalu harus menguatkan diri setiap harinya, anak perempuan satu-satunya yang harus rela tinggal berjauhan dari keluarga demi karir yang memang sejak dulu sudah ia idam-idamkan. Walaupun terkadang ia rindu dengan orangtuanya di Bandung, ia tetap tidak bisa berbuat apa-apa selain langsung menemui mereka bahkan menelepon pun bukan hal yang mampu menjadi solusi, ia paham betul bahwa sejatinya rindu memang hanya bisa dibayar dengan pulang. Ia ingin di setiap momen pentingnya ia selalu ada bersama dengan orangtuanya.

Tapi, semua tidak harus berjalan sesuai dengan keinginan kan? Adakalanya ia menabung rindu sedikit lebih lama lagi karna ada liputan mendadak, dan ia juga paham betul bahwa itu sudah menjadi risiko pekerjaannya sebagai seorang jurnalis. Jadi, di waktu-waktu seperti itu ia hanya bisa mengikis sedikit rasa rindunya dengan menelepon sang Ibu, entah bagaimana caranya suara Ibu selalu punya magis tersendiri yang mampu menenangkan hati anaknya yang sedang gundah gulana akibat rasa rindu yang membuncah. Walaupun tidak selepas ketika bertemu langsung, namun, dengan mendengar suara Ibu dari sambungan telepon saja sudah menghilangkan setengah dari rasa rindu tadi.

"Halo, Ibuuuu..." Sapa Sherina via telepon pagi ini, nadanya terdengar ceria walaupun ini kali pertamanya bangun sepagi ini setelah berapa lama ia selalu kebablasan tidur hingga siang hari ketika akhir pekan.

"Halo, Sher. Tumben ini weekend pagi-pagi udah nelpon. Ada apa?" See? Sang Ibu pun keheranan. Gadis itu terkekeh kecil.

"Hehe aku sengaja nyetel alarm pagi ini buat ingetin Ibu kalo liputan aku di OUKAL bakal tayang siang ini. Aku excited banget, Bu!" Sherina berkata dengan girangnya yang mampu menular kepada sang Ibu di seberang telepon. 

Terdengar sang Ibu terkekeh pelan, "Ibu ga bakal lupa, Sher. Bahkan Ayah udah nyetel pengingat ini di ponselnya biar ga kelewat sedetikpun." Ujar sang Ibu yang mampu membuat senyuman Sherina mengembang sempurna.

"Oh iya, Bu, Ayah mana?" Tanya Sherina karna tak mendengar celetukan Ayah yang selalu saja merecoki obrolannya dengan sang Ibu.

"Ayah lagi ke perkebunan bentar, sekalian olahraga katanya. Mungkin sebentar lagi juga pulang. Kamu ada yang mau dibilang ke Ayah, Sher? Biar Ibu bantu sampaikan nanti kalo Ayahnya sudah pulang." Balas sang Ibu yang membuat Sherina ber-oh-ria diikuti dengan anggukan yang sudah jelas tidak dapat dilihat oleh lawan bicaranya diseberang sana.

"Nggak kok, Bu, tadi aku ngerasa aneh aja biasanya Ayah suka ngerecokin kita kalo lagi ngobrol gini, tapi, tumben ini nggak. Eh iya, Bu, tolong bilangin ke Ayah ya, jangan sampai skip sedetikpun liputannya, soalnya nanti bakal ada Sadam juga, Ayah dan Ibu pasti seneng kalau liat dia sekarang gimana." Jelas Sherina yang diiyakan oleh Ibu. 

"Kamu ini tetep aja nyariin Ayah kan, walaupun ga akur sama Ayahnya." Tukas sang Ibu yang dibalas dengan cengiran oleh Sherina.

"Hehe Ibu ih, kan kalau sehari ga recok sama Ayah kayak ada yang kurang tau, Bu." Balas Sherina dengan cengiran kudanya.

Ibu menggeleng pelan, ia tau dari kecil Sherina selalu saja tidak pernah akur dengan Ayahnya, selalu berdebat untuk hal-hal yang sebenarnya tidak perlu didebatkan, tapi, ia yakin Sherina sangat menyayangi Ayahnya, begitupun sebaliknya, hanya saja gengsi mengutarakannya.

"Yasudah nanti Ibu sampaikan. Ibu mau lanjut beres-beres rumah dulu ya, kamu juga lanjutin kegiatan kamu." Pamit sang Ibu yang dibalas dengan anggukan oleh Sherina.

SaujanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang