(40) Terciptanya Jarak

780 106 12
                                    

Hari sudah pagi, dan sinar matahari lembut menyaring masuk ke kamar Zein. Eyang duduk di samping tempat tidur, dengan hati-hati menyuapkan sarapan pada Zein. Di meja samping tempat tidur, tersaji sepiring bubur ayam hangat dengan taburan bawang goreng dan sejumput daun seledri, serta segelas susu hangat yang mengeluarkan aroma lembut. Eyang memastikan setiap suapan makanan diberikan dengan penuh kasih sayang, sementara Zein berusaha untuk makan meskipun tubuhnya masih terasa lelah.

Eyang memandang Zein dengan kekhawatiran yang jelas terlihat di wajahnya. "Zein, kamu yakin udah ngerasa lebih baik pagi ini? Eyang masih khawatir karena semalam kamu sempat demam dan asmamu kambuh cukup parah juga."

Zein menatap Eyang dengan senyum penuh keyakinan, sambil mengunyah bubur dengan pelan. "Zein beneran udah ngerasa baikan sekarang, eyang. Demamnya kan udah turun, Zein juga udah ngga ngerasa sesek lagi kayak semalem. Zein siap buat berangkat sekolah seperti biasa. Jangan terlalu khawatirin Zein, eyang. Zein udah ngga apa-apa."

Eyang menghela napas, tampak ragu meski berusaha untuk tenang. Sambil terus menyuapkan makanan, eyang berusaha memberikan nasihat tambahan. "Kalau gitu, eyang percaya sama kamu. Tapi ingat, jaga kesehatanmu di sekolah. Jangan sampai kamu kelelahan lagi. Kalau kamu merasa ngga enak badan, langsung hubungi eyang, ya? Setelah pulang sekolah nanti, sopir eyang akan jemput kamu lagi ke sekolah. Ngga usah mampir ke mana-mana lagi setelah pulang sekolah nanti ya, Zein? Apalagi ke rumah papamu lagi. Eyang ngga izinin kamu mampir ke sana lagi walaupun cuma sebentar. Eyang mau kamu pulang langsung dan istirahat yang cukup."

Zein mengangguk patuh, menyelesaikan makanannya. "Iya, Eyang. Zein janji ngga akan kemana-mana dan langsung pulang. Zein juga janji bakal jaga diri baik-baik selama di sekolah dan ngga mau bikin eyang khawatir terus."

"Baguslah, sayang. Cucu eyang yang satu ini memang penurut." balas eyang sambil mengelus rambut kepala Zein dengan sayang.

Setelah kembali menyuapi Zein, eyang kemudian menatap Zein dengan penuh perhatian. "Zein, anak sebaik kamu, kenapa harus terlibat dalam masalah serumit ini? Eyang masih bingung dengan semua yang terjadi."

Eyang berhenti sejenak, lalu melanjutkan. "Kalau memang bukan kamu yang dorong mama waktu itu, kenapa Zean bilang kalau yang melakukannya itu adalah kamu? Kalian ini kan kembar. Bukankah seharusnya dia melindungi kamu, sebagai kembaran kamu? Kenapa dia malah meyakinkan semua orang bahwa kamu yang bersalah?"

Setelah jeda, eyang melanjutkan lagi. "Kalian waktu itu masih terlalu kecil untuk terlibat dalam masalah ini. Eyang, papa, opa, oma, dan semuanya percaya sama apa yang Zean katakan karena kami pikir anak sekecil itu ngga mungkin berbohong. Eyang minta maaf karena sempat lebih percaya sama Zean waktu itu. Eyang waktu itu sedang berduka dan ngga bisa berpikir jernih. Eyang sedang merasa hancur karena mama kalian, anak perempuan satu-satunya eyang, telah meninggalkan eyang untuk selamanya. Mendengar berita ngga jelas tentang penyebab kematiannya, eyang cuma bisa percaya tanpa mempertanyakan kejelasan fakta kejadian sebenarnya seperti apa."

"Eyang..," Zein memanggil eyang dengan nada serius.

Begitu juga dengan eyang yang menatap Zein dengan intens. "Zein... apa jangan-jangan pelaku sebenarnya itu... adalah Zean?"

Mereka saling berpandangan, hingga kemudian Zein menjawab dengan tegas, "Ng-ngga mungkin, eyang. Ngga mungkin Zean yang lakuin itu sama mama. Mungkin aja mama emang jatuh sendiri, eyang."

Eyang lalu bertanya, "Zein.. Tapi kenapa Zean bersikeras nuduh kamu? Mungkin aja dia ngelakuin itu buat nutupin kesalahannya sendiri."

Zein tetap berpikir positif. "Eyang, tapi Zein kenal Zean dari kecil. Zean selalu bilang kalo dia sayang banget sama Zein. Jadi mana mungkin Zean bakal tega lakuin itu cuma demi melindungi dirinya sendiri? Dia ngga mungkin sejahat itu, eyang."

Aku, Si Perindu Papa ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang