Zein berbaring dengan tenang di ranjang pemeriksaan, meskipun terlihat jelas ada bayang-bayang kecemasan di wajahnya yang pucat. Setiap malam dia merasa sesak napas, membuatnya tidak bisa tidur dengan nyenyak. Zein memang mengidap asma sejak kecil, namun belakangan ini kondisi paru-parunya semakin memburuk. Apalagi beberapa waktu lalu, dia harus menjalani prosedur chest tube yang menyebabkan sesak napasnya semakin sering terjadi. Itulah sebabnya Zein memeriksakan diri ke rumah sakit hari ini.
Eyang yang setia menemaninya, memegang tangan Zein erat-erat, memberikan dukungan dengan senyum lembut yang selalu menenangkan cucunya. Mereka datang ke rumah sakit untuk melakukan check-up, berharap mendapatkan penanganan yang bisa meringankan gejala yang dirasakan Zein.
Ruangan rumah sakit yang putih bersih dan berbau antiseptik itu terasa sedikit lebih hangat dengan kehadiran Dokter Tania. Sambil menyiapkan alat penguap, Dokter Tania menatap Zein dengan mata penuh perhatian.
"Zein, kamu tenang, ya," ujar Dokter Tania dengan suara lembut. Dia memasang masker uap secara tepat di sekitar hidung dan mulut Zein, memastikan semuanya terpasang dengan baik sebelum memulai proses penguapan.
Zein mengangguk pelan, mencoba menenangkan diri. Sambil menghirup uap obat yang mulai keluar dari masker uap, ia merasakan sesak di dadanya perlahan mulai mereda.
"Eyang di sini, Zein. Eyang di sini untuk kamu," bisik Eyang, mengelus rambut Zein dengan lembut.
Dokter Tania berdiri di samping Zein, tangannya dengan lembut memeriksa denyut nadi di pergelangan tangan anak laki-laki itu. Dia bisa merasakan denyut nadi yang lemah dan tidak teratur, yang membuat hatinya semakin cemas. Namun, dia berusaha menutupi kekhawatirannya dengan senyuman hangat.
Setelah beberapa saat, dia mulai bertanya tentang kondisi Zein. "Zein, kalo di rumah makannya gimana? Teratur ngga makannya?" tanya Dokter Tania lembut.
Bukan Zein yang menjawab, melainkan eyang. "Kadang makannya susah, dok. Mungkin karena dia sesak, jadi nafsu makannya juga berkurang."
"Oh, harusnya kamu lebih perhatiin pola makan kamu, Zein. Sedikit-sedikit ngga apa-apa asal sering," ucap Dokter Tania sambil mengelus lembut rambut kepala Zein.
"Terus kalo obatnya gimana? Zein minum obatnya rutin, kan?" lanjut Dokter Tania.
Zein mengangguk. "Iya, Ma. Eyang selalu ingetin Zein buat minum obat."
Dokter Tania tersenyum lega setelah mendengar jawaban Zein.
Sementara uap terus mengalir, Zein mulai merasa sedikit lega. Napasnya perlahan-lahan menjadi lebih teratur, dan dia bisa merasakan ketenangan menjalar ke seluruh tubuhnya. Di saat seperti ini, kehadiran Dokter Tania dan Eyang memberikan rasa aman yang sangat berarti bagi Zein.
"Zein, kamu ngga perlu khawatir, mama akan melakukan segala yang mama bisa buat mastiin kamu bisa tidur nyenyak lagi."
"Iya, Ma. Makasih ya, Ma," jawab Zein dengan suara pelan.
Setelah sesi penguapan selesai, Dokter Tania memutuskan untuk melakukan beberapa pemeriksaan tambahan. Dia menyiapkan stetoskopnya dan mulai mendengarkan detak jantung serta pernapasan Zein.
"Napasmu sudah mulai lebih baik sekarang, Zein. Tapi mama pengen mastiin semuanya bener-bener dalam kondisi yang baik," kata Dokter Tania sambil tersenyum.
Zein mengangguk patuh, merasa sedikit lebih tenang dengan kehadiran dan perhatian Dokter Tania. Eyang tetap duduk di sampingnya, memberikan dukungan moral yang tak ternilai.
"Zein, inget pesen mama ya, sayang. Zein harus teratur makannya. Perhatiin juga makanan yang mau dikonsumsi. Zein harus makan-makanan yang sehat dan bergizi. Itu penting buat kekuatan tubuh kamu, sayang. Kalo makannya susah nanti Zein pulihnya lama karena badannya rasanya lemes terus," ujar Dokter Tania sambil mencatat hasil pemeriksaan di buku medisnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku, Si Perindu Papa ✓
Teen FictionDILARANG PLAGIAT !!! ❌ Dalam book "Aku, Si Perindu Papa", Zein merasakan jarak emosional yang mendalam dengan papanya, Zafran. Meskipun tinggal bersama, hubungan mereka kian memburuk, membuat Zein merasa terasing dan tidak diinginkan. Melalui serang...