Sesampainya di apartemen Sherina, Sadam langsung menyiapkan barang yang akan dibawa ke Cianjur siang ini. Sebagian besar sudah kian dibereskan pagi tadi, jadi tinggal beberapa printilan kecil seperti charger dan dompet yang harus disiapkan dan dipastikan tak tertinggal olehnya.
Tidak banyak yang harus dibawa, toh cuma dua hari di Cianjur, dan dia lelaki, jelas tidak seribet perempuan saat bepergian. Dari tiga tas dan koper bawaannya dari Kalimantan kemarin, yang akhirnya ia bawa ke Cianjur hanya satu ransel dan satu tas kecil yang dia gunakan untuk menaruh printilan kecilnya. Sedangkan sisa dua lagi akan ia tinggalkan di apartemen Sherina untuk ia ambil ketika cuti di awal Desember nanti. Ia sengaja menyicil membawa barangnya ke Jakarta, agar tidak banyak lagi yang akan ia bawa ketika fix cuti nantinya.
Dan karna masih banyak waktu sebelum ia pergi, dia memutuskan untuk ngopi sejenak, sekadar menenangkan pikirannya yang sejak tadi malam sangat kusut. Ia melangkahkan kaki ke dapur milik Sherina, disana ia menyeduh kopi yang ia berikan kepada gadis itu ketika pulang dari Tumbang Kaman bulan lalu. Mengingat hal itu membuatnya tersenyum kecut, betapa waktu itu ia sangat excited memberikannya kepada gadis itu, tapi, sekarang malah dikecewakan lagi. Huh, harusnya Sadam tidak perlu mengingatnya lagi.
Setelah selesai menyeduh kopi sambil merenung sejenak, Sadam kembali ke ruang tengah. Ia menaruh kopinya di atas meja dan membiarkan asapnya mengepul ke udara lalu menghilang, seiring dengan harapannya bahwa rasa kecewanya terhadap Sherina akan sama seperti kepulan asap di kopinya itu, terbang, melayang, lalu hilang. Tapi, semua rasa pada hakekatnya tidak akan hilang semudah itu.
Ia menyeruput kopinya perlahan, sembari menghirup bau yang menguar dari cairan hitam pekat itu, ia memejamkan mata menikmati aromanya hingga sama sekali tak tercium lagi. Menenangkan.
Pikirannya melayang kembali ke saat dimana mereka masih berada di perjalanan menuju kantor Sherina pagi ini. Wajah Sherina yang terus menunduk takut-takut dan gadis itu yang tetap konsisten memanggilnya dengan sebutan Yayang walaupun tidak digubris olehnya sempat membuatnya goyah, ia tidak pernah tega melihat gadis favoritnya itu merasa takut seperti tadi. Biasanya sejak dulu ia mengenal Sherina, sekalipun ia marah pastilah tidak pernah sampai mendiamkan gadis itu seperti sekarang. Bahkan terakhir kalinya ia marah kepada gadis itu ketika di Tumbang Kaman ia melupakan semuanya, tetap saja ia duluan yang meminta maaf dan memilih untuk berbesar hati menerima maaf dari Sherina. Tapi, sekarang entah kenapa, rasanya berbeda. Ini bukan cuma berbicara tentang ia merasa marah atau kecewa, tapi, lebih dari itu, ini tentang kejujuran. Ia tidak pernah suka berbohong, mungkin itu alasannya kenapa ia tidak suka jika ada seseorang yang membohonginya seperti sekarang ini. Ia tidak marah kepada Sherina, tepatnya ia kecewa. Kecewa dengan keputusan yang lebih dipilih oleh gadis itu untuk menyembunyikan hal sebesar ini darinya. Ia tidak mengerti alasannya apa. Apa ia kurang bisa dipercaya untuk menjadi tempat gadis itu berbagi cerita lagi? Ataukah gadis itu tidak merasa nyaman untuk berbagi cerita dengannya? Atau selama ini hanya dia yang menganggap Sherina penting, namun, tidak dengan sebaliknya? Ah, pernyataan tentang kopi itu menenangkan adalah salah. Tidak sedikitpun ia merasa tenang, yang ada malah semakin kacau.
Ia menegakkan posisi duduknya di sofa yang menjadi tempat tidurnya malam tadi. Dengan cepat ia menandaskan isi cangkir dihadapannya hingga tinggal menyisakan ampasnya saja. Ternyata lama juga ia termenung sehingga kopi di cangkirnya sudah menghangat. Sekilas ia melirik jam dinding yang menggantung di ruang tengah apartemen Sherina itu, ternyata sudah pukul setengah sepuluh, akhirnya ia memutuskan untuk mandi dan bersiap-siap, karna rencananya ia tidak menunggu jam makan siang untuk berangkat. Ia ingin lebih cepat sampai agar bisa menenangkan pikirannya dengan hijaunya pepohonan dan udara segar dari alam yang masih asri disana.
***
Setelah selesai mandi dan sudah rapi, ia kembali mengecek bawaannya agar tak ada satupun yang ketinggalan. Ia mengecek satu persatu isi ransel dan tas kecilnya. Kemudian mengambil ponselnya untuk memesan ojol yang akan mengantarnya ke terminal bus untuk membeli tiket bus secara offline di agen resminya. Namun, sebelum membuka aplikasi ojol, ia membuka aplikasi bertukar pesan kemudian menekan roomchatnya dengan Sherina. Semarah apapun ia, tapi, tidak pernah lupa untuk berpamitan kepada gadis itu, agar perjalanannya hari ini lancar.

KAMU SEDANG MEMBACA
Saujana
Fanfiction/Sau∙ja∙na/ : sejauh mata memandang Beberapa tahun berpisah ternyata tidak sontak merubah apa yang pernah terjalin. Walaupun awalnya agak canggung tapi naluri dua orang sahabat selalu menemukan jalan untuk kembali bersedia seperti sebelumnya. "Di p...