(47) Yang Baik Telah Pergi

745 104 14
                                    

Setelah mobil berhenti di halaman rumah eyang, Zein dan eyang melangkah keluar dengan penuh harapan. Namun, begitu mereka memasuki rumah, suasana hangat yang mereka rasakan sebelumnya berubah drastis. Eyang, yang biasanya kuat dan tegas, tiba-tiba memegang dadanya dengan ekspresi kesakitan yang jelas. Tubuhnya bergetar, dan matanya menutup rapat.

Melihat perubahan mendalam itu, Zein segera merasakan kepanikan. Dia berlari menuju eyang yang duduk di kursi roda dan berteriak dengan ketakutan, “Eyang! Eyang, kenapa?” Keringat dingin mulai membasahi dahi Zein saat dia menyaksikan eyang tampak kesulitan bernapas.

Sopir, bodyguard, pembantu, dan perawat yang menyertai mereka segera berlari ke arah eyang. Suasana di rumah menjadi kacau balau. Perawat, yang sudah terlatih dalam situasi darurat, segera memeriksa kondisi eyang dengan cepat. Zein, dengan tangan bergetar, mencoba membangunkan eyang, memeluknya dengan penuh kepanikan dan air mata, sambil terus berteriak, “Eyang, tolong bangun! Eyang, jangan pergi!”

Sementara itu, perawat segera menghubungi layanan darurat melalui telepon, memberikan informasi dengan nada tegang untuk mendapatkan bantuan secepat mungkin. Seluruh anggota keluarga dan staf rumah tangga berdiri di sekitar, wajah mereka dipenuhi kepanikan dan kekhawatiran.

Zein merasa seperti dunia sekelilingnya runtuh. Segala sesuatu terasa seperti mimpi buruk yang tak berujung. Air mata terus mengalir dari matanya saat dia berusaha memahami apa yang sedang terjadi. Dia terus memanggil eyangnya, berharap ada tanda bahwa eyang masih sadar.

“Sabar, Zein,” ujar perawat dengan tegas namun lembut, mencoba menenangkan Zein sambil tetap fokus pada upayanya membantu eyang. “Ambulans sedang dalam perjalanan. Kita harus tetap tenang dan berusaha sebisa mungkin.”

Di tengah kekacauan, Zein merasa seolah dunia di sekelilingnya kehilangan arti. Kepanikan dan rasa tidak berdaya membuatnya semakin sulit untuk berfungsi. Semua terasa tiba-tiba dan terlalu cepat, dan Zein merasa seolah segala sesuatu di sekelilingnya runtuh.

Eyang kemudian dipindahkan dengan hati-hati ke atas sofa besar di ruang tamu rumah. Zein duduk di sampingnya, wajahnya pucat dan penuh kekhawatiran. Perawat dan anggota keluarga lainnya, termasuk sopir dan bodyguard, mengelilingi eyang sambil menunggu ambulans.

Ketika ambulans akhirnya tiba, tim medis segera mengambil alih. Mereka mengangkat eyang dengan hati-hati dari sofa dan membawanya ke ambulans yang terparkir di depan rumah. Zein, dengan air mata membasahi pipinya, memutuskan untuk ikut dalam perjalanan menuju rumah sakit. Perawat yang mendampinginya juga masuk ke ambulans, berusaha memberikan dukungan sebaik mungkin.

Di dalam ambulans, suasana semakin menegangkan dan penuh kepanikan. Zein duduk di kursi belakang, menggenggam tangan eyang yang terasa dingin dan kaku. Perawat, yang berada di sampingnya, berusaha memberikan perawatan darurat semaksimal mungkin, namun dengan setiap detik yang berlalu, rasa putus asa Zein semakin dalam.

"Eyang, tolong bertahan sedikit lagi," desak Zein, suaranya bergetar dengan harapan yang hampir putus asa. Air mata mengalir deras di pipinya. "Zein butuh eyang. Jangan tinggalin Zein."

Sopir ambulans mengemudikan kendaraan dengan kecepatan penuh menuju rumah sakit, sementara dua bodyguard eyang mengikuti dari belakang dengan mobil mereka. Waktu terasa sangat lambat bagi Zein, yang dipenuhi dengan kecemasan dan ketidakberdayaan.

Tak lama kemudian, tim medis di ambulans mulai menunjukkan tanda-tanda kepanikan. Mereka dengan cepat memeriksa monitor dan memberikan oksigen tambahan, tetapi wajah mereka memucat dan penuh kekhawatiran. Zein, yang melihat situasi ini, merasa hatinya semakin hancur. Tangisannya semakin keras, dipenuhi dengan rasa sakit yang mendalam dan kebingungan.

Akhirnya, tim medis menyatakan dengan suara sedih bahwa upaya mereka tidak membuahkan hasil. Eyang telah meninggal. "Ngga... ngga mungkin. Eyang ngga mungkin meninggal. Ini pasti cuma mimpi," bisik Zein, suaranya hampir tak terdengar di antara tangisannya. Dia berusaha menggoyang tubuh eyang, berharap bisa membangunkannya dari tidur panjang ini. "Eyang, bangun! Tolong bangun, eyang! Hiks... Eyang! Jangan tinggalin Zein, eyang! Zein ngga mau kehilangan eyang... Hiks... hiks... eyang..."

Aku, Si Perindu Papa ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang