Malam tiba, Zafran dan Zean akhirnya kembali ke rumah setelah seharian menghadiri acara duka di rumah eyang. Keduanya tampak kelelahan, dengan wajah yang lelah setelah menyambut banyak tamu di rumah duka. Mereka tidak pulang bersama oma dan opa, karena oma dan opa kembali ke rumah mereka sendiri malam itu. Setibanya di rumah, bi Tatik menyambut mereka dengan penuh perhatian.
"Selamat malam, Pak. Gimana keadaan di rumah duka? Apa semua acaranya berjalan lancar?" tanya bi Tatik sambil mencoba menyembunyikan kekhawatirannya.
“Selamat malam, bi,” jawab Zafran sambil menghela napas panjang. “Acaranya berjalan dengan baik dan cukup melelahkan."
"Zein mana, bi?" tanya Zean, suaranya menunjukkan kepedulian yang mendalam.
Bi Tatik terlihat sedikit gelisah. "Zein ada di kamar kamu, Ze. Katanya, Zein kangen sama kamu dan dia nungguin kamu pulang dari tadi."
Zean merasa cemas mendengar itu. "Terus kondisi Zein sekarang gimana, bi? Dia... baik-baik aja, kan?"
"Demamnya sudah turun setelah minum obat dan tidur siang. Hanya saja, bicaranya agak ngelantur dari pagi. Bibi juga ngga tahu kenapa dia tiba-tiba begitu," jawab bi Tatik.
Zafran dengan wajah yang terlihat khawatir, menambahkan, "Ngelantur gimana maksudnya, bi?"
Bi Tatik menggelengkan kepala. "Ya, Zein bicaranya agak aneh, Pak. Kadang nyambung, kadang juga ngga. Tatapannya juga kelihatan ngga fokus waktu diajak bicara. Em, maaf pak, tapi saya juga bingung gimana menjelaskannya ke Bapak."
Zafran mengangguk dan berkata, "Zean, coba kamu cek dulu Zein di kamar kamu. Kalo ada apa-apa, kamu langsung cepet-cepet kasih tahu papa, ya? Papa mau ganti baju dulu."
"Iya, Pa," jawab Zean.
Zean kemudian berjalan ke kamarnya dengan hati penuh kekhawatiran. Sesampainya di kamar, dia terkejut melihat Zein duduk di depan meja belajarnya dengan kepalanya tertunduk di atas meja. Zein mengenakan piyama panjang berwarna biru muda, dan wajahnya tampak sangat pucat, dengan kulit putihnya yang juga terlihat pucat dan tidak segar. Matanya terlihat teduh, seolah-olah dia berjuang untuk tetap terjaga.
“Zein?” Zean memanggil dengan suara lembut.
Zein mengangkat kepalanya, menatap Zean dengan senyuman lemah. Senyumnya tampak aneh dan tidak sesuai dengan kondisinya yang sakit. Wajah Zein yang pucat dan tampak kelelahan, namun masih bisa mengupayakan senyum, membuat Zean merasa aneh dan cemas.
"Zein? Lo ngapain di kamar gue? Bukannya lo harusnya istirahat di kamar lo sendiri?" tanya Zean, berusaha tetap tenang meskipun hatinya cemas.
Zein hanya tersenyum dan menggelengkan kepala. “Gue... ngga bisa tidur di kamar gue sendiri, Ze. Di sana banyak yang aneh-aneh. Gue takut. Gue... mau di sini aja."
Zean terkejut. "Maksud lo? Aneh-aneh gimana?"
Zein menatap Zean, lalu berkata, “Tadi, gue lihat eyang duduk di kamar gue. Padahal eyang kan udah ngga ada. Itu bikin gue takut, Ze. Makanya gue pindah ke sini. Di kamar lo lebih nyaman suasananya."
Zean mengerutkan kening. “Jangan ngaco deh lo, Zein. Bilang aja lo penakut! Yang lo lihat itu bukan eyang. Itu pasti cuma halusinasi lo aja kali karena lo terlalu banyak mikirin eyang setelah eyang pergi.”
Zein mengangguk, tapi senyumannya tetap tersungging di wajahnya. Dia memandang Zean dengan tatapan dalam yang membuat Zean merinding.
"Lo pasti capek, kan? Udah sana, lo istirahat aja. Kalo lo ngga mau balik ke kamar lo, ya udah gue izinin lo tidur di kamar gue malam ini. Tapi lo tidurnya di kasur dong. Jangan tidur sambil duduk kayak gitu di depan meja belajar gue. Ntar badan lo jadi pegel semua kalo tidur sambil duduk."
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku, Si Perindu Papa ✓
Ficção AdolescenteDILARANG PLAGIAT !!! ❌ Dalam book "Aku, Si Perindu Papa", Zein merasakan jarak emosional yang mendalam dengan papanya, Zafran. Meskipun tinggal bersama, hubungan mereka kian memburuk, membuat Zein merasa terasing dan tidak diinginkan. Melalui serang...