(28) Harus Pisah

942 84 14
                                    

Sepulang dari sekolah, Zean segera memarkirkan motornya dengan cepat dan melangkah tergesa-gesa menuju pintu rumahnya. Hatinya berdebar-debar, percaya bahwa Zein pasti sudah pulang dari rumah sakit. Namun, ketika ia tiba di kamar Zein, ruangan itu kosong. Malah, di sana ia menemukan bi Tatik sedang sibuk memasukkan beberapa pakaian Zein ke dalam koper.

"Bi, apa yang lagi bibi lakuin di kamar Zein? Di mana Zein? Bukannya harusnya dia lagi istirahat di kamarnya sekarang? Dia udah pulang dari rumah sakit, kan?" tanya Zean bertubi-tubi, rasa kekhawatirannya semakin menguat.

Bi Tatik menghentikan aktivitasnya sejenak dan menatap Zean dengan wajah cemas. "Bibi juga ngga tau, Ze. Tadi papa kamu pulang sendirian dan bibi ngga liat Zein pulang juga. Bibi cuma diminta buat masukkin beberapa baju Zein ke dalem koper. Bibi cuma menjalankan perintah dari papa aja," jawab bi Tatik dengan ragu.

Zean merasa semakin gelisah. Ia segera berlari menuju kamar papanya, yakin bahwa papanya pasti tahu keberadaan Zein. Namun, ketika ia sampai di kamar Zafran, ia melihat Zafran duduk di atas sofa sambil memijat kepalanya yang terasa sedikit pusing.

"Pa, dimana Zein?" tanya Zean dengan suara gemetar, mencoba menahan rasa khawatirnya.

Zafran mengangkat kepalanya, tetapi tatapannya kosong. "Zein ngga tinggal lagi di rumah ini," jawabnya singkat.

Zean merasa dunia seakan runtuh di hadapannya setelah mendengar jawaban itu dari sang papa. "Apa maksud papa?!" tanyanya dengan suara bergetar.

Zafran lalu menatap putranya dengan wajah serius. "Mulai sekarang, Zein tinggal di rumah eyang," jawabnya tegas.

Perasaan kekecewaan melanda Zean. Ia menatap papanya dengan pandangan penuh kemarahan. "Kenapa papa biarin Zein tinggal di rumah eyang? Kenapa papa ngga kasih tau aku soal ini?!" desaknya dengan suara penuh amarah dan kecewa.

Dalam kebimbangan yang mendalam, Zean merasa dikecewakan oleh keputusan papanya dan terluka karena tidak diberitahu tentang hal tersebut sebelumnya. Ia tidak bisa percaya begitu saja dengan apa yang baru saja didengarnya. Semua terasa begitu cepat dan tidak terduga baginya.

"Jawab, pa! Gimana mungkin Zein tiba-tiba tinggal di rumah eyang? Kenapa papa ngebiarin ini terjadi?! Kenapa papa ngga cegah Zein?! Kenapa papa ngga kasih tau aku soal ini?!" tanyanya dengan suara yang terdengar terputus-putus, mencoba menahan rasa sakit yang menghantam hatinya.

Zafran menatap putranya dengan pandangan lelah. "Zean, papa juga pusing mikirin masalah ini. Ini bukan kemauan papa, melainkan ini adalah keputusan yang Zein ambil sendiri," ujarnya dengan suara berat, mencoba menjelaskan situasi yang rumit kepada putranya.

Namun, tiba-tiba, Zafran menatap Zean dengan tatapan tajam, lalu suaranya menjadi lantang, memancar kemarahan yang terpendam. "Kamu juga jangan asal nyalahin papa! Mungkin aja Zein emang punya alasan sendiri kenapa dia milih tinggal di rumah eyang!"

Zean pun cukup terkejut dengan reaksi papanya.

"Iya, dan alasannya itu pasti karena papa, kan?! Gara-gara papa sering perlakuin Zein ngga baik di rumah ini, dia jadi ngga betah tinggal di rumah ini! Makanya dia mutusin buat tinggal sama eyang! Iya, kan?! Pasti alasannya itu!" ucap Zean.

Zafran menghela nafas panjang, mencoba meredakan kemarahannya. "Zean! Apa kamu ngga bisa bicara lebih sopan sedikit sama papa?!Jangan terlalu cepat buat asumsi tanpa kamu cari tau dulu alasan di baliknya," tegurnya dengan suara yang agak lebih tenang.

Zean terdiam sejenak, mencerna kata-kata ayahnya dengan penuh keheranan. Tatapan papanya yang tajam membuatnya merasa seperti seorang anak yang tertegun di depan otoritas yang kuat.

"Tapi apalagi alasannya kalo bukan karena itu, pa?! Aku yakin dia ngga mau tinggal di sini lagi pasti karena dia udah ngga kuat ngadepin sifat papa yang selalu keras sama dia! Papa yang udah keterlaluan selama ini sama Zein!" ucap Zean.

Aku, Si Perindu Papa ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang