Zein berjalan memasuki gerbang sekolah dengan langkah cepat. Ia berjalan tergesa-gesa karena ia merasa malu sekali datang ke sekolah dengan kondisi bibirnya yang masih terlihat bengkak. Ia malu bertemu teman-temannya di sekolah dengan kondisi bibirnya yang seperti itu. Tapi karena Zafran memaksanya untuk tetap berangkat sekolah hari itu, ia pun terpaksa harus menuruti perintah Zafran meski kondisinya pun belum cukup baik karena ia juga baru keluar dari rumah sakit semalam setelah sehari dirawat inap di rumah sakit.
Zein berjalan sambil menunduk karena tak berani menatap para siswa lain yang akan melihatnya aneh karena melihat bibirnya yang jelek. Ia lalu mempercepat langkahnya menuju ke toilet sekolah. Sesampainya di sana, Zein tampak mengeluarkan sebuah krim salep dari dalam tas sekolahnya dan mengoleskannya pada bibirnya yang bengkak sambil bercermin di depan kaca toilet. Kebetulan pagi itu toilet juga sedang sepi dan hanya ada dirinya yang sedang berada di sana.
"Ssh..," ringis Zein saat ia mengoleskan pelan krim salep itu pada bibirnya yang bengkak dan luka.
Namun, tiba-tiba ia mendengar suara dari luar yang sepertinya mereka adalah para siswa yang hendak masuk ke dalam toilet.
"Gua jamin yang bakal jadi ketua baru di club basket kita nanti tuh pasti lo, Lan! Lo tenang aja,"
"Iya, Lan. Gue juga pasti dukung lo, kok. Lo kan yang paling keren di antara semuanya?!"
Begitulah kurang lebih yang Zein dengar dari siswa yang masih berada di sekitar luar toilet.
Dengan buru-buru, Zein segera memasukkan krim salep itu ke dalam tas sekolahnya setelah menutupnya kembali. Ia juga tampak berusaha meratakan krim salep yang tadi ia oleskan pada bibirnya dengan cepat meski sambil menahan sakit.
Tiga orang siswa akhirnya masuk ke dalam toilet saat itu. Zein merasa sedikit lega karena saat mereka masuk, ia sudah selesai meratakan krim salep itu pada bibirnya. Ia lalu segera mencuci tangannya dengan bersih di wastafel toilet setelah selesai mengoleskan krim salep tadi pada bibirnya.
"Sst! Itu yang namanya Zein bukan, sih?" ucap salah satu di antara ketiga siswa yang baru saja masuk ke dalam toilet itu.
Zein mendengar ucapan itu, tapi Zein pura-pura tidak mendengar dan tidak ingin menanggapinya.
Namun, saat Zein tengah lanjut mencuci tangannya, tiba-tiba tiga orang siswa itu malah mendekat ke arahnya dan berdiri di belakangnya. Tak ingin berlama-lama, Zein pun berniat hendak segera berlalu dari sana setelah selesai cuci tangan. Namun, saat Zein baru saja mematikan kran wastafel dan berbalik badan hendak melangkah keluar dari sana, tiga orang siswa tadi malah tetap berdiri berjajar dan tidak memberikan celah untuk Zein. Mereka seperti sengaja merapatkan jalan supaya Zein tidak bisa lewat dan tidak bisa keluar dari dalam toilet.
"Permisi! Boleh kasih jalan ngga? Gue mau keluar," ucap Zein baik-baik pada ketiga siswa itu.
"Lo yang namanya Zein, kan?" ucap salah satu di antara siswa itu.
Zein hanya menganggukkan kepalanya saat ditanya dan ia tampak melirik name tag yang terpasang di seragam masing-masing siswa yang ada di hadapannya saat itu. Ternyata, mereka adalah Aslan, Galang, dan Tiar.
Zein tidak terlalu kenal dekat dengan mereka. Zein hanya sekedar tahu mereka saja karena ia memang tipe siswa yang cukup introvert. Sehingga, teman-teman Zein di sekolah yang dekat dengannya tidak begitu banyak. Ia hanya dekat dengan teman-teman satu kelasnya saja. Sedangkan dengan teman lain kelas ia tidak begitu kenal dekat.
"Lo bener kembarannya Zean?" tanya Aslan dan Zein pun kembali menganggukkan kepalanya menjawab pertanyaan Aslan.
"Bibir lo kenapa jelek banget? Abis jatuh di mana lo sampe kayak gitu? Hahaha, pasti lo habis latihan tinju yah sama Zean?" sambung Tiar sambil tertawa melihat bibir Zein yang bengkak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku, Si Perindu Papa ✓
Teen FictionDILARANG PLAGIAT !!! ❌ Dalam book "Aku, Si Perindu Papa", Zein merasakan jarak emosional yang mendalam dengan papanya, Zafran. Meskipun tinggal bersama, hubungan mereka kian memburuk, membuat Zein merasa terasing dan tidak diinginkan. Melalui serang...