(33) Hari Yang Buruk

1.2K 100 7
                                    

Pagi itu, mentari baru saja mengintip di ufuk timur, menyinari meja sarapan yang penuh dengan berbagai macam hidangan lezat. Roti panggang, telur mata sapi, buah segar, dan segelas jus jeruk tersusun rapi di atas meja. Di balik aroma menggoda dari makanan yang tersaji di meja makan, suasana terasa sunyi.

Di meja itu, Zean dan papanya, duduk berseberangan. Tidak ada percakapan yang terjalin di antara mereka. Zean makan dengan gerakan otomatis, tanpa benar-benar menikmati setiap suapan. Sesekali ia mengangkat pandangannya, melihat papanya yang juga makan dalam diam.

Zafran mencoba mengabaikan kesunyian yang mengisi ruangan, namun tatapannya sering melirik ke arah Zean yang terlihat tidak bersemangat. Sarapan pagi yang seharusnya hangat dan menyenangkan, kini terasa hampa.

Zean terus melanjutkan makannya, tapi pikirannya melayang jauh. Ada yang kurang di meja ini. Biasanya, ia selalu sarapan bersama di ruang makan bersama dengan Zein, saudara kembarnya. Namun kini, Zein tidak lagi tinggal bersama mereka. Ia tinggal bersama eyangnya, meninggalkan ruang kosong yang tidak bisa diisi.

Pagi ini bukan hanya soal sarapan yang kurang nikmat, tapi juga perasaan kehilangan yang dirasakan Zean. Setiap suapan yang masuk ke dalam mulutnya terasa hambar tanpa kehadiran Zein di sampingnya. Kenangan sarapan bersama Zein terus berputar di benaknya, membuat suasana hati Zean semakin muram.

Zafran memahami perasaan putranya, namun ia pun terdiam, tak tahu harus berkata apa untuk mengisi kekosongan itu. Pagi ini, meja sarapan mereka bukan hanya dipenuhi makanan, tapi juga dengan keheningan dan kerinduan yang mendalam.

Setelah beberapa lama berlalu, keheningan yang menyelimuti meja sarapan akhirnya terpecah oleh suara Zafran. "Gimana sekolahmu, Zean?" tanyanya dengan nada yang berusaha terdengar santai.

Zean melirik sekilas ke arah papanya, kemudian menunduk kembali, menggigit roti panggangnya tanpa semangat. "Biasa aja," jawabnya pendek, jelas tidak tertarik untuk melanjutkan percakapan.

Namun, Zafran tidak menyerah. "Kamu harus lebih serius, Zean. Sekarang, harapan papa cuma ada di kamu. Nilai-nilai kamu harus lebih baik lagi. Papa ingin kamu berusaha lebih keras."

Mendengar itu, Zean menghentikan makannya sejenak, namun ia tidak menjawab. Ia hanya menatap piringnya, berusaha menghindari pandangan papanya. Keheningan kembali menyelimuti ruangan, namun kali ini dengan ketegangan yang semakin terasa.

Zafran menunggu beberapa detik, berharap mendapatkan respon dari Zean. Ketika Zean tetap diam, rasa frustrasi mulai muncul di wajah Zafran. "Zean, kamu denger ngga apa yang papa bilang?" suaranya kini lebih tegas, hampir marah.

Zean masih tidak menjawab. Ia merasakan beban yang begitu berat menekan dadanya. Kehilangan Zein sudah cukup sulit baginya, dan kini ditambah dengan tuntutan baru dari papanya. Selama ini, papanya tidak pernah menuntut banyak darinya, beban itu selalu ada di pundak Zein. Sekarang, seolah semua harapan dan tekanan itu dialihkan kepadanya.

"Zean!" suara Zafran meninggi, tak mampu lagi menyembunyikan rasa marahnya karena diabaikan.

Zean akhirnya mengangkat kepalanya, menatap papanya dengan mata yang penuh rasa kesal. "Aku denger, pa," jawabnya pelan namun tegas, kemudian kembali menunduk, memainkan garpu di tangannya tanpa niat untuk melanjutkan makannya.

Zafran terdiam sejenak, lalu dengan nada tegas ia berkata lagi, "Zean, kamu harus lebih bertanggung jawab sekarang. Zein udah ngga lagi tinggal di sini, dan papa cuma bisa ngandelin kamu. Papa tahu kamu bisa lebih baik dari ini. Kamu harus fokus dan berusaha lebih keras di sekolah."

Zean menahan napas, merasakan tekanan yang semakin kuat. Ia tahu papanya berharap banyak padanya sekarang, tetapi beban itu terasa begitu berat. Ia merasa marah, bukan hanya pada papanya, tetapi juga pada situasi yang memaksanya mengambil peran yang sebelumnya bukan miliknya.

Aku, Si Perindu Papa ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang