Sudah terhitung satu jam tak ada percakapan diantara mereka sejak mereka selesai makan di kamar Sherina dan kini keduanya sudah berpindah ke teras depan. Keduanya duduk bersisian, namun, berkutat dengan pikiran masing-masing.
Sadam memutar otak harus berbicara mulai darimana pada Sherina. Tidak semudah yang dia bayangkan ternyata. Sedangkan Sherina dengan wajah datarnya hanya menatap lurus ke depan, ke arah hutan belantara yang menampilkan dedaunan yang masih basah akibat hujan yang semakin deras siang hari ini.
Petrichor menguar menelusup ke indra penciuman Sherina, membuat gadis itu memejamkan matanya, sudah sangat lama ia tak menghirup bau ini. Bau hujan yang membasahi tanah kering, selalu menjadi bau favoritnya. Selalu menenangkan.
"Neng..." Tiba-tiba Sadam bersuara membuat Sherina mengalihkan pandangannya ke arah lelaki itu.
"Hmm?" Sherina berdehem menanggapinya.
"Aku minta maaf soal tadi malam ya. Aku tau kamu nggak mau bahas ini lagi, tapi, aku juga tau kalau aku salah. Dan aku mau minta maaf buat itu." Kalimat yang dilontarkan oleh Sadam membuat Sherina kembali memalingkan wajahnya ke arah depan, masih belum bisa menatap mata lelaki itu saat membicarakan kembali soal kejadian tadi malam.
"Kamu boleh marahin aku sekarang. Tapi, jangan menghindar lagi ya, Neng." Pinta Sadam sambil menghadap ke arah Sherina yang masih saja keukeuh untuk menatap lurus ke depan.
Terdengar Sherina menghela nafas panjang sebelum menanggapi omongan Sadam barusan.
"Aku nggak tau mau bereaksi gimana, Dam. Aku juga nggak marah sama kamu, aku cuma agak kaget aja. Walau bagaimanapun kamu sahabat aku, wajar aku kaget karna setau aku nggak ada sahabat yang nyium bibir sahabatnya." Akhirnya Sherina membuka suara walaupun masih enggan menatap Sadam.
Kini giliran Sadam yang menghela nafas panjang mendengar kalimat Sherina. Ada emosi yang menelusup di dalam dadanya yang membuatnya merasa kurang nyaman dengan kata sahabat yang baru saja dilontarkan oleh Sherina.
"Aku minta maaf, Sher." Kali ini Sadam tampak serius berbicara kepada Sherina. Panggilan 'Neng' yang biasa dipakainya untuk memanggil Sherina kini ditanggalkan dulu, berganti menjadi 'Sher'. Membuat gadis itu melayangkan pandangan ke arah Sadam, dia tau ini akan menjadi pembahasan yang serius.
"Kamu boleh marah sama aku. Tapi, disini aja ya. Jangan bawa sampai ke Jakarta besok." Pinta Sadam lagi, yang kini membuat Sherina mengangguk.
"Aku nggak bakat marah lama sama kamu, Dam." Ujar Sherina menatap Sadam tulus. Dia jujur mengatakan hal itu karna memang mereka berdua tak berbakat saling diam-diaman. Pasti salah satunya akan mencari cara gimana biar mereka berdua bisa baikan lagi.
Mendengar hal itu Sadam tersenyum lega, setidaknya Sherina sudah mau menatapnya lagi. Tidak secanggung tadi.
"Makasih, Sher. Aku sayang kamu banget."
Ujar Sadam lembut dengan tatapan tak kalah lembutnya. Sial, tatapan itu lagi, batin Sherina mengaku kalah kalau sudah soal tatapan lembut Sadam."Aku sayang kamu juga, Dam." Jawaban Sherina yang membuat Sadam agak besar kepala, namun, dia tidak mau terlalu gegabah menanggapi itu, bisa saja Sherina mengatakan sayang padanya hanya sekadar sayang kepada sahabat. Maka dari itu, ia hanya menganggukkan kepala dan tersenyum menanggapi perkataan terakhir Sherina.
"Oh iya, tadi kamu kelihatan bingung. Mau cerita ke aku?" Tanya Sadam mengalihkan pembicaraan, membuat Sherina menggigit bibir bawahnya, ragu.
"Kalau kamu nggak mau cerita juga gapapa. Aku nggak akan maksa." Sadam selalu pengertian, itu yang ditangkap oleh Sherina selama ±15 tahun mereka bersahabat. Walaupun 8 tahun mereka hilang kontak, tapi, pengertian Sadam akan dirinya tidak pernah berubah. Hal itu yang akhirnya membuat Sherina memberanikan diri untuk bercerita pada Sadam.

KAMU SEDANG MEMBACA
Saujana
Fiksi Penggemar/Sau∙ja∙na/ : sejauh mata memandang Beberapa tahun berpisah ternyata tidak sontak merubah apa yang pernah terjalin. Walaupun awalnya agak canggung tapi naluri dua orang sahabat selalu menemukan jalan untuk kembali bersedia seperti sebelumnya. "Di p...