(48) "Zein Kangen Papa..."

732 92 14
                                    

Sore itu, suasana pemakaman diwarnai dengan duka mendalam. Pemakaman dilaksanakan dengan khidmat dalam tradisi Katolik, di mana misa dipimpin oleh seorang pastor dan diikuti oleh keluarga serta kerabat yang berkumpul untuk memberikan penghormatan terakhir. Orang-orang yang dekat dengan eyang, termasuk karyawan dari perusahaan eyang, semuanya hadir, menunjukkan rasa kehilangan yang mendalam.

Di tengah kerumunan yang sedih ini, Zein duduk di kursi roda, tampak sangat lemah dan tak berdaya. Tubuhnya bersandar lemas di kursi roda, matanya tak bisa berhenti menatap makam eyang yang baru diuruk, sambil terus menangis dengan penuh kesedihan. Kondisinya semakin memburuk akibat tangisan yang berkepanjangan dan asma yang mengganggu, membuatnya sulit untuk berdiri atau bergerak. Zein sudah beberapa kali pingsan, dan meskipun dokter Tania serta kakek angkatnya berusaha menenangkan dan memaksanya hanya untuk minum saja, Zein menolak. Ia hanya bisa menangis sambil merasakan kehilangan yang begitu dalam.

Di samping Zein, sahabat-sahabatnya, Ikal dan Raka, berdiri dengan penuh perhatian, berusaha memberikan dukungan dan penghiburan. Mereka berdiri di sekitar Zein, menguatkannya dengan kehadiran mereka, namun Zein hanya bisa merespon dengan tangisan dan sesekali memanggil eyangnya. Dokter Tania, yang tidak jauh dari Zein, kembali mendekat dan memeluknya dengan lembut. Dia berusaha menenangkan Zein sambil membiarkan Zein mencurahkan semua kesedihannya dalam pelukannya. Zein hanya bisa menyandarkan tubuhnya pada dokter Tania, menangis dengan keras tanpa mampu mengucapkan kata-kata lain.

Sementara itu, Zean, kembaran Zein, juga merasakan kesedihan yang mendalam. Dia didampingi oleh oma dan opanya yang mencoba menguatkannya. Zean tampak sangat terpukul oleh kepergian eyangnya, dan meskipun mereka berusaha untuk menghiburnya, duka yang dirasakannya sangat jelas.

Begitu juga dengan Zafran, dia berdiri di samping makam eyang yang baru diuruk. Dengan kacamata hitam yang menutupi matanya, dia berusaha keras untuk tetap tegar di depan keluarga. Namun, jelas sekali betapa dalamnya kesedihan yang dirasakannya. Meskipun dia mencoba untuk tidak menunjukkan emosinya secara terbuka, kehilangan eyang, yang juga merupakan mertuanya, sangat mempengaruhi dirinya. Dia menatap makam dengan penuh rasa kehilangan, berusaha menguatkan dirinya demi keluarganya

Setelah proses pemakaman selesai, suasana semakin sepi saat orang-orang mulai meninggalkan lokasi. Zafran, yang tampak sangat lelah, mendekati Zein dan mengajaknya pulang ke rumah. Namun, Zein menunjukkan ketidaknyamanan yang jelas. Dia terus berusaha menggenggam tangan dokter Tania, seolah ingin tetap bersamanya dan enggan meninggalkan tempat itu.

Dokter Tania, menyadari perasaan Zein. Ia berbicara kepada Zafran dengan nada lembut. “Pak Zafran, mungkin lebih baik jika Zein tinggal sementara di rumah saya. Kondisi kesehatannya perlu dipantau dengan lebih baik, dan saya bisa memastikan dia mendapatkan perhatian yang dia butuhkan.”

Zafran, yang menunjukkan sikap dingin dan tegas, menjawab dengan nada kaku, “Tidak perlu, Dok. Zein masih punya keluarga. Dia masih punya orang tua dan saya adalah papa kandungnya. Jadi, dia akan beristirahat di rumah saya, orang tuanya. Saya sudah mengatur semua keperluan dia di rumah.”

Meskipun Zafran berbicara dengan sikap yang tegas, dokter Tania melihat bahwa Zein tampak sangat tidak nyaman dan ragu untuk pulang bersama papanya. Zein terus menggenggam tangan dokter Tania, matanya menunjukkan ketakutan dan kebingungan.

Dokter Tania, dengan penuh pengertian, mencoba meyakinkan Zafran, “Pak Zafran, saya benar-benar khawatir dengan kondisi Zein saat ini. Saya rasa lebih baik jika dia tinggal bersama saya untuk sementara waktu agar kesehatannya bisa dipantau dengan baik.”

Zafran menatap Zein dengan tatapan dingin, kemudian mengalihkan pandangannya ke dokter Tania. Meskipun dia berusaha menjaga sikap di depan dokter, ketegasan dan kekakuan di wajahnya jelas terlihat. “Saya sudah bilang, tidak perlu. Zein akan baik-baik saja di rumah. Saya bisa mengurusnya sendiri.”

Aku, Si Perindu Papa ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang