(36) Mencari Jawaban

645 95 15
                                    

Zein melangkah masuk ke kelas dengan hati yang berat. Meski sahabat-sahabatnya, Ikal dan Raka, telah menyambutnya dengan hangat, bayang-bayang masa lalu tetap menghantui pikirannya. Senyuman terpaksa terpampang di wajahnya, mencoba menutupi rasa sakit yang ia rasakan dalam hatinya. Ruang kelas terasa ramai, tetapi bagi Zein, keramaian itu hanya seperti latar belakang yang samar. Dia hanya bisa merasakan dentuman jantungnya yang berat setiap kali mengingat apa yang telah terjadi.

Saat ia duduk di bangkunya, pintu kelas terbuka dan Zean masuk. Melihat saudara kembarnya yang sudah duduk di bangku sebelahnya, Zean berhenti sejenak dengan mata membelalak. Zein mencoba menghindari pandangan saudara kembarnya, tetapi itu tak mungkin. Dengan cepat, senyuman besar terukir di wajah Zean, dan tanpa pikir panjang, ia segera menghampiri Zein dan memeluknya erat.

"Zein! Lo udah balik sekolah lagi?! Gue kangen banget sama lo!" seru Zean dengan suara penuh kegembiraan.

Pelukan Zean terasa hangat, tetapi juga berat bagi Zein. Ada rasa rindu yang tercampur dengan kekecewaan. Zein hanya tersenyum kecil, berusaha untuk tidak terlalu memperlihatkan perasaannya yang sebenarnya. "Iya, gue udah mulai sekolah lagi hari ini. Gue kangen juga sama lo, Ze."

Meskipun Zein berkata demikian, hatinya terasa hampa. Dia masih belum bisa menerima kenyataan bahwa Zean, saudara kembarnya, bisa setega itu memfitnahnya. Zean telah menyebarkan cerita ke keluarganya bahwa Zein yang menyebabkan mama (Yasmine) jatuh dari tangga, meski kenyataannya Zein tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Rasa sakit dan pengkhianatan itu masih segar dalam ingatannya.

Zean menarik diri dari pelukan, melihat Zein dengan cemas. "Lo ngga apa-apa, kan? Lo keliatan masih sakit atau ada yang lo pikirin?"

Zein menggeleng pelan, berusaha tersenyum meski matanya tidak bisa menyembunyikan kekecewaannya. "Gue baik-baik aja, Ze. Ngga usah khawatir."

Zean tidak sepenuhnya yakin, tapi dia memilih untuk percaya pada kata-kata Zein. Namun, Ikal dan Raka yang mengamati dari kejauhan bisa merasakan ada yang tidak beres. Mereka bertukar pandangan, merasa ada sesuatu yang disembunyikan antara Zean dan Zein. Ikal mendekat sedikit dan berbisik kepada Raka, "Lo ngerasa ngga sih kalo mereka kayak ada masalah gitu? Kayaknya masalahnya cukup serius, deh. Gue yakin ada yang ngga beres di antara mereka."

Raka mengangguk setuju. "Iya, gue juga ngerasa gitu. Tapi kita ngga bisa nanya langsung ke mereka sekarang. Kita harus hati-hati, jangan sampe kita malah nambahin beban mereka kalo kita terlalu ikut campur."

Ikal hanya mengangguk, memutuskan untuk tetap mengamati dan menunggu waktu yang tepat untuk mencari tahu lebih banyak. Mereka tahu bahwa masalah ini pasti serius dan melibatkan sesuatu yang sangat pribadi antara dua saudara kembar itu.

Sementara itu, Zean berusaha membuat percakapan dengan Zein seakrab mungkin, meski Zein tampak canggung. "Gue seneng banget lo bisa balik sekolah lagi, Zein. Gue kangen momen-momen kita sekolah bareng, belajar bareng, ngantin bareng..."

Zein hanya tersenyum tipis, tidak terlalu merespon antusiasme Zean. "Iya, gue juga kangen."

Zean terlihat bingung, tetapi dia mencoba mengabaikannya. "Rumah juga jadi sepi banget tanpa lo, Zein. Gue bener-bener ngerasa kehilangan lo di rumah."

Zein mencoba menahan rasa sakit yang muncul di dadanya. "Iya, gue juga ngerasa sepi di rumah baru gue, karena ngga ada lo, Ze."

Zean masih tidak sepenuhnya paham kenapa Zein terlihat tidak seantusias biasanya. Dia tidak tahu bahwa di balik senyum Zein, ada perasaan terluka yang mendalam.

Saat pelajaran dimulai, Zean berusaha untuk fokus, tetapi pikirannya terus melayang ke arah Zein. Dia merasa ada sesuatu yang tidak beres, tetapi tidak tahu bagaimana cara mengungkapkannya. Di sisi lain, Zein berusaha keras untuk berkonsentrasi pada pelajaran, tetapi pikirannya masih dipenuhi dengan rasa sakit dan kekecewaan yang mendalam pada Zean.

Aku, Si Perindu Papa ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang