(52) Pamit Pergi

1.2K 127 30
                                    

Di ruang rawat intensif yang sunyi dan gelap, suasana dipenuhi dengan kesedihan mendalam. Dokter Tania dan tim medis dengan sigap bergerak di sekitar ranjang Zein. Mereka melakukan segala upaya yang mungkin untuk mempertahankan kehidupan Zein, tetapi suhu tubuhnya yang menurun drastis dan komplikasi serius membuat kondisinya semakin kritis. Mesin EKG di samping ranjangnya berbunyi dengan nada yang semakin lemah, suaranya terputus-putus seolah mengisyaratkan bahwa waktunya untuk bertahan sudah semakin menipis. Kaki dan tangan Zein mulai terasa kaku, kulitnya yang tampak pucat semakin dingin saat disentuh.

Dokter Tania, yang sangat emosional karena hubungan dekatnya dengan Zein, berusaha menenangkan dirinya sambil terus memantau monitor. Matanya yang merah menatap layar yang menampilkan detak jantung dan aktivitas vital Zein yang semakin lemah. Setiap bunyi beep yang lemah dari mesin EKG membuat hatinya semakin berat.

Di sampingnya, ayah dokter Tania berdiri dengan wajah penuh kekhawatiran. Sebagai kakek angkat Zein, dia merasakan kepedihan mendalam melihat cucunya dalam kondisi kritis. Kekhawatiran dan kesedihan menyelimuti dirinya saat dia menyaksikan Zein berjuang untuk bertahan hidup.

Dokter Tania, Oma, Zean, dan Bi Tatik berdiri di samping ranjang Zein, wajah mereka basah oleh air mata. Mereka tampak pasrah, tidak siap untuk menghadapi kenyataan bahwa waktu Zein mungkin sudah hampir habis.

Bi Tatik, yang sebelumnya selalu berusaha menunjukkan ketegaran, kini tidak mampu menahan kesedihan. Dia berdiri dengan tengkuk membungkuk, tangisnya hampir tak terdengar namun tetap penuh rasa duka. Dia meraih tangan Zein, memegangnya dengan lembut seolah berusaha memberikan sedikit kekuatan terakhir.

Mereka masing-masing merasakan bentuk kesedihan dan penyesalan yang mendalam, bersama-sama menghadap kenyataan pahit ini. Mereka menyadari betapa berartinya Zein bagi mereka, dan bagaimana mereka hanya bisa menatapnya dengan penuh rasa sakit saat dia bersiap untuk pergi.

Di tengah keheningan yang menyakitkan, Zein secara perlahan mulai berusaha untuk berbicara, suaranya lemah dan terputus-putus. "Papa...," ia memanggil, seolah itu adalah satu-satunya dorongan yang membuatnya terus bertahan. Setiap kata yang keluar dari bibirnya tampak seperti sebuah perjuangan berat.

Oma, yang terisak-isak di samping ranjang, menggenggam tangan Zein dengan lembut, berusaha memberikan sedikit kenyamanan. "Zein, papa akan datang. Jangan pergi dulu," isaknya, berusaha menenangkan hati Zein yang semakin lemah.

Waktu terasa begitu lambat dan menyakitkan. Zean terus memandang ke arah pintu, berharap keajaiban akan datang dan Zafran bisa segera tiba untuk menemui Zein. Setiap detik yang berlalu seolah menjadi ujian yang tak tertahan, dengan harapan dan keputusasaan bergantian.

Oma, dengan mata yang bengkak dan penuh kesedihan, terus-menerus meminta maaf kepada Zein. "Maafkan oma, Zein," isaknya, suara terbata-bata. "Oma belum pernah menunjukkan kasih sayang oma sama kamu. Oma selalu pilih kasih, dan oma ngga pernah memberi perhatian yang layak buat kamu. Oma tahu oma sudah jahat sama kamu. Maafkan oma, sayang... hiks... oma sangat menyesal sudah menyia-nyiakan kamu seperti ini... hiks..."

Zein, dengan sisa-sisa tenaga yang tersisa, berusaha mengungkapkan pengertiannya. Meski suaranya hampir tak terdengar, dia mengangguk perlahan, matanya yang lemah menunjukkan pengertian dan maaf. Dia mengangkat tangannya yang lemah, sedikit menggenggam tangan oma, seolah memberikan isyarat bahwa dia telah memaafkan. Sebuah senyuman kecil yang penuh rasa sayang muncul di wajah Zein, meskipun tubuhnya sudah sangat lemah. Reaksi kecil itu menjadi penghiburan bagi oma, yang terharu dan semakin merasa hancur.

Dokter Tania, dengan wajah yang tertunduk, berusaha menahan rasa sakit melihat kondisi Zein. Dia tampak marah dan kecewa, tidak siap menghadapi kenyataan bahwa putra angkatnya mungkin akan segera pergi meninggalkannya untuk selamanya.

Aku, Si Perindu Papa ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang