Zein dilarikan ke rumah sakit setelah Zafran menemukannya pingsan di dalam kamarnya. Sejujurnya Zafran tidak ingin membawa Zein ke rumah sakit, tapi karena keadaan Zein saat itu harus ditangani oleh dokter, Zafran pun akhirnya terpaksa membawa Zein ke rumah sakit. Ia membatalkan niat untuk kembali ke kantor karena harus mengantar putranya itu ke rumah sakit. Ia pergi mengantar Zein ke rumah sakit seorang diri. Meski Zean sempat memaksa ikut ke rumah sakit, Zafran tidak membolehkan Zean ikut dan meminta bi Tatik untuk menjaga Zean di rumah.
Sesampainya di rumah sakit, Zein pun segera ditangani oleh dokter dan beberapa petugas medis. Dokter yang menangani Zein saat itu adalah seorang dokter laki-laki dan merupakan dokter spesialis paru yang sudah biasa menangani penyakit asma yang diderita Zein sejak kecil. Dokter tersebut juga merupakan dokter yang biasa mengontrol kondisi paru-paru Zein setiap bulan saat Zein melakukan check up rutinnya. Namanya adalah dokter Fathur.
Sementara itu, Zafran tampak cemas menunggu Zein selesai ditangani oleh dokter dan para petugas medis di ruang penanganan. Ia berdiri di depan pintu ruang penanganan sambil memperhatikan Zein yang sedang ditangani oleh dokter dan para petugas medis melalui kaca pintu ruang penanganan tersebut. Tak terasa, air matanya menetes saat melihat Zein ditangani dokter dalam keadaan tidak sadarkan diri. Ia menatap wajah Zein yang saat itu terlihat begitu pucat. Ia menyadari bahwa dirinya memang sudah keterlaluan telah menyakiti Zein dengan memukulnya tanpa ampun hanya karena masalah kecil. Ia merasa sudah keterlaluan karena memarahi putranya yang masih kecil itu hingga berulang kali membentaknya tanpa memikirkan perasaan putranya yang pasti sangat terluka setelah mendapat perlakuan kasar itu darinya.
"Zein.. maafin papa..," gumam Zafran sambil meneteskan air matanya.
••••
10 tahun kemudian.......
Zein telah tumbuh menjadi seorang remaja SMA yang tampan dan manis. Selain tampan, ia juga dikenal sebagai siswa yang rajin dan pintar di sekolahnya. Itu sebabnya, ia pun cukup populer di sekolahnya bahkan sampai menjadi murid kesayangan para guru. Banyak prestasi yang sudah ia raih, khususnya di bidang akademik dan ia telah bertahan menjadi urutan pertama sebagai murid paling pintar dari semua murid seangkatannya.
Suatu pagi, saat ia sudah siap dengan seragam sekolahnya, ia pun keluar dari dalam kamarnya menuju ruang makan untuk sarapan bersama dengan keluarganya, yaitu Zafran dan saudara kembarnya (Zean). Namun, saat ia sampai di ruang makan, ia hanya melihat Zafran yang sedang duduk sambil menikmati secangkir kopi buatan bi Tatik.
Karena Zein hanya melihat Zafran di ruang makan, ia pun akhirnya mengurungkan niatnya untuk duduk di ruang makan. Dari kecil hingga usianya yang kini sudah memasuki masa remaja, Zein memang tidak pernah mendapat perlakuan baik dari papanya yang bernama Zafran itu. Tidak ada yang berubah dari sosok Zafran yang dikenal galak, pemarah, dan kasar terhadap Zein. Itu sebabnya Zein merasa takut bila berhadapan dengan papanya sendiri dan kini ia pun tidak berani hanya untuk sekedar duduk di ruang makan bersama dengan papanya itu.
Saat Zein baru saja membalikkan badan untuk meninggalkan ruang makan, tiba-tiba suara Zafran terdengar memanggilnya.
"Zein!" panggil Zafran.
Seketika jantung Zein berdetak cepat saat ia mendengar Zafran memanggil namanya. Dengan perasaan panik bercampur takutnya itu, Zein akhirnya membalikkan badannya kembali dan mengarahkan pandangannya ke arah Zafran yang masih duduk santai di ruang makan.
"I-iya, pa?" sahut Zein.
"Mau kemana?" tanya Zafran.
"Em, it-itu pa.. ak-aku mau panggil Zean dulu bu-buat sarapan bareng," ucap Zein sampai tergagap saking takutnya bicara dengan Zafran.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku, Si Perindu Papa ✓
Teen FictionDILARANG PLAGIAT !!! ❌ Dalam book "Aku, Si Perindu Papa", Zein merasakan jarak emosional yang mendalam dengan papanya, Zafran. Meskipun tinggal bersama, hubungan mereka kian memburuk, membuat Zein merasa terasing dan tidak diinginkan. Melalui serang...