(23) Takut

1.4K 181 12
                                    

Zein masih terbaring lemah di tempat tidur rumah sakit, wajahnya pucat dan tubuhnya terbungkus selimut. Matanya sayu memandang sekeliling ruangan yang sunyi. Di samping brankar rawatnya, duduk seorang pria tua dengan rambut yang sudah memutih, yang tak lain itu adalah eyangnya. Namun, dibalik wajah khawatir eyangnya, ada sesuatu hal yang membuat sang Eyang tampak bertanya-tanya. Hal itu karena Zein ternyata tidak mau bertemu dengan papanya (Zafran) dan kembarannya (Zean) setelah ia sadar dari masa kritisnya. Entah apa yang sebenarnya terjadi di antara ketiganya, namun Eyang merasa bahwa memang ada suatu masalah di antara mereka yang sedang mereka sembunyikan darinya. Karena penasaran, Eyang pun mulai bertanya pada Zein, berharap Zein mau bercerita dengan jujur tentang masalah yang sedang menghampirinya itu.

"Zein, boleh Eyang tanya sesuatu sama kamu?" tanya Eyang pada Zein.

Zein mengangguk lemah, memberi jawaban pada eyangnya itu.

"Apa yang sebenernya terjadi di rumah? Kenapa Zein sampe ngga mau ketemu papa sama Zean?" tanya Eyang.

"Ngga pa-pa, Eyang. Itu cuma masalah kecil aja, kok. Ngga ada yang perlu dikhawatirin. Semuanya baik-baik aja," jawab Zein dengan suaranya yang terdengar lemah.

"Tapi kamu tau Zein, kadang masalah kecil bisa jadi besar kalo ngga diatasi dengan baik. Zein bisa cerita sama Eyang kalo Zein memang ngga ngerasa nyaman tinggal di rumah," ucap Eyang.

"Zein baik-baik aja. Eyang ngga perlu khawatir," Zein kembali menjawab bahwa ia baik-baik saja.

"Jadi Zein ngga mau cerita apa-apa sama Eyang?" tanya Eyang yang masih belum puas dengan jawaban Zein. Eyang berharap Zein mau lebih terbuka dengannya.

Zein pun lalu hanya menggelengkan kepalanya pelan menjawab pertanyaan Eyang. Sejujurnya, Eyang sedih karena Zein tidak mau berbagi masalahnya dengannya.

"Hem, ya udah. Ngga pa-pa. Eyang juga ngga maksa Zein buat ceritain masalahnya. Tapi Zein harus inget, ya? Kalo nanti Zein udah siap cerita, Eyang pasti dengerin," ucap Eyang lembut.

"Makasih, Eyang," ucap Zein dengan suara lirih.

Eyang lalu menganggukkan kepalanya sambil tersenyum menatap Zein.

••••

Dalam redupnya senja, Zean melangkah perlahan menuju ke dalam rumahnya setelah memarkirkan motornya di halaman rumahnya. Seragam sekolahnya masih melekat erat, mengingatkan akan hari yang panjang di sekolah dan kunjungannya ke rumah sakit. Sebuah hari yang berat, penuh dengan kegelisahan dan harapan.

Zean baru saja pulang dari rumah sakit setelah menjenguk saudara kembarnya yang baru saja bangkit dari masa kritisnya. Namun, kunjungannya ke rumah sakit tidak berjalan sesuai harapannya.

Zean telah membayangkan pertemuan hangat, tawa kecil, dan kecupan di pipi. Namun, harapan itu hancur menjadi kekecewaan saat Zein menolak untuk bertemu dengannya tanpa alasan yang jelas.

Di dalam rumahnya yang teduh, Zean duduk di sofa ruang tamu dengan perasaan hampa yang sulit diungkapkan. Hatinya terasa berat, terkoyak oleh ketidakmengertian dan rasa sakit yang tak terucapkan. Ia bertanya-tanya, mengapa Zein menolak bertemu dengannya? Apakah ada sesuatu yang terjadi selama Zean tidak ada di sampingnya? Ataukah Zein masih dalam proses pemulihan yang belum siap untuk bertemu?

Dalam kegelapan senja, Zean merenung. Ia membiarkan gelombang emosinya mengalir, mencari jawaban di tengah-tengah kekosongan yang menghampirinya.

Melihat gelagat Zean yang hampa dan terdiam, Bi Tatik, yang telah lama menjadi bagian dari keluarganya sebagai pembantu setia, mulai bertanya-tanya. Beliau merasa kebingungan melihat perubahan suasana hati Zean yang biasanya penuh semangat dan ceria.

Aku, Si Perindu Papa ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang