Malam itu, Zafran tengah dilanda kepanikan yang amat sangat. Pasalnya, di malam itu, Zein terus mengeluh perutnya sakit. Padahal, Zafran sudah mencoba meredakannya dengan mengompres dan memberikan obat pereda nyeri untuk sakit perut. Namun, setelah cukup lama Zein mengonsumsi obat tersebut, sakit perutnya sama sekali tidak membaik. Malah sakitnya semakin menjadi dan terasa menyiksa. Saat itu, yang menemani Zein di kamarnya hanyalah Zafran. Sebenarnya bi Tatik juga ingin menemani Zein, tapi Zafran melarangnya dan meminta bi Tatik untuk keluar saja dari kamar Zein. Sementara itu, Zean malah tiba-tiba menghilang setelah melihat Zein batuk hingga muntah darah.
Zein terus saja meneteskan air matanya sambil memegangi perutnya yang sakit. Meski ia sudah memakai masker oksigen, sepertinya ia masih tetap merasa sesak karena dadanya terlihat bergerak naik turun dengan cepat.
"Bisa berhenti ngga nangisnya?! Ini udah jam 1 malem tapi kamu masih nangis terus kayak gini?! Ngga capek apa nangis terus?!" ucap Zafran yang saat itu duduk di tepi ranjang Zein sambil menatap galak ke arah Zein.
"S-sakit, pa..," rintih Zein sambil menangis.
"Ya makanya dibawa tidur aja! Ngga usah nangis terus! Gara-gara kamu papa jadi ngga bisa istirahat tau ngga?!" ucap Zafran.
Karena takut semakin dimarahi Zafran, Zein pun memaksa dirinya untuk berhenti menangis meski sesenggukannya masih terdengar.
Zafran sebenarnya tidak tega melihat Zein dalam kondisi seperti itu. Namun, ia pun juga sudah tidak bisa melakukan apapun lagi supaya bisa meredakan sakit yang Zein rasakan saat itu. Ia sudah berusaha mengatasinya, tapi apa yang sudah ia lakukan tetap tidak membuahkan hasil apapun. Semakin berjalannya waktu, kondisi Zein bukannya membaik malah semakin bertambah buruk.
••••
Waktu menunjukkan pukul 01.10 malam. Namun, tiba-tiba di waktu itu dokter Tania terbangun dari tidur malamnya. Wajahnya tampak gelisah dan sepertinya ada sesuatu hal yang mengganggu pikirannya saat itu.
Dokter Tania lalu beranjak dari atas ranjang untuk menyalakan lampu kamarnya yang sebelumnya dimatikan. Dokter Tania lalu meminum segelas air putih yang selalu tersedia di atas meja kamarnya yang berada di samping ranjang. Setelah meminum air putih tersebut hingga tandas, dokter Tania tampak meraih ponselnya yang juga terletak di atas meja kamar.
Dokter Tania lalu mengaktifkan layar ponselnya dan mengecek satu persatu beberapa pesan yang masuk di ponselnya saat itu. Namun, dari sekian banyaknya pesan yang masuk di ponselnya, rupanya tidak ada satupun pesan yang ia balas. Hal itu dikarenakan dokter Tania hanya mengharapkan pesan masuk dari Zein, yakni putra angkatnya yang sangat ia sayangi. Entah mengapa, perasaannya tiba-tiba terasa tidak nyaman dan pikirannya terus tertuju pada Zein. Ia khawatir karena perasaannya seolah mengatakan bahwa Zein saat itu mungkin sedang dalam keadaan tidak baik-baik saja.
"Zein.. Zein baik-baik aja kan sayang? Perasaan mama kok ngga enak, yah? Mama tiba-tiba kepikiran sama Zein. Apa sekarang asmanya Zein lagi kambuh lagi? Mama pengen banget liat Zein sekarang. Mama pengen mastiin kondisi Zein sekarang baik-baik aja atau ngga," batin dokter Tania dengan wajahnya yang tampak begitu khawatir.
Tak lama, tiba-tiba pintu kamarnya diketuk dari luar.
Tok! Tok! Tok!
"Tania! Kamu belum tidur?! Kok lampu kamarnya masih nyala?!"
Suara ayah dokter Tania terdengar dari luar kamar.
"Udah, yah! Ini aku lagi kebangun aja," sahut Tania.
"Kenapa ngga tidur lagi? Kamu sedang apa di dalam?!" tanya ayah dokter Tania.
"Em, nanti yah! Aku belum bisa tidur lagi soalnya. Aku sekarang ngga lagi ngapa-ngapain, kok. Paling nanti ngga lama juga tidur lagi," jawab dokter Tania.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku, Si Perindu Papa ✓
Fiksi RemajaDILARANG PLAGIAT !!! ❌ Dalam book "Aku, Si Perindu Papa", Zein merasakan jarak emosional yang mendalam dengan papanya, Zafran. Meskipun tinggal bersama, hubungan mereka kian memburuk, membuat Zein merasa terasing dan tidak diinginkan. Melalui serang...