Bab 8 : Dana Pingsan

77 5 0
                                    

"Ini kenapa kita kesini sih?" tanya Lingga dengan ekspresi wajah bingung dan tidak terima. Mereka, Lingga, Gani dan Abi, kini berada di ruang tamu mansion Sasya untuk menunggu keempat gadis berandal itu bersiap-siap.

"Boy, mereka mau ikut melayat ibunya Dana. Gak boleh?" jelas Gani menatap tajam ke arah sahabatnya. Lingga yang tadinya ingin protes lagi seketika menutup mulutnya rapat-rapat.

"Udah ayok," ucap Dita yang keluar dari kamar Sasya bersama ketiga sahabatnya. Gani sempat tertegun dengan penampilan Dita yang cukup berbeda dari biasanya. Sangat sederhana, kaos oblong bewarna hitam dan celana kain senada dan jangan lupakan jaket kulit andalannya.

"Gan? Lo gak papa kan?" tanya Dita yang heran karena pacar pura-puranya itu terus menatapnya.

"Ehm... G... Gue gak papa. Yok jalan," elak Gani memalingkan wajahnya dari Dita.

Tanpa menunggu lama lagi, mereka bertujuh berangkat ke kediaman Dana untuk melayat.

Sesampainya di kediaman Dana, terlihat jelas ratapan kesedihan dan air mata dimana-mana. Ketujuh remaja tadi bersalaman dengan keluarga Dana, tak lupa memberikan ucapan bela sungkawa kepada mereka.

"Dananya lagi dibelakang sama Kak Juna, mau om panggilin?" tawar Om Danis yang juga mengenali sahabat anaknya.

"Tidak usah om... Kami disini saja tidak apa-apa hehehe..." tolak Gani dengan senyuman. Ia tidak mau merepotkan ayah Dana itu.

"Oh ya sudah. Om ke depan dulu ya. Mau nyambut tamu yang lain..." Ketujuh remaja tersebut mengangguk. Danis pun kembali ke depan rumahnya untuk menerima tamu-tamu yang kian berdatangan untuk memberikan bela sungkawa.

Tak lama, doa terakhir untuk sang ibunda Dana dilaksanakan. Setelahnya, jenasah Rosita diangkut untuk dimakamkan. Ketujuh remaja yang tadinya hanya berniat mengunjungi upacara terakhir tante Rosita akhirnya ikut juga ke makan karena melihat kondisi sahabat mereka, Dana yang bisa dibilang kacau.

"DANAAAAAA!" teriak Sasya yang baru saja sampai dipemakaman tapi calon baby boy-nya itu malah tersungkur lemas dihadapannya. "Dan bangun dan... Sadar...." Panik Sasya memeluk tubuh lemah Dana. "Woi bantuin!"

Gani, Lingga, dan Abi pun menggotong tubuh lemah Dana ke mobil mereka untuk dibaringkan. "Longgarin bajunya. Lo semua jangan ngerubungin kek gini... Pergi..." ucap Sasya melakukan pertolongan pertama.

"Sya... Dana gak napas!" ucap Gani yang ikutan panik setelah mengecek hidung Dana. 

Sasya menekan-nekan dada Dana sebanyak mungkin, berharap Dana segera bernafas dengan cara ini. "Sialan, gak ada reaksi!" gerutu Sasya yang mulai menyerah dengan aksinya.

TIN! TIN!

"Bawa ke rumah sakit aja udah. Nyok gue yang nyetir," ucap Mega yang sudah siap di bangku sopir. Sasya pun mengangguk. Ia menggeret Lingga untuk ikut bersamanya.

"Om anaknya saya bawa ke rumah sakit dulu ya..." teriak Sasya sebelum mereka benar-benar meninggalkan area pemakaman. Danis hanya mengangguk pasrah melihat anak bungsunya terkapar. Setelah berpamitan, Mega melajukan mobil mereka ke rumah sakit terdekat.

Selama perjalanan, Sasya terus-menerus berusaha memberikan nafas buatan untuk Dana. "Ah bodolah..." Sasya pun melakukan nafas buatan dari mulut ke mulut. Mencubit hidung Dana kemudian menyalurkan pasukan oksigen dari mulutnya ke mulut Dana.

"Syukurlah..." Sasya bernafas lega saat melihat nafas Dana yang kian kembali.

Lingga dan Mega yang sempat menyaksikan adegan itu dari kaca hanya saling menatap dengan tatapan sulit diartikan.

BERANDAL KESAYANGANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang