Bab 41 : Confess

21 1 0
                                    

Hari semakin larut, tak terasa kedelapan sahabat itu sudah seharian menghabiskan hari mereka didalam kerajaan fantasi yang super luas itu. Bahkan ada beberapa tempat yang belum sempat mereka jamah saking luasnya.

Kini mereka berdelapan berada di istana para putri Disney. Sambil terus mengabadikan momen, mereka berjalan menyusuri indahnya istana yang nampak seperti aslinya.

"Kalau ada dijembatan ini gue jadi inget salah satu drama yang MC mereka kissing disini," celetuk Mega teringat drama romantic yang ia tonton beberapa hari yang lalu.

"Jangan ngarep hal-hal romantic deh, dasar jomblo," ejek Dita menjulurkan lidahnya ke arah Mega yang terlihat geram dan ingin mencekiknya. Ia kemudian reflek berlari dan Mega mengejarnya bak anak kecil yang tengah berlarian mengejar temannya. "Jangan lari lo sialan!" teriak Mega.

"Vanesha, lo bisa ikut gue gak?" ucap Lingga malu-malu. "Ka... Kalau gak mau gak... Gak papa kok... Gue... Gue gak maksa..." tambahnya, mendadak salah tingkah karena melihat tatapan penuh arti dari seorang Gani.

"Ayok..." Vanesha meraih tangan Lingga menjauh.

"Dan, lo mau liat-liat disana gak?" tanya Sasya. Dana mengangguk. "Boleh, yuk." Meraih tangan mungil Sasya untuk ia genggam kemudian berjalan ke arah yang Sasya inginkan.

Sekarang tinggal Gani dan Abi yang tersisa.

"Lo gak mau manfaatin kesempat ini?" celetuk Gani memecah suasana hening diantara mereka. Abi menatap Gani sambil menaikkan satu alisnya. "Apa maksud lo?" tanya Abi.

"Lo tau maksud gue Bi. Gue takut lo udah gak punya kesempatan setelah kita pulang dari Jepang. Lo emang rela kalau dia direbut sama lelaki yang pernah matahin hatinya?" ucap Gani menjadi serius. Ia hanya ingin yang terbaik untuk teman, semua temannya.

Abi menggelengkan kepalanya. Menghela nafas kecil kemudian tersenyum. "Emang dari awal gue udah gak ada kesempatan Gan. Gue tau, gue gak akan pernah bisa nembus tembok yang besar, yang sengaja dia ciptakan buat kita," jawabnya.

"Tapi Bi..."

Abi menepuk pundak Gani kemudian tersenyum lembut. "Daripada dia, gue punya seseorang yang harus gue lindungin sekarang. Seseorang yang selalu ada disisi gue walaupun gue gak sadar. Seseorang yang sebenarnya gue gak peduli dia ada apa engga," ucap Abi sambil memandang ke arah gadis yang sedang berlarian bersama temannya.

"Mega?" tanya Gani. Abi tidak memberikan jawaban. Ia bungkam. "Kalau itu yang terbaik buat lo, gue bakal dukung lo sepenuhnya," tambah Gani kemudian mengajak si pendiam itu menyusul kekasihnya.

Sekarang, Lingga membawa Vanesha ke sebuah titik dimana mereka bisa melihat semuanya dengan jelas dari atas sini. Mata Vanesha dibuat kagum karena si lelaki julid bisa menemukan tempat seindah ini dalam waktu sekejap.

"Nes..." Lingga mulai serius.

"Kenapa?" Vanesha dibuat bingung karena Lingga tiba-tiba menyodorkan sekuntum bunga mawar ke hadapannya. "Apa ini Lingga?" tanyanya kebingungan. Ia ragu harus menerima bunga tersebut atau tidak.

"Vanesha, gue gak tau sejak kapan. Tapi gue selalu terpesona setiap kali lo lewat didepan gue. Setiap kali lo tersenyum, jantung gue berdetak kencang. Setiap lo ngomong sama gue, gue jadi salah tingkah dan akal gue seolah berhenti. Gue selalu cari lo kalau lo gak ada. Gue gak tau harus mulai darimana tapi gue suka sama lo..." Lingga menatap Vanesha yang nampak terkejut mendengarnya. "Gue suka sama lo Nesha! Gue suka suka suka bangettt sama lo!" imbuhnya.

Vanesha memalingkan wajahnya yang bersemu kemerahan. Ia tidak bisa menatap lelaki yang menatapnya penuh ketulusan. Perlahan, Lingga meraih tangannya, bersimpuh di hadapannya. "Lo mau gak jadi pacar gue?" ucap Lingga membuat Vanesha semakin bingung menghadapinya.

"Lingga... Maaf..." Vanesha menggigit bibir bawahnya. Ia benar-benar bingung harus menjawab apa. Memang ia ada sedikit rasa kepada Lingga, namun rasa cintanya pada orang sebelum Lingga lebih besar. "Maaf... Gue gak bisa..." ucap Vanesha memalingkan wajahnya, menatap ke arah luar. "Gue belum bisa lupain dia sepenuhnya jadi gue gak bisa nerima lo saat hati gue masih milik orang lain."

"Dia?" tanya Lingga menahan matanya yang mulai memanas. Vanesha kemudian membisikkan sebuah nama yang membuat tangan Lingga mengepal kuat. "Gue bener-bener minta maaf," ucap Vanesha lagi kemudian meninggalkan Lingga sendirian disana.

"Sialan..." Lingga terduduk disana. "Mega... Gue harap lo ada disini..." gumamnya.

Sementara itu, ditempat Dana dan Sasya, Sasya kini sibuk memotret kesana dan kemari segala yang ia lihat. Katanya tempat ini belum tentu akan ia kunjungi setahun sekali setelah mereka beranjak ke kelas 12.

"Btw gimana kerjaan lo?" celetuk Sasya melihat raut wajah bosan partnernya hari ini.

"Ya gak gimana-gimana, gue masih berusaha adaptasi sama kebiasaan kerja mereka. Dan gue gak nyangka ternyata senior disana asik-asik semua. Mereka bener-bener bantu gue saat pertama kali masuk..." jawab Dana.

"Tapi so far aman kan? Lo gak keberatan?" tanya Sasya.

Dana menggeleng. "Gak, gue malahan harus berterimakasih sama lo. Lo baik banget udah mau kasih gue kerjaan walaupun gue brengsek. Walaupun gue udah patahin hati lo, tapi lo tetep mau terima gue," ucap Dana merasa bersalah mengingat ia tidak bisa membalas perasaan gadis berandal itu.

"Haish gak masalah... Selama lo masih ada di deket gue, itu udah cukup buat gue," ucap Sasya dengan senyuman lembut.

"Sya..." Dana menggenggam tangan Sasya membuat gadis berandal itu kebingungan. "Kalau gue minta kesempatan kedua, lo bakalan kasih?" tanya Dana dengan wajah memerah. Bahkan untuk menatap Sasya, lelaki polos itu tidak berani.

Sasya terkekeh mendengar permintaan kecil lelaki dihadapannya. Ia kemudian menangkup wajah Dana dengan kedua tangannya. Membuat wajah tampan itu menatap dirinya. "Dengar, lo itu punya gue dan gue punya lo, selamanya. Walaupun kita gak bisa bersama, setidaknya kita bisa berdiri berdampingan layaknya teman. Dan jawaban atas permintaan lo..." Sasya tersenyum. "Lo gak perlu izin buat dapetin kesempatan dari gue..." jawabnya.

Wajah Dana merona. Sasya benar-benar menawan, membuat hatinya tidak berhenti berdugem saat berdekatan dengannya. "Terimakasih..." Dana memeluk Sasya erat. Menenggelamkan wajahnya pada ceruk leher Sasya.

"Gue harap lo gak ngecewain gue setelah ini, Dan..." bisik Sasya.

"Gue gak akan ngecewain lo lagi Sya. Gue janji..." jawab Dana. Mengecup singkat pucuk kepala Sasya yang kemudian dia belai dengan lembut.

"Gue bersyukur ketemu lo Dan," ucap Sasya.

"Gue lebih bersyukur bisa kenal sama berandal baik hati kayak lo. Andaikan dulu gue gak ngajuin ide gila ini sama Pak Joko, kita gak akan pernah kenal Sya," ucap Dana.

"Jadi ini takdir?"

"Gue gak tau, tapi kemungkinan besar iya." Sasya tersenyum. Ia sungguh beruntung bisa mengenal lelaki polos tapi penyayang seperti Dana. Andaikan ia dulu tidak mengajukan permintaan aneh yang disetujui oleh Dana, keduanya tidak akan pernah menjadi seperti sekarang.

"I was enchanted to meet you..." gumam Sasya diakhiri dengan senyuman manis.

Dan hari ini pun berakhir. Langit malam ini menjadi saksi kisah baru yang akan kedelapan sahabat itu tempuh. Kisah baru yang akan mengubah hidup mereka, perlahan namun pasti.

BERANDAL KESAYANGANTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang