(45) Konflik Di Sekolah

628 98 27
                                    

Di tengah istirahat siang, Zein merasakan momen kecil kemenangan. Setelah berjuang keras selama beberapa minggu terakhir, terutama dengan ulangan Fisika yang baru saja ia selesaikan, ia merasa lega. Meskipun beberapa soal sempat membuatnya bingung, ia yakin bahwa jawabannya sudah benar.

Di kelasnya hari itu, siswa yang sudah selesai mengerjakan soal ulangan diperbolehkan untuk istirahat atau keluar kelas lebih awal. Zein adalah yang pertama menyelesaikan ulangan dan memutuskan untuk memanfaatkan waktu itu untuk sejenak melepaskan kepenatan.

Sementara Zein keluar dari kelas, siswa-siswa lain, termasuk Zean, Raka, dan Ikal, masih sibuk dengan ulangan mereka dan belum menyelesaikan tugas. Zein, dengan perasaan ringan, melangkah menuju toilet untuk mengisi waktu istirahatnya sebelum kembali ke kelas.

Sesampainya di depan toilet, Zein merasa sedikit rileks. Dia menyiapkan diri untuk kembali ke kelas dan melanjutkan aktivitas sekolahnya. Namun, saat membuka pintu toilet untuk keluar, suasana tenangnya tiba-tiba pecah. Di hadapannya berdiri Aslan bersama dua temannya, Galang dan Tiar, dengan sikap yang menegangkan dan serius.

Zein langsung merasakan ada sesuatu yang tidak beres. "Kenapa? Lo bertiga ngapain berdiri di sini?" tanyanya, berusaha memahami situasi yang tiba-tiba berubah menjadi tegang. Aslan menatap Zein dengan tatapan dingin dan penuh perhitungan. "Ngga usah banyak bacot deh lo! Gue perlu ngobrol sama lo," katanya dengan nada yang mengancam. Galang dan Tiar berdiri di belakangnya, siap untuk melakukan apapun yang Aslan perintahkan.

Aslan kemudian melirik Galang dan Tiar, memberi isyarat tanpa kata. Galang dan Tiar, dengan cepat dan tanpa memberikan kesempatan bagi Zein untuk bereaksi, langsung menangkap kedua tangannya. Tangan mereka kuat dan grip mereka kencang, membuat Zein merasa terjepit dan tidak bisa melawan.

“Eh, lepasin gue!” Zein berusaha menarik tangannya, tetapi cengkeraman mereka terlalu kuat. “Lo pada mau bawa gue kemana?!"

Galang dan Tiar tidak menjawab, mereka hanya fokus pada perintah Aslan. Dengan penuh tekanan, mereka menarik Zein menjauh dari toilet, menyusuri koridor sekolah yang sepi. Zein berusaha menarik diri dan melawan, tetapi kekuatan Galang dan Tiar terlalu besar.

Aslan mengikuti dari belakang dengan ekspresi wajah yang tetap tak terbaca. Zein merasa semakin cemas. Ia tahu bahwa Aslan dan teman-temannya dikenal sebagai kelompok yang suka membuat masalah dan sering kali terlibat dalam perkelahian atau tindakan bullying. Kekhawatiran Zein semakin meningkat saat ia menyadari bahwa mereka membawanya ke ruangan yang jarang digunakan.

Setelah beberapa saat, mereka berhenti di depan sebuah pintu tua yang terlihat usang dan jarang dibuka. Pintu itu mengarah ke sebuah gudang yang terlihat kotor dan gelap. Zein bisa merasakan atmosfer yang menegangkan di sekelilingnya. “Lepasin gue! Gue ngga ada urusan sama lo semua!" ucap Zein, suaranya mulai bergetar.

Zein merasakan ketegangan yang semakin meningkat saat Galang dan Tiar memaksanya masuk ke dalam gudang. Pintu gudang yang berat ditutup dengan keras di belakangnya, dan Zein terjatuh di lantai yang dingin dan berdebu, merasakan tubuhnya terhempas keras. Dia mencoba untuk bangkit, mengusap debu dari pakaiannya dan mengerutkan kening, berusaha memahami situasi yang begitu mendalam dan membingungkan ini.

Aslan berdiri di ambang pintu, ekspresinya dingin dan penuh kebencian. Dia memberikan instruksi tegas kepada Tiar. "Tutup dan jagain pintunya! Jangan biarin siapa pun masuk! Gue harus selesein urusan gue sama Zein!"

Tiar menutup pintu dengan keras dan berdiri di depan pintu, siap menjaga agar tidak ada yang masuk. Zein menatap Aslan dengan penuh kebingungan dan kekhawatiran, hatinya berdebar kencang. "Kenapa lo semua lakuin ini?" Zein bertanya, suaranya bergetar. "Apa yang salah? Kenapa tiba-tiba gue harus dibawa ke sini?"

Aku, Si Perindu Papa ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang