(35) Dilema Kesaksian

698 94 9
                                    

Di kamar yang luas dan mewah, setiap detail mencerminkan keanggunan dan kemewahan yang berkelas. Langit-langit tinggi dengan ukiran klasik dan lampu gantung kristal yang berkilauan memberikan cahaya hangat yang menyelimuti ruangan dengan nuansa nostalgia. Dinding kamar itu dipenuhi oleh foto-foto keluarga, kenangan masa lalu yang terpajang rapi di bingkai-bingkai kayu mahal. Di sudut ruangan, ada sebuah lemari antik dengan ukiran halus yang menyimpan banyak cerita.

Tempat tidur dengan seprai satin putih bersih dan selimut rajut berwarna cokelat muda tampak nyaman dan mengundang. Di atas ranjang, duduklah Eyang, seorang pria tua dengan rambut yang sudah memutih seluruhnya. Keriput di wajahnya menceritakan perjalanan panjang hidupnya. Malam itu, alih-alih berbaring untuk istirahat, Eyang tetap duduk di tepi ranjang, matanya tertuju pada sebuah foto yang dipegangnya erat.

Foto itu adalah potret seorang wanita muda, Yasmine, anak perempuannya yang telah lama meninggal dunia. Yasmine adalah satu-satunya anak Eyang, seorang ibu muda dari sepasang anak kembar dan sedang mengandung anak ketiganya ketika dia meninggal. Kehilangan Yasmine adalah luka yang tak pernah benar-benar sembuh. Eyang memandang foto itu dengan tatapan sedih dan penuh kerinduan. Wajahnya mencerminkan perasaan yang dalam, seolah semua kenangan manis dan pahit bercampur menjadi satu dalam ingatannya.

Eyang mengelus foto itu dengan lembut, seolah-olah bisa merasakan kehadiran Yasmine kembali melalui sentuhan itu. Air mata perlahan menggenang di sudut matanya, namun dia tak berusaha menghapusnya. Biarkanlah perasaan itu mengalir, pikirnya. Di keheningan malam, hanya suara detak jam dinding yang menemani kesendiriannya. Di sudut kamar, di atas meja kecil, sebuah lilin beraroma lavender menyala dengan tenang, memberikan sedikit kenyamanan di tengah kesedihannya.

Sejenak, Eyang menutup matanya, membiarkan kenangan tentang Yasmine melintas di benaknya. Tawa, canda, dan kebersamaan mereka seakan hidup kembali di dalam pikirannya. "Putriku, Yasmine.. andai kamu masih di sini..." gumamnya pelan, hampir seperti berbisik pada dirinya sendiri. Kamar itu, meski hangat dan penuh kenangan, tak mampu mengusir rasa kehilangan yang mendalam yang dirasakan Eyang setiap malam.

Eyang menarik napas panjang, merasakan beratnya udara malam itu. Dia teringat akan tragedi yang merenggut Yasmine dari hidupnya. Saat itu, diketahui Yasmine sedang menuruni tangga bersama dua anak kembarnya, Zean dan Zein. Tiba-tiba, Yasmine jatuh dan meninggal dunia. Kejadian itu masih menyisakan banyak pertanyaan tak terjawab. Anak-anaknya yang saat itu masih kecil, tidak dapat memberikan penjelasan yang jelas tentang apa yang sebenarnya terjadi. Hingga beberapa waktu berlalu, akhirnya Zean, salah satu dari anak kembarnya itu, mengaku bahwa dia melihat Zein mendorong mamanya dari tangga. Namun, Zein bersikeras bahwa dia bukan pelakunya. Keluarga pun mulai meragukan Zein, berpikir bahwa mungkin Zein takut mengakui kebenaran yang sebenarnya terjadi.

"Yasmine, apa yang sebenarnya terjadi waktu itu? Kenapa kamu harus tinggalin papa begitu cepat?" bisik Eyang dengan suara serak. "Tolong berikan papa petunjuk, apa yang harus papa lakukan? Gimana kalo ternyata selama ini tuduhan itu salah? Gimana kalo ternyata Zein memang ngga bersalah?"

Eyang menghela napas panjang, merasakan beban yang semakin berat di pundaknya. Dia tidak ingin menuduh Zein tanpa bukti yang kuat, tapi pengakuan Zean membuatnya sulit untuk berpikir jernih. Di tengah kesunyian malam, Eyang berharap ada petunjuk, sebuah tanda, atau apa pun yang bisa membantunya menemukan kebenaran tentang apa yang sebenarnya terjadi pada malam tragis itu. Kamar yang penuh kenangan itu menjadi saksi bisu dari pergulatan batin Eyang, yang terus mencari jawaban di tengah kerinduan dan kesedihan yang mendalam.

Di tengah kemewahan kamar yang penuh kenangan itu, Eyang merasa terbelah antara percaya pada Zean atau mempertahankan keyakinannya pada Zein bahwa Zein mungkin memang sebenarnya tidak bersalah. Sudah begitu lama Eyang mengenal cucunya, dan dalam hatinya, Zein adalah sosok yang baik dan jujur. Eyang yakin bahwa Zein tidak mungkin berbohong dan mungkin dia memang tidak terlibat dalam insiden tragis itu.

Aku, Si Perindu Papa ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang