Hari itu, Zean kembali hadir di kelas, namun pikirannya tidak fokus pada pelajaran yang sedang berlangsung. Benaknya terus-menerus dipenuhi oleh bayangan sang kembaran yang masih terbaring lemah di rumah sakit.
Zean tidak bisa berhenti memikirkan kondisi Zein. Ia merasa sangat khawatir dan sedih, apalagi dokter mengatakan bahwa Zein masih dalam kondisi kritis. Zean tidak bisa membayangkan jika terjadi sesuatu yang buruk pada Zein.
Saat guru menjelaskan materi di depan kelas, Zean hanya menatap kosong ke arah papan tulis. Pikirannya melayang-layang, membayangkan bagaimana keadaan Zein saat ini. Apakah ia sudah sadarkan diri? Apakah kondisinya sudah mulai membaik? Pertanyaan-pertanyaan itu terus menghantui Zean, membuatnya merasa gelisah dan tidak bisa berkonsentrasi.
Berkali-kali Zean mencoba untuk fokus pada pelajaran, namun bayangan Zein selalu mengganggu pikirannya. Ia merasa bersalah karena tidak bisa menemani Zein di rumah sakit. Rasanya, ia ingin segera kembali ke rumah sakit untuk memastikan bahwa kembarannya itu baik-baik saja.
Sementara itu, Raka dan Ikal tidak bisa menahan rasa prihatin mereka melihat keadaan Zean. Mereka turut sedih melihat Zean yang tampak lesu dan tidak fokus sama sekali dengan pelajaran yang sedang guru terangkan di dalam kelas saat itu. Zean memang menatap ke arah papan tulis, namun pikirannya jelas tidak sedang berada di kelas.
Ikal lalu tampak berbisik pelan pada Raka, "Liat, tuh! Zean keliatan ngga semangat banget hari ini. Dia pasti banyak mikirin Zein,"
Raka pun mengangguk pelan menyetujui apa yang baru saja dikatakan Ikal, "Iya, gue juga merhatiin dia kok dari tadi. Gue ikut sedih liat dia kayak gitu,"
Ikal menghela napas dan kembali berbisik, "Lagian kenapa sih dia pake berangkat segala? Bukannya kemaren dia bilang masih mau izin ngga masuk hari ini? Tapi kok sekarang dia masuk, sih? Apa karena dia masih pengen nyalonin diri jadi calon ketua di club basket sekolah?"
Raka pun kembali menimpali apa yang Ikal katakan, "Bisa jadi sih, Kal. Tapi yang jelas, kita sebagai sahabatnya dia, pokoknya kita harus ada lah buat nguatin dia. Dia pasti sekarang butuh temen yang bisa mahamin perasaan dia. Kita harus yakinin dia kalo Zein pasti bakal cepet sadar dan cepet pulih lagi. Gimanapun kita kan juga sayang sama Zein. Kita pasti juga pengen Zein sehat lagi dan bisa sekolah bareng kita lagi. Apa yang kita pengen itu sama kayak apa yang juga jadi harapan Zean sekarang,"
"Lo bener, Ka. Pokoknya kita harus sama-sama nguatin Zean biar dia bisa lebih tegar nerima ujian yang di kasih Tuhan buat dia sekarang ini," balas Ikal.
••••
Saat jam istirahat tiba, Ikal dan Raka segera menghampiri Zean yang masih termenung di bangkunya. Mereka berusaha menghibur Zean dan memberikan semangat agar Zean tidak terus-menerus memikirkan Zein.
Dengan nada lembut, Raka berkata pada Zean, "Ze, gue sama Ikal tau kok kalo lo pasti sekarang lagi khawatir banget sama Zein. Tapi lo juga harus jaga kesehatan lo, oke? Zein juga pasti sedih liat lo kayak gini. Dia pasti ngga mau lo ikutan sakit juga."
Ikal kemudian menambahkan, "Yang dibilang Raka bener, Ze. Kita berdua juga bakal selalu ada buat lo, kok. Jangan ragu buat bagi cerita sama gue atau sama Raka kalo lo ada apa-apa. Kita pasti bakal usahain buat bisa bantu selesai-in permasalahan lo sebisa kita, kok. Kalaupun kita ngga bisa bantu, seenggaknya kita bakal selalu siap dengerin lo cerita tentang masalah yang terjadi sama lo biar lo bisa lebih lega karena udah ceritain masalah lo ke kita. Kita juga bakal terus bantu do'a kok buat Zein, biar dia bisa secepatnya sadar dan sehat lagi."
Mendengar ketulusan yang dikatakan oleh kedua sahabatnya itu, membuat Zean lalu sontak menatap kedua sahabatnya dengan mata berkaca-kaca. Ia merasa sangat bersyukur memiliki sahabat yang begitu peduli dan suportif di saat-saat sulit seperti ini. Ia lalu memeluk kedua sahabatnya sambil meneteskan air matanya tanpa ada rasa malu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku, Si Perindu Papa ✓
Ficção AdolescenteDILARANG PLAGIAT !!! ❌ Dalam book "Aku, Si Perindu Papa", Zein merasakan jarak emosional yang mendalam dengan papanya, Zafran. Meskipun tinggal bersama, hubungan mereka kian memburuk, membuat Zein merasa terasing dan tidak diinginkan. Melalui serang...