(42) Menyingkap Kebenaran Yang Tersembunyi

767 111 6
                                    

Keesokan paginya, suasana di meja makan terasa berbeda dari biasanya. Zein duduk dengan canggung, memandang piringnya yang hanya berisi sedikit nasi dan paha ayam goreng. Paha ayam goreng adalah salah satu makanan kesukaannya, dan biasanya dia akan mengambil porsi nasi yang lebih banyak. Namun, pagi ini, nasi yang ada di piringnya hanya sedikit. Zein biasanya akan menyantap sarapan dengan semangat, tetapi kali ini dia hanya mengunyah pelan, merasa tidak nyaman dengan perubahan suasana di sekitarnya.

Dia menuangkan susu kesukaannya ke dalam gelas, tetapi hanya mengisi sedikit saja, padahal biasanya dia akan menuangkan susu hingga penuh. Setiap gerakan yang dilakukannya terasa lambat dan penuh beban. Zein merasa bahwa suasana pagi ini sangat berbeda dari biasanya. Eyang, yang biasanya ceria dan penuh semangat, kini tampak serius dan diam. Keheningan yang ada di antara mereka membuat Zein semakin canggung, dan suasana seolah membebani setiap nafsu makannya.

Saat eyang melihat Zein hanya mengambil sarapannya sedikit, eyang tampak menegurnya lembut. “Kenapa kamu ambil sarapannya cuma sedikit, Zein? Ambil lagi, makanan ini masih banyak. Kamu butuh energi buat ke sekolah,” kata eyang dengan nada yang lembut namun penuh perhatian.

Zein mengerutkan dahi, lalu menjawab, “Zein ambil segini dulu aja, eyang. Terima kasih.” Suaranya terdengar pelan, dan senyum yang tersungging di bibirnya terasa dipaksakan. Dia merasa bahwa hari ini tidak seperti biasanya, dan ketidaknyamanan ini mengganggu konsentrasinya.

Keheningan kembali meliputi meja makan, membuat suasana semakin tidak nyaman. Jam dinding berdetak pelan, seolah mengingatkan betapa lambatnya waktu berlalu. Zein merasa semakin tidak nyaman dan bertanya dengan hati-hati, “Eyang.. eyang marah yah sama Zein gara-gara masalah semalem?"

Eyang menggeleng lembut, berusaha untuk menyembunyikan perasaannya. “Ngga, Zein. Eyang ngga marah. Hanya saja, eyang ngga ingin bahas hal itu lebih lanjut pagi ini.” Eyang berusaha menutupi kegelisahannya di balik wajahnya yang terlihat tenang, tetapi tatapannya menunjukkan betapa beratnya beban yang sedang dia tanggung. Wajah Eyang yang penuh kerutan dan matanya yang lelah mencerminkan perjuangan batinnya.

Dengan cepat, eyang beralih ke topik lain. “Oh iya, nanti siang eyang ada urusan di luar. Kalau kamu pulang sekolah dan eyang belum ada di rumah, kamu istirahat aja di rumah. Jangan kemana-mana. Makanan siang nanti akan disiapkan sama bibi, jadi pastikan kamu makan.” Eyang berharap peralihan topik ini dapat meringankan suasana, meskipun dia sendiri merasa tidak nyaman dengan ketidaknyamanan yang terjadi.

Zein mengangguk, merasa lega mendengar adanya rencana yang jelas untuk hari itu, meskipun dia masih merasa ada yang belum sepenuhnya terselesaikan. “Baik, eyang. Zein akan istirahat di rumah dan makan siang.”

Setelah sarapan, Zein bersiap untuk berangkat ke sekolah. Dia mendekati eyang yang masih duduk di kursi roda, lalu membungkuk untuk mencium tangan eyang sebagai tanda hormat. Eyang membalas dengan senyum lembut yang penuh kasih sayang.

"Semangat belajar ya, Zein," ujar Eyang dengan nada hangat. “Jaga diri baik-baik di sekolah.”

Zein tersenyum kecil, merasa sedikit lebih tenang dengan kata-kata eyang. Sentuhan lembut serta ciuman di pipi kanan dan kiri Zein dari eyang terasa penuh kasih dan memberikan rasa nyaman yang sangat dibutuhkan. “Terima kasih, eyang. Zein akan hati-hati.”

Setelah Zein pergi menuju sekolah dengan diantar oleh sopir eyang, suasana di rumah kembali sepi. Eyang yang kini sendirian, segera menuju ruang kerja. Tanpa menunggu lama, eyang mengambil telepon dan menghubungi seseorang yang sangat penting untuk rencana yang telah dipikirkannya dengan matang.

Dengan nada serius dan penuh perhatian, dia menghubungi Pak Harto, petugas keamanan di rumah menantunya (Zafran). Telepon berdering beberapa kali sebelum Pak Harto mengangkatnya. Suara dering telepon terdengar tajam di ruang yang tenang, menambah ketegangan yang dirasakan eyang.

Aku, Si Perindu Papa ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang