Zein refleks berdiri dari duduknya ketika melihat sosok papanya di ambang pintu. Jantungnya berdetak kencang, rasa takut yang selama ini dia pendam kembali muncul. Dia merasa bersalah telah kembali ke rumah ini, tempat yang sekarang terasa dingin dan penuh kenangan pahit.
Zafran, dengan tatapan tajamnya, langsung menghampiri Zein. "Ngapain kamu di sini, Zein?" tanyanya dengan suara yang terdengar dingin dan tegas.
Zean yang masih duduk mencoba menenangkan suasana. "Pa, aku yang ngajakin Zein mampir. Dia baru mulai sekolah lagi hari ini karena dia baru sembuh," jawab Zean, berusaha melindungi saudaranya.
Namun, bukannya merasa senang karena Zein akhirnya berkenan untuk kembali menginjakkan kaki di rumahnya, ekspresi Zafran justru menunjukkan ketidaksenangan yang semakin jelas. "Ngapain kamu ngajakin dia ke sini, Ze? Bukannya dia udah ngga mau tinggal di rumah ini lagi?" ucapnya dengan nada penuh penekanan.
Zein menunduk, mencoba menahan air mata yang hampir tumpah. "Zein cuma mampir sebentar aja kok, Pa. Eyang juga udah tahu kalo pulang sekolah Zein mampir ke sini dulu. Emangnya ngga boleh ya, Pa?" katanya dengan suara bergetar.
Zafran mendengus pelan, kemudian memanggil Bi Tatik yang segera muncul dari dapur. "Bi, tolong taruh tas kerja saya di ruang kerja!" perintahnya singkat sebelum berjalan ke dapur tanpa menoleh lagi ke Zein.
Bi Tatik pun segera menjalankan perintah Zafran untuk meletakkan tas kerja Zafran di ruang kerja Zafran yang berada di lantai atas.
Zein masih berdiri dengan tatapan kosong, menatap tembok dapur yang kini menyembunyikan sosok papanya.
Melihat Zein yang tampak sedih, Zean bangkit dari tempat duduknya, dan kemudian menghampiri Zein dengan penuh rasa cemas. "Zein, duduk lagi. Ngga usah diambil hati omongannya papa. Papa cuma lagi capek aja itu," ucapnya pelan, mencoba menenangkan saudaranya.
Namun Zein menggeleng pelan, masih berusaha menahan perasaan yang berkecamuk di hatinya. "Kayaknya gue harus cepet-cepet balik ke rumah eyang, Ze. Gue ngga boleh lama-lama di sini. Gue udah ganggu ketenangan papa," ucapnya dengan suara lirih.
"Ngga kok, Zein. Lo ngga usah mikir gitu." ucap Zean, berusaha menahan Zein yang sepertinya ingin segera beranjak.
Tidak lama kemudian, Zafran kembali dari dapur dengan segelas air di tangan. Dia menatap Zein sekilas sebelum beralih ke Zean. "Kamu udah makan siang, Ze?" tanyanya singkat.
Zean menggeleng pelan. "Belum, Pa," jawabnya.
"Kenapa belum?" tanya Zafran.
"Tadinya aku mau makan siang sekalian bareng Zein, pa. Tapi tadi waktu aku nawarin Zein buat makan siang di sini, dia malah ngga mau." jawab Zean.
Zafran kemudian kembali bicara, "Ngapain kamu pake nawarin Zein? Dia kan udah ngga tinggal di sini lagi," katanya dengan nada datar, seakan-akan kehadiran Zein tidak berarti apa-apa.
Zean yang mendengar itu merasa geram. "Papa kok ngomongnya gitu sih? Walaupun Zein udah ngga tinggal serumah sama kita, dia kan masih tetep keluarga kita, Pa. Dia masih anaknya papa juga."
Zafran memandang Zean dengan tatapan tajam. "Anak yang lebih pilih tinggal sama eyang daripada sama orang tuanya sendiri? Buat apa dia pulang ke sini lagi? Lebih baik dia tinggal sama eyang terus aja."
Zein berdiri sambil menatap Zafran dengan perasaan hancur. Dia merasakan sakit yang mendalam saat mendengar setiap kata yang keluar dari mulut papanya. Dia berharap bahwa kepulangannya akan disambut dengan kehangatan dan kasih sayang, tetapi kenyataannya justru sebaliknya.
"Pa.. aku pikir papa bakal seneng kalo aku pulang," katanya dengan suara bergetar. "Tapi ternyata aku salah."
Zafran menghela napas, tidak menunjukkan tanda-tanda empati. "Zein, kamu yang memilih pergi dan memutuskan buat tinggal sama eyang. Itu keputusan kamu sendiri. Sekarang, jalani aja pilihan kamu itu," ujarnya dengan nada dingin.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku, Si Perindu Papa ✓
Teen FictionDILARANG PLAGIAT !!! ❌ Dalam book "Aku, Si Perindu Papa", Zein merasakan jarak emosional yang mendalam dengan papanya, Zafran. Meskipun tinggal bersama, hubungan mereka kian memburuk, membuat Zein merasa terasing dan tidak diinginkan. Melalui serang...